"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, July 29, 2011

Sekali Ini Saja (Songfict Spesial Rify)

Oke, ini dia postingan cerita pertamaku. Cerpen lama loh. Lama banget malah. Moga aja masih ada yang mau baca. Well, happy reading ^_^

Judul: Sekali Ini Saja
Main Chara: Rio - Ify (Rify 'Idola Cilik')
Genre: Friendship, Sad Romance
Author: Zulfa Azkia


Nb: Baca cerpen ini sambil dengerin lagunya Glenn Fredly deh yang Sekali Ini Saja. Yakin banget feel-nya pasti nyampe :D sok tahu dah gua, haha



Bersamamu…
Kulewati…
Lebih dari seribu malam…

* * *

"Lihat ada bintang jatuh!"


Ify menunjuk sesuatu yang bergerak cepat ke bawah membentuk sebuah cahaya yang terang di atas langit sana.

“Cepat buat permohonan, io!” Ify menyenggol lengan Rio yang duduk di sebelahnya, kemudian ia langsung memejamkan mata.

Rio mengikuti gerak-gerik gadis di sebelahnya, membuat sebuah permohonan.

* * *

Malam itu seperti biasa, Rio dan Ify duduk di atas bukit sambil memandang langit malam yang penuh bintang. Mereka sama-sama menceritakan harapan, dan impian yang akan mereka raih. Disana, mereka berbagi cerita bersama sambil menikmati indahnya malam.

Rio dan Ify, dua sahabat yang telah bertahun-tahun lamanya bersama. Membawa sejuta kisah suka dan duka tentang persahabatan mereka. Kedua insan yang memang ditakdirkan bersama, untuk merangkai hari demi hari yang penuh makna, serta menjalani setiap detik hanya berdua.

 * * *

“Bintang yang indah…” ucap Ify yang masih mengarahkan kedua matanya ke langit.

“Yaa. Seindah…” ucapan Rio menggantung. Ia berpikir sejenak, apakah ia harus mengatakan hal itu apa tidak.

Ify menoleh ke Rio, karena terlalu lama menunggu lanjutan kalimat Rio. Melihat Rio yang nampak bingung, Ify langsung tersenyum dan menggeser pantatnya mendekati Rio. Rio ikut menoleh ke Ify yang pula tengah menatap ke arahnya.

“Seindah persahabatan kita, io.” Kata Ify sambil menatap lekat kedua bolamata Rio.

Rio pun demikian. Menatap lekat kedua bolamata Ify, yang entah sejak kapan ia mencintai bolamata tersebut. Mencintai kedua bolamata Ify, ya, sangat mencintainya.

Hening kemudian. Mereka sama-sama diam dalam tatapan. Tak lama, hanya dua detik. Setelah itu, Ify kembali menggeser pantatnya agak menjauh dari Rio, dan kembali memandang bintang di langit. Sementara Rio…

Ya, Rio masih terus menatap gadis di sebelahnya. Sahabatnya. Ah, bukan… Entah kenapa Rio menginginkan lebih dari itu. Rio ingin lebih dari sekedar sahabat dengan Ify. Karena, Rio mencintainya. Ya, mencintai sahabat gadisnya.

Izinkan aku mencintainya, Tuhan… batin Rio dalam hati.

* * *

Bersamamu…
Yang kumau…
Namun kenyataannya tak sejalan…

* * *

Rio membuka bungkusan kecil yang ia terima dari sahabatnya. Sementara Ify hanya tersenyum melihat gerak-gerik Rio yang mulai merobek bungkusan tersebut.

“Indah bukan?” Tanya Ify ketika Rio berhasil menemukan barang di balik bungkusan tersebut.

Rio memandang seuntas kalung yang ia pegang. Kalung itu memiliki sebuah tulisan, dan tulisan itu adalah… Rify.

Ify langsung merebut kalung yang Rio pegang, kemudian Ify melingkarkan kalung tersebut di leher Rio. Rio menatap lagi kalung itu.

