"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Monday, October 22, 2012

Bukan Dia, Tapi Aku (#3)

Minggu siang, tiba-tiba aku dikagetkan dengan telepon darimu.


"Dri, lo kenal Adi nggak?" Suaramu terdengar tergesa-gesa.


"Adi? Adi siapa?"


"Adi anak 6. Katanya dia kenal sama lo. Lo tahu?"


Aku mengernyit, mencoba berpikir. Selama aku bersekolah di 6, aku tidak pernah mengenal Adi. Aku tidak memiliki teman yang bernama Adi.


"Nggak tahu, Mau. Gue nggak punya temen namanya Adi."


Kamu mendesah. "Terus siapa dong, Dri? Udah dari lama dia SMS gue terus, tapi gue baru nanya ke lo sekarang."



Dan terbeberlah ceritamu tentang seseorang bernama "Adi". Yang bermula berkenalan lewat SMS. Kemudian berbicara banyak hal padamu. Menanyakan teman-temanmu, lingkungan hidupmu, bahkan tentang dirimu. Adi yang ramah. Adi yang perhatian. Adi yang perhatian. Adi yang asik. Adi yang baik. Dan Adi yang sesungguhnya kamu tak kenali di dunia nyata.


Mendengarmu bercerita, aku menjadi senang dan penasaran dengan orang yang bernama "Adi". Dengan santainya kamu membicarakan Adi. Tanpa beban kamu bertutur menceritakan obrolanmu bersama Adi. Dan kamu menceritakannya tanpa mengetahui siapa Adi di dunia nyata.


Menjelasng mengakhiri pembicaraan di telepon, kamu berkata,


"Sepertinya gue harus mencari tahu siapa Adi."


+++++++


Esok paginya, aku menemukan dirimu duduk manis di bangkumu. Wajahmu cerah dan senyummu merekah. Begitu aku masuk kelas, kamu memekik senang dan segera menuntunku duduk di bangku. Melihatmu melakukan hal ini padaku, aku jadi tak sabar mendengar ceritamu. Pasti tentang Adi.


"Lo harus tahu, Dri! Tadi malem Adi ngirim MMS ini ke gue."


Benar, kan? Kamu pasti akan membicarakan Adi.


Kamu menyerahkan ponselmu padaku. Dan aku menemukan foto langit malam yang dipenuhi bintang memenuhi layar ponselmu.


"Tadi malem daerah rumah gue mati lampu, Dri. Tepat ketika gue lagi smsan sama Adi. Iseng gue lapor ke Adi kalo di rumah gue mati lampu. Gue bilang ke dia kalo gue takut gelap. Dan dia malah mengirim MMS itu ke gue. Dan lo harus tahu, Dri, kenapa dia mengirim MMS itu ke gue!" Kamu menggebu-gebu.


Aku hanya menahan senyum. Dengan sabar aku menanti kelanjutan ceritamu.


"Baca tulisan di bawah MMS!" Kamu kembali menyerahkan ponselmu padaku. Dan aku menemukan beberapa kalimat di bawah foto tersebut.


"Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap? Keluarlah dari rumahmu! Dan pandanglah ke langit!"


Kembali aku menahan senyum. Dapat disimpulkan, Adi lelaki yang romantis.


Kamu memekik senang setelah aku membacanya. Kamu histeris dan benar-benar tak sabar untuk mengetahui sosok Adi di dunia nyata. Sungguh, aku pun tak sabar menantinya, Teman. Aku senang mendengar kisah "pedekate" kamu bersama Adi.


"Lo perempuan yang beruntung, Maudy!" ucapku.


+++++++


Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang berada di luar jangkauan...


Aku menurunkan ponsel dari telingaku. Handphone dia tidak aktif. Padahal sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menghubungiku. Sekadar SMS pun tidak. Dia hilang entah kemana tanpa mengabariku. Sungguh, kalau boleh jujur, aku rindu dia. Walau aku tahu, aku bukan siapa-siapa.


"Audria..."