Rify… Rio-Ify. Ya, begitulah nama panggilan untuk mereka berdua.

“Untukku?” Tanya Rio sambil memegang kalung yang dilingkarkan di lehernya.

“Iya dong. Dan kau tahu? Aku juga punya…” Ify kemudian menunjukkan seuntas kalung yang ia sembunyikan di balik kerah bajunya. Kalung tersebut persis dengan kalung yang dimiliki Rio, memiliki tulisan ‘Rify’.

Ify kemudian merangkul pundak Rio. Tangannya yang lain memegang kalung yang terlingkar di lehernya.

“Kalung ini sebagai tanda persahabatan dan hanya dimiliki kau dan aku. Itu artinya, Rify hanya milik kita berdua. Dan, Rify hanyalah sepasang sahabat yang ditakdirkan untuk bersama oleh Tuhan,” kata Ify.

DEG, entah Rio merasa jantungnya berhenti berdetak usai mendengar kata-kata Ify barusan. Seakan Rio tak bisa menerima ucapan tersebut. Bagaimana tidak? Ify… Gadis itu memang sahabatnya. Namun tak bisakah Ify mengerti bila Rio ingin lebih dari itu? Dan kenyataannya memang tidak. Dengan cara apapun Rio berusaha, Ify tetap tidak akan mengerti. Karena Ify hanya menganggap Rio adalah sahabat. Ya, sahabat yang ditakdirkan untuk bersama.

* * *

Tuhan bila masih ku diberi kesempatan…
Izinkan aku untuk mencintanya…

* * *

Beasiswa?” Rio kaget.

“Ya. Kalau kau tak percaya, baca saja ini.” Ify lalu menyerahkan secarik kertas kepada Rio.

Rio yang cepat antusias langsung mengambil kertas yang diberikan Ify dan membacanya dengan cepat. Membacanya dengan cepat? Ah, rasanya tidak. Di tengah kalimat saja, Rio sudah mulai malas membaca. Bagaimana tidak? Sahabat gadisnya itu, Alyssa Saufika Umari menerima beasiswa musik di luar negeri. Tepatnya di Australia. Dan Rio tahu benar bahwa dari dulu Ify memang telah bercita-cita ingin masuk ke sekolah tersebut. Untuk mengembangkan bakat musiknya di Australia, dan menjadi pemusik yang terkenal. Tak mungkin bila Ify akan menolak tawaran beasiswa tersebut.

“Kau… kau akan mengambilnya?” Tanya Rio mencoba untuk tegar. Karena separuh hatinya telah kecewa membaca surat tersebut. Bukannya kecewa karena Ify mendapat beasiswa, justru Rio senang karena sahabatnya telah berhasil mencapai impian yang ia ingin raih. Namun itukah artinya Ify akan meninggalkan Rio? Sendirian…

“Hmm, aku pikir-pikir dulu io. Lagipula aku juga harus membicarakan hal ini pada orangtua. Tapi mungkin harapanku untuk mengambilnya lebih besar daripada menolak.” Ucap Ify tersenyum lebar.

Rio perhatikan gadis yang duduk di hadapannya itu. Gadis itu tersenyum puas, sambil berkali-kali membaca kembali surat yang ia pegang. Pula ia peluk surat tersebut sambil memandang langit. Rio tahu, Ify pasti senang. Impiannya akan segera tercapai. Namun, apakah Ify bisa mengerti perasaannya? Perasaan Rio yang tak ingin Ify pergi dari sisinya. Perasaan Rio yang ingin memiliki Ify lebih dari seorang sahabat. Dan perasaan Rio yang sangat perih mendengar kabar beasiswa itu. Ya, jawabannya hanya satu. Ify takkan pernah mengerti. Namun, apakah tak ada sedikitpun celah di hati Ify untuk menerimanya lebih dari seorang sahabat?

* * *

Namun bila waktuku telah habis dengannya…
Biar cinta hidup sekali ini saja…

* * *
“Kau akan mengambilnya?” teriak Rio.

Ify mengangguk mantap.

“Orangtuaku setuju. Lagipula memang dari awal aku menginginkan beasiswa itu. Hey, kau ingat kan io. Aku pernah bilang, aku sangat ingin masuk ke sekolah itu, dan menjadi pemusik yang terkenal. Dan kau tahu? Bila aku menerima beasiswa itu, tinggal selangkah lagi, io… Tinggal selangkah lagi aku bisa menjadi pemusik terkenal, seperti apa yang aku inginkan,” ucap Ify, kemudian pikirannya melayang jauh menerawang kehidupannya nanti yang akan ia jalani di negeri antah berantah sana. Pula memakai seragam sekolah tersebut yang sudah sangat dikenali oleh kebanyakan orang. Aih, Ify tak sabar.

Sementara Rio… hanya kekecewaan yang ia telan.

“Hem, oh iyaa… lusa aku berangkat.” Lanjut Ify kemudian.

JDER !!

Ada suara petir hebat di atas langit sana yang menghantam tepat di dada Rio.

Rio bangkit dari duduknya. Dan menghadapakan tubuhnya ke Ify. Ify menengadahkan kepalanya ke atas agar bisa melihat Rio.

“Jadi kau serius ingin pergi kesana?” Tanya Rio, sedikit membentak.

Ify kemudian ikut bangkit dari duduknya.

“Yap. Datang ya ke bandara lusa nanti. Kutunggu loh!” ucap Ify, yang masih saja sempat tersenyum. Padahal ia tak tahu bahwa sahabatnya itu sangat perih mendengar kalimat-kalimat yang ia ucapkan dari bibir manisnya itu.

“Oh jadi begitu…”

Refleks, Ify segera menoleh ke Rio yang mendengar nada sinis dari bibir Rio.

“Kau akan pergi ke negeri antah berantah, dan meninggalkan sahabatmu menelan kesepian.” Ucap Rio dengan nada yang sinis, tanpa melihat wajah Ify.

“Maksudku bukan begitu, io. Aku hanya ingin mengejar impianku. Sebentar lagi impianku akan menjadi nyata. Seharusnya kau senang dong aku ke Australia,” ucap Ify yang masih tetap tersenyum.

Rio memicingkan matanya, menatap Ify dengan sinisnya. Ify melihat jelas perubahan tingkah Rio.

“Senang? Apa yang kau bilang senang itu karena kau pergi untuk menjauh dariku?” bentak Rio kemudian.

Ify kaget, ya, sangat kaget. Senyum tak lagi terhias di bibirnya. Tiba-tiba rasa kekecewaan itu hadir dalam benaknya.

“Aku gak menjauh darimu, io. Aku hanya ingin mengejar impianku. Bukan untuk menjauh darimu,” balas Ify.

Rio membuang mukanya ke sisi lain.

“Oke, kau memang tidak menjauh dariku. Tapi kau akan meninggalkanku,” ucap Rio dengan nada datar.

Ify mendesah panjang, kemudian ia langkahkan kakinya mendekati Rio. Ia sentuh pundak sahabatnya itu, dan mengelusnya pelan.

Kau tak pernah mengerti perasaanku, Fy… Tapi sampai kapan kau takkan mengerti?? Aku mencintaimu, Fy. Aku tak ingin kehilanganmu… rintih Rio dalam hati.

Rio kemudian tersadar. Ia tak bisa begitu saja melepas Ify pergi. Ia mencintainya, sangat mencintainya… Ify tak boleh pergi darinya…

“Dulu kau menyuruhku untuk tidak meninggalkanmu…” ucap Rio datar, membuat Ify berhenti mengelus pundak Rio. Ia mundur selangkah ke belakang sambil menatap Rio yang tak menatapnya.