Dengan ringannya, namaku dipanggil olehmu. Kamu berlari menghampiriku dengan senyuman yang tak lekang dari bibirmu. Nama Adi langsung memenuhi otakku.


"Ada kabar baik." katamu setiba di depanku. "Sabtu nanti, Adi ngajak gue ketemuan dan pulang bareng."


Aku menahan senyum. Sungguh, aku turut senang dengan kabar menggembirakan itu.


"Akhirnya bertahap lagi! Selamat, Maudy!" kataku merangkulmu. "Oh, ya, kenapa nggak hari ini aja? Atau jangan-jangan dia belum siap?" godaku.


Kamu tertawa, kemudian menggeleng. "Adi tadi telepon, hari ini dia nggak masuk. Sakit."


"Aduh, kasian! Nggak dijenguk aja, Mau?" Aku menggodamu lagi.


Kamu tertawa lagi. Aku juga tertawa. Dan tawa kami baru berhenti ketika tiba-tiba dia datang.


Dia? Dia datang di hadapanku lagi, setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar?


"Hai, Audria!" sapanya ringan. Dan dia, tersenyum? Dengan watadosnya dia tersenyum padaku!


"Hai, Maudy! Maudy, kan?" Dan dia menyapamu.


Aku dapat melihat kekagetan dan rona merah di wajahmu. Dengan gugupnya, kamu membalas sapaan dia dengan anggukan kecil.


Sebenarnya aku kesal. Aku ingin marah dan mengingatkanmu bahwa kamu punya Adi. Kamu punya Adi, Teman. Dia bukan punyamu, kamu punya Adi.


"Pulang bareng yuk, Au!"


Sungguh, aku rindu sekali mendengar dia memanggil namaku dengan sebutan itu. Walau terdengar aneh, tapi aku suka. Aku suka cara dia memanggil namaku. Unik dan simpel. Au...


"Ya udah, gue duluan ya! Selamat bersenang-senang!" Dan kamu beranjak meninggalkanku dan dia.


"Maudy!" Aku memanggilmu, dan kamu menoleh.


"Gue pulang bareng sama lo aja, Mau!" ucapku, tanpa beban sama sekali.


Aku sadar. Setelah ucapanku tersebut   yang sekaligus adalah penolakan ajakan pulang bersama dia   matamu dan matanya langsung membelalak kaget. Aku sadar itu, sungguh.


"Kenapa, Au?" Dia bertanya.


Miris. Aku mendengar nada suara dia yang bergetar, seakan tak rela aku pulang bersama kamu.


"Nggak ada alasan khusus. Cuma udah kebiasaan aja pulang bareng Maudy." kataku.


Sesungguhnya hatiku berkata lain. Aku sangat ingin pulang bersama dia. Aku berbohong pada dia. Juga kamu.


"Au, kalo lo bersikap seperti ini, karena gue yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, gue minta maaf. Gue..."


"Bukan saatnya memberi alasan, Kinan. Gue nggak marah sama lo. Sekalipun enggak. Gue cuma pengen pulang bareng Maudy. Itu aja." gertakku.


Keheningan langsung menyelimuti aku, kamu, dan dia. Entah sudah yang keberapa kalinya aku dan dia berdebat karena masalah sepele. Dia terdiam. Kamu juga terdiam. Semuanya terdiam.


Aku menggerakkan kakiku mendekatimu. "Yuk, Mau!"


Dan kini hanya punggungku yang menatap wajah dia.


"Kenapa melakukan itu, Dri?" tanyamu ketika aku dan kamu berjalan beriringan di lobi sekolah.


Aku tak menjawab. Aku hanya diam. Karena aku sendiri pun tidak tahu jawabannya, kenapa aku melakukan itu.


"Dri, penolakanmu adalah rencana penyesalanmu."


Aku tertegun, merasa tertohok dengan ucapanmu barusan.


Kamu benar. Karena aku sudah menyesalinya sekarang.




bersambung

No comments:

Post a Comment