Kini Ify baru mengerti, bahwa sahabatnya itu tak ingin ia pergi jauh dari sisinya. Namun, tak mungkin bila Ify tetap bersama dengan Rio, menghabiskan waktunya bersama seperti dahulu kala, namun ia harus kehilangan beasiswa tersebut. Namun sebenarnya, Ify pun tak ingin bila harus meninggalkan Rio.

Rio kemudian menoleh Ify, menatap kedua bolamata Ify yang ia cintai itu yang juga kini tengah menatapnya.

“Tapi sekarang kamu Fy, kamu… Kamu yang akan tinggalin aku. Mana sumpah persahabatanmu Fy, manaaa……” bentak Rio sambil menahan perih di hatinya.

Ify benar-benar mengerti. Benar, Rio tak ingin ia jauh dari sisinya.

“Aku tau, io. Tapi apa kau sama sekali tak mendukung sahabatmu. Sahabatmu menerima beasiswa, io. Ke Australia, menjadi pemusik terkenal. Apa kau tak mendukungku?”

“Jadi kau lebih memilih beasiswa itu daripada persahabatan kita?”

“Jelas saja io… Aku mengambil beasiswa untuk pendidikanku di masa mendatang. Sedangkan sahabat? Sahabat ada dimana-mana io. Aku pasti punya sahabat disana, seperti kamu. Kamu juga akan mendapat sahabat seperti aku disini,”

GAK ADA YANG BISA SAMAIN AKU, FY…” bentak Rio dengan kerasnya.

“Kalau kau hanya mempedulikan beasiswamu itu, ambil saja… Tinggalkan aku, Fy. Tinggalkan aku disini sendirian, TANPA SEORANG SAHABAT,” bentak Rio menekankan kata ‘tanpa seorang sahabat’.

Ify menahan kekecewaan. Kini ia mengerti, beginilah Rio. Seorang manusia yang tak punya pengertian.

EGOIS KAU, IO… AKU BARU TAU TERNYATA BEGINILAH SIFAT ASLIMU…” Ify kemudian melangkah meninggalkan Rio sendiri di atas bukit sana. Sebutir airmata yang jatuh dari pelupuk matanya mengiringi langkah Ify meninggalkan tempat tersebut.

Rio memandang punggung Ify yang semakin jauh darinya. Kemudian, rasa penyesalan itu datang.

* * *

Tak sanggup…
Bila harus jujur…
Hidup tanpa hembusan nafasnya…

* * * 

Rio melirik jam tangannya, lalu kembali memandang langit di sore hari tersebut. Sendirian… tanpa ada Ify di sebelahnya.

“Ify udah berangkat…” ucapnya kemudian menghembuskan nafas.

Rio melepas kalung yang terlingkar di lehernya. Ia tatap lekat kalung bertuliskan ‘Rify’ itu. Sesaat, rasa penyesalan itu kembali hadir di benaknya.

Kenapa kau tak pernah mengerti perasaanku, Fy… batin Rio sambil menunduk.

Kemudian ia rebahkan tubuhnya di atas bukit, dan kembali memandang langit.

Tiba-tiba langit di sore hari berubah menjadi sebuah rekaman film saat Rio dan Ify bertengkar untuk pertama kalinya dua hari yang lalu. Rio hanya menyaksikannya sambil menggigit bibir, menahan perih.

“Egois kau, io… Aku baru tau ternyata beginilah sifat aslimu…”

Suara Ify. Yaa, Ify yang mengatakannya. Suara itu terngiang lagi di telinga Rio. Baru saat ini Rio mendengar ucapan itu dari mulut Ify. Ahh, kenapa hal itu harus terjadi?

* * *

Rio membuka matanya, yang entah sejak kapan terpejam. Ia edarkan pandangannya ke sekeliling. Tempat sama yang ia lihat sebelum matanya terpejam. Hanya warna langitlah yang berubah. Rio masih ingat tadi ia menatap langit sore sambil berbaring, mungkin saja ia ketiduran dan bangun ketika malam sudah tiba.

Bintang…???

Rio memandang langit malam itu. Kenapa?? Kenapa tak ada bintang disana??

Rio melirik sebelahnya. Kosong. Tak ada… tak ada lagi sahabat yang menemani di sebelahnya. Ify telah pergi. Begitu juga bintang-bintang di langit. Pergi… seakan tak ingin lagi menjadi sahabat Rio.

* * *

Rio melangkah gontai menuju kamarnya. Namun, sebuah percakapan dari ruang keluarga yang tak sengaja ia dengar menghentikan langkahnya.

“Naas banget!” Itu suara Shilla, kakaknya Rio.

“Iya ya kak, ngeri deh aku. Untung aja keluarga kita gak ada yang ke Australia. Kalo ada, bisa nangis darah aku,” Kalo itu suara Ray, adiknya Rio.

“Haduh, lebaynya dirimu,”

“Loh, bener kak. Kecelakaannya aja parah gitu, manamungkin ada yang selamat. Kalaupun ada, pasti keadaannya kritis. Gak lama lagi, is death deh.”

“Hus, jaga ucapanmu Ray,”

“Maaf deh kak. Eh, ganti chanel lain dong! Jangan berita terus…”

“Iyee… iyee…”

Rio kemudian masuk kedalam kamarnya, namun pikirannya masih melayang pada percakapan antara kak Shilla dengan Ray yang tadi ia dengar di ruang keluarga. Sebenarnya, Rio tak mementingkan hal itu. Apalagi itu adalah acara berita. Paling malas Rio mendengarnya. Namun entah, mendengar kata ‘Australia’ Rio langsung cepat antusias, dan pikirannya melayang ke Ify. Apakah Ify telah tiba di negeri impiannya??

* * *

Rio menggigit roti selainya. Kemudian, Ray datang dan duduk di sebelahnya. Ia mengambil selembar roti dan selai kacang.

“Pagi, kak Rio…” sapa Ray.

Rio tak menjawab, hanya memberi senyuman paksa di bibirnya. Sementara mulutnya masih asik mengunyah roti selai.

“Mau bareng gak io?”

Sebuah tangan menepuk punggung Rio, sontak saja Rio yang sedang mengunyah roti selai langsung tersedak. Ia langsung menyeruput air yang udah tersedia di hadapannya.

Sementara Ray dan orang yang menepuk punggung Rio tadi tertawa lepas.

“Gila lu kak! Mau bikin gua mati?” bentak Rio seusai menghabiskan air putihnya. Ia lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil air.

“Hahaaa… Santai, bro.” Shilla memukul lengan Rio setelah kembali dari dapur.

Rio Cuma merengut. Ia lalu kembali duduk manis di sebelah Ray atau lebih tepatnya di hadapan Shilla.

“Kak, tau gak? Kecelakaan pesawat tadi malem yang kita tonton, masuk ke mimpi aku lohh…” ucap Ray sambil mengunyah roti selainya.

“Ah, serius? Serem dong?” kata Shilla langsung antusias sambil mengoles rotinya dengan selai. Sementara Rio cuek sambil terus mengunyah roti terakhirnya.

“Iyalah. Serem banget malah. Lagian sih kakak pake nonton acara begituan.”

“Itu berita, Ray? Kakak malah paling demen kayak gitu,”

“Halah sok tua lu kak!” ejek Rio kemudian menyeruput airnya lagi karena rotinya telah habis.

Shilla tak pedulikan celoteh Rio, lalu ia melanjutkan…

“Sebenarnya kakak tuh masih penasaran sama kecelakaan pesawat menuju Australia itu, kan belum dikasih tahu beeerrrr….”

BRRUUUSSS…!!!!

Ucapan Shilla tak sampai selesai, karena ia keburu disembur air oleh lelaki di hadapannya.

“Riiiooo… lu apa-apaan sih? Kalo mau nyembur air jangan ke gua dong, ke Ray ajahh…” rengek Shilla membentak kemudian mengelap wajahnya yang kena semburan air dari Rio dengan saputangannya.

“Lah? Kok aku?” Ray bingung.

“Heh, sorii kak. Tapi, tadi lu bilang apa? Kecelakaan pesawat? Australia? Maksudnya?” Tanya Rio gak sabaran.

“Iya kak. Pesawat menuju Australia yang take off jam 5 sore kemaren kecelakaan. Hampir semua korban tewas. Naas banget deh pokoknya,” Samber Ray sambil mengelap meja makan yang juga kena semburan air dari Rio.

Take off jam 5 sore?? Itu kan???........ Jam keberangkatannya Ify???

“Kecelakaan???” teriak Rio yang langsung bangkit dari duduknya.

Ray ngangguk-ngangguk. Shilla pun demikian.

“Kenapa?” Tanya Ray dan Shilla bersamaan.

Rio tak menjawab. Kini, pikirannya kacau entah kemana.

Ify… kecelakaan…?? Gak mungkiiin… !!!

* * *

Tuhan bila waktu dapat kuputar kembali…
Sekali lagi untuk mencintanya…

* * *
Rio menelusuri koridor rumah sakit dengan langkah cepat dan tergesa-gesa. Ia ingin cepat sampai ke ruang dimana sahabatnya berada.

“Alyssa Saufika Umari, ruang UGD, sedang buka jahitan. Tunggu saja 10 menit lagi!”

Begitulah jawaban resepsionis ketika Rio menanyakan korban kecelakaan pesawat yang bernama Ify di Rumah Sakit Harapan Bandung. Setelah mendengarnya, Rio langsung melangkahkan kaki-kaki kecilnya menuju ruang UGD.

* * *

Rio genggam erat tangan mungilnya Ify yang berbaring di hadapannya. Sebutir airmata kemudian jatuh membasahi tangan Ify. Secepat mungkin Rio mengelap airmatanya yang jatuh di tangan Ify.

“Maafin aku Fy…” ucap Rio yang tiba-tiba airmatanya mengalir kembali dari pelupuk matanya.

“Bukan kamu yang salah io,”

Rio menoleh ke sumber suara.

“Ini udah jadi takdir. Aku yang memilih jalan ini, berarti aku pula yang harus menanggung semua yang terjadi padaku,”

Rio menggigit bibirnya. Ia merasa bahwa dirinya tak becus menjaga sahabat yang dicintainya itu. Ify, sahabat kecilnya harus berbaring disana. Di rumah sakit kecil yang menerima korban kecelakaan pesawat menuju Australia. Memang Ify selamat, namun ia harus menerima kenyataan bahwa wajahnya akan cacat. Ya, wajah Ify cacat. Dan kondisinya pun masih kritis. Banyak luka di tubuhnya yang harus dijahit. Dan yang harus Ify telan pahitnya adalah kehilangan kedua orangtuanya yang tewas di tempat.

Rio membelai pelan rambut Ify, sementara Ify… ia hanya diam, sambil menatap lekat wajah sahabat yang duduk di sebelahnya.

“Tapi mungkin takdir akan berkata lain bila kau dan aku tak bertengkar kemarin hari,” ucap Rio.

“Sudahlah io. Tak usah kau ungkit masalah itu lagi. Kenyataannya sekarang udah terjadi, gak ada yang perlu disesalkan,” kata Ify mencoba tersenyum. Namun Rio bisa melihat jelas sedikit gurat kesedihan di wajah Ify.

“Fy…” Rio berhenti mengelus rambut Ify, ia kini kembali menggenggam tangan Ify.

“Aku hadir di dunia untukmu. Jadi, jangan pernah kau tinggalkan aku. Tetaplah disini bersamaku Fy. Aku mencintaimu…” ucap Rio sambil menatap wajah Ify yang penuh perban.

Ify menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis.

“Aku juga mencintaimu, io. Karena kau sahabatku,”

“Tapi aku ingin lebih dari itu,” balas Rio dengan cepat.

Ify tercekat. Ia diam, tak bereaksi apa-apa. Namun masih menatap lekat wajah Rio.

“Sejak dulu Fy, sejak dulu kunantikan sosok dirimu yang lain. Sesosok Ify yang juga mencintaiku, lebih dari seorang sahabat. Aku menanti itu Fy, aku menantinya.” Lanjut Rio.

Ify masih diam.

“Kau cinta pertamaku, Fy. Dan aku janji akan menjadikanmu cinta terakhirku juga,”

Hening kemudian. Rio tak lagi berkata, Ify pun demikian. Ia tak tahu apa yang harus dijawabnya. Ia mencintai Rio, namun rasa cintanya tak lebih dari seorang sahabat. Ify hanya menganggap bahwa Rio sahabatnya, tak lebih.

“Kau sahabatku, io” ucap Ify kemudian.

“Tapi kau cintaku, Fy.” Balas Rio tak mau kalah. Ia ingin dirinya menang. Memang, egois. Namun baginya, egois untuk cinta, apa salahnya?? Rio jujur, mencintai Ify. Dan tak ingin kehilangannya. Maka Rio pun harus egois agar bisa mendapatkan Ify, untuk menjadi miliknya.

Ify membuang mukanya. Dari sudut matanya, sebutir airmata mengalir membentuk sebuah garis di pipinya. Ify tak ingin menyakiti sahabatnya.

“Aku kini cacat, io…” ucap Ify kemudian, tanpa menatap wajah Rio. Dan suaranya, suaranya terdengar lirih.

“Kau tak mungkin akan betah hidup bersama seorang gadis yang cacat.” Lanjutnya, dan kini terdengar suara isak tangis dalam kata-katanya. Ify menangis??

“Enggak Fy…” Rio bangkit dari duduknya, agar bisa melihat wajah Ify. “Aku tak akan mungkin meninggalkanmu. Walau keadaanmu seperti ini, itu tak akan merubah semuanya. Aku tetap mencintaimu,”

Ify menoleh pelan, melihat kembali wajah Rio. Segurat keseriusan tampak jelas di wajahnya.

“Izinkan aku Fy, untuk mencintaimu lebih dari seorang sahabat. Sekali ini saja Fy…” kata Rio dengan nada datar. Kembali ia genggam tangan Ify yang tadi sempat terlepas olehnya.

Ify tersenyum datar. Entah datang darimana kemauan itu, akhirnya Ify mengangguk pelan.

Rio kembali duduk, tanpa mengalihkan pandangannya dari Ify.

“Kau serius? Ingin bersamaku?” Tanya Rio girang.

“Aku akan mencobanya…” ucap Ify lirih disertai anggukan kecil.

Rio langsung menyambar pundak Ify untuk memeluknya. Ify rasakan hangat pelukan itu. Namun apa bisa ia menjadi apa yang Rio inginkan? Ify hanya menganggap Rio sahabat, tak lebih. Ya, Ify harus mencobanya. Walau mungkin ia harus menahan perih.

* * *

Namun bila waktuku telah habis dengannya…
Biarkan cinta ini…

* * *

“Sakit io…” Ify menggenggam erat tangan Rio sambil menahan perih.

“Sabar Fy, sabar. Kamu pasti kuat,” Rio memberi support sambil terus mengejar Ify.

Ify kini dibawa lagi ke ruang UGD. Keadaan Ify kembali kritis. Dokter kembali akan memeriksanya. Berkali-kali Ify merasa perih pada bagian organ tubuhnya. Ia merasa dadanya sesak. Sulit untuk bernafas.

“Maaf, dik. Adik tidak boleh ikut masuk. Tunggu disini, berdoa agar teman adik diberi keselamatan,” ucap seorang suster menghentikan langkah Rio ketika Rio ikut masuk ke ruang UGD.

Kemudian suster itu menutup pintu ruang UGD. Rio menunggunya di luar dengan gelisah. Berkali-kali ia membatin,

Tuhan, selamatkan Ify. Jangan dulu Kau ambil nyawanya. Aku masih ingin bersamanya, Tuhan…

* * *

Rio tatap wajah gadis itu. Wajahnya pucat, sangat pucat… Akankah ini untuk yang terakhir kalinya ia menatap wajah itu? Tidak, jangan. Itu tak boleh terjadi. Rio masih ingin bersamanya. Sangat ingin… Ify tak boleh pergi darinya.

Rio membelai pelan rambut Ify. Ify sudah tidur. Sehabis pemeriksaan, dokter memang menyuruh Ify untuk tidur, agar kondisinya membaik di kemudian hari. Dan Rio, akan menemaninya malam ini. Hingga esok hari tiba…

* * *

Sinar mentari yang masuk melewati celah jendela menembus kelopak mata Rio membuatnya terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia mengulet. Dilihatnya Ify masih berbaring di hadapannya. Matanya masih terpejam. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter tadi malam hingga membuat Ify masih tertidur.

Rio melangkahkan kakinya keluar kamar, ia ingin menghirup udara pagi sejenak sambil melihat para pasien rumah sakit yang dibawa pengunjung ke halaman rumah sakit untuk menghirup udara segar. Dokter dan suster pun kembali beraktivitas untuk memeriksa keadaan pasiennya satu persatu.

Hampir setengah jam lebih Rio menikmati udara pagi di luar rumah sakit. Ia kemudian melangkahkan kakinya kembali menuju kamar Ify. Ia masih menemukan sesosok Ify terbaring di ranjang. Wajahnya masih pucat. Rio mendekatinya.

“Selamat pagi, Fy…” ucap Rio pada Ify yang matanya masih terpejam.

Rio kemudian meraih tangan Ify. Namun, Rio tersentak. Tangan Ify dingin, sangat dingin. Rio mulai gelisah. Ia langsung memeriksa denyut nadi Ify, namun Rio sama sekali tidak merasakan nadi Ify berdenyut. Pula tak Rio rasakan detak jantung Ify ketika memeriksa keadaan jantungnya. Rio terduduk lemas di sebelah Ify. Perlahan airmatanya mengalir dari pelupuk matanya.

Ify telah pergi, meninggalkan dirinya. Untuk selamanya…

* * *

Biarkan cinta ini…
Hidup untuk sekali ini saja…

* * *
Kau akan selalu di hatiku untuk selamanya… batin Rio sambil menatap langit.

Rio kembali sendiri di atas bukit sana. Memandang langit sendirian, tanpa ada Ify di sebelahnya.

2 tahun sudah Ify pergi meninggalkan Rio. Meninggalkan semua kenangan tentang persahabatan mereka. Kini, Rio berdiri sendiri di atas bukit. Bersama bayangan Ify di benaknya, ia lalui hari demi hari hingga ia kini menjadi apa yang ia inginkan dahulu.

Rio akan selalu ingat, ketika Ify berada di sebelahnya, menceritakan semua tentang cita-cita dan harapannya, memberikan support untuknya, dan masih banyak lagi yang ada di ingatannya. Walau Ify telah pergi dari sisinya, tapi Ify akan selalu ada di hati Rio untuk selamanya. Begitupun sebaliknya. Walau Ify kini berada di dunia lain, pasti Rio tak akan terhapus di hatinya.

Seuntas kalung ‘Rify’ akan selalu terlingkar di leher Rio. Untuk selamanya, sebagai pertanda bahwa Rio dan Ify tak akan pernah bisa dipisahkan…



Biarkan cinta ini, hidup untuk sekali ini saja…
(Rify’s couple)

- THE END -

1 comment: