"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Tuesday, January 1, 2013

FanFiction JKT48: Yang Tak Pernah Memudar (#1)



Stella pernah bilang ke gue:


"Ini tuh, ibarat kereta kuda yang sedang ditarik sama kuda-kuda yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Ada kuda yang masih tertidur, ada kuda yang jalannya lambat, ada juga kuda yang berlari. Karena hal itu, roda di kereta kuda itu jadi copot, dan jalannya jadi terseok-seok deh! Makanya, kuda yang lari cepet harus nungguin dan samain langkah sama yang lain, berusaha buat membangunkan kuda yang tertidur dan berusaha menyeimbangkan langkah bersama kuda yang masih lambat. Tapi kuda yang lambat apalagi yang tidur harus berusaha mengejar ketinggalan juga, jadi langkahnya bisa seimbang. Dan kereta kudanya bisa jalan dengan sempurna!"


Waktu itu gue masih belum mengerti maksud dari ucapan Stella. Dan seakan membaca pemikiran gue, Stella menambahkan:


"Intinya, jangan pernah egois. Kalian   Sonya dan teman-teman yang lain   nggak berjalan sendiri dalam grup tersebut. Kalian jalan bersama-sama, jadi harus sama juga langkahnya supaya sampai di tujuannya nggak saling meninggalkan. Supaya semua bisa sampai dengan selamat. Supaya semua merasa nyaman saat berjalan. Jadi   "


Sonia pun mencela:


"Jadi, berusahalah untuk saling mengerti, berusahalah untuk saling memahami. Iya kan kak?"



Stella mengangguk, kemudian merangkul Sonia. Mereka berdua tersenyum, seakan hanya dengan saling tersenyum seperti itu mereka sudah merasakan kehidupan sempurna.


Terkadang, gue iri sama Sonia. Seandainya saja gue memiliki kakak seperti Stella. Nggak usah jauh-jauh menjadi kakak deh, misalnya saja teman satu partner dalam grup, gue pasti nggak akan mengalami yang namanya depresi berat begini. Stella selalu saja bisa membuat suasana hati menjadi lebih sejuk dan damai. Stella selalu saja bisa membuat amarah seseorang mencair. Dan intinya, Stella selalu bisa membuat orang di sekitarnya bahagia hanya karena ucapan bijaknya itu.


Setidaknya, apabila memang Stella menjadi satu tim dalam grup gue, grup gue nggak akan pernah mengalami adu mulut yang nggak penting dan yang akhirnya menimbulkan emosi dan pertengkaran. Setidaknya Stella akan melerai. Setidaknya Stella akan bertindak. Dan setidaknya ada yang membela gue disana.


"Sonya!"


Gue tersentak ketika sebuah tangan mendarat di pundak gue. Gue menoleh dan mendapati Ghaida di belakang gue.


"Nggak latihan?" tanya Ghaida kemudian duduk di sebelah gue.


"Seperti apa yang lo liat." jawab gue datar.


Ghaida memeluk lututnya dan memiringkan kepalanya memandang gue. "Shania lagi?"


Gue memutar kedua bolamata gue. "Nggak usah bahas dia. Eh, lo liat Jeje?" Gue mengalihkan topik.


Ghaida menghela napas pendek. "Jeje ada di depan ruang auditorium, bareng Shania."


Gue memiringkan kepala. Shania lagi.


"Kayaknya mereka lagi asik bahas koreo. Lo nggak ikutan?" tanya Ghaida, sambil memainkan botol minum di tangannya.


"Ikutan? Bareng Shania?" Gue mendengus. "Makasih, deh." Gue beranjak meninggalkan Ghaida.


* * *


"   dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua   "


Gue melakukan loncat tali menggunakan teknik skipping. Sambil terus melompat dan menghitung, gue menggerakkan tali skipping di kedua tangan gue. Sejauh ini, tali tersebut belum tersangkut di kaki gue, membuat gue bertahan hingga hitungan ke tigapuluh.


"   tiga puluh empat, tiga puluh lima, tiga puluh enam   "


Gue biasa bermain tali skipping sebelum memulai latihan. Oh, atau mungkin tepatnya, menunggu teman-teman satu grup gue untuk datang ke ruang latihan. Gue tahu dan gue hapal mereka selalu datang tidak tepat waktu. Selalu gue yang pertama. Mungkin, kecuali hari itu.


"   empat puluh delapan, empat puluh sembilan, lima puluh   "


Peluh mulai membasahi tubuh gue. Tank top hitam yang melekat di tubuh gue sudah basah, layaknya disiram air hujan. Tapi, mereka belum juga datang.


"   enam puluh lima, enam puluh enam, enam puluh tu   AAAAA!!!"


Dan kaki gue tersangkut tali skipping.


GUBRAAKK!!!


Gue jatuh terduduk dengan bokong gue yang mendarat terlebih dahulu di lantai kayu tempat biasa kami latihan ini. Gue memejamkan mata menahan rasa sakit, namun mata gue malah berkunang-kunang tak kuasa dengan pusing yang mendadak menyerang kepala gue. Dan semua berubah gelap sebelum tubuh gue limbung.


* * *


Shania sedang memandu teman-teman satu grupnya untuk meluruskan kaki kanan ketika Sonya datang ke ruang latihan dengan terburu-buru.


"Sorry girls, gue telat." kata Sonya memecah keheningan di ruangan yang dilapisi dinding cermin itu.


Keenam gadis yang sedang melakukan pemanasan di tengah ruangan segera menoleh ke arah pintu masuk di belakang melalui cermin.


Shania mendesah keras, tetapi tidak menggubris perkataan Sonya. Ia melanjutkan memandu teman-temannya untuk meluruskan kaki kiri.


Sonya yang merasa diacuhkan merasa salah tingkah. Ia terdiam di tempat, memerhatikan keenam temannya yang sedang pemanasan di tengah ruangan.


"Langsung masuk barisan aja, Nya." teriak Jeje yang berdiri di belakang Shania. Ia tersenyum ramah.


Sonya memaksakan seulas senyum. Ia meletakkan tas punggungnya di sembarang tempat dan segera masuk barisan, berdiri di belakang Kinal. Kinal sempat menoleh ke arahnya dan tersenyum sekilas. Sonya membalas senyum Kinal, namun tanpa sengaja pandangannya melewati bahu Kinal. Ia memandang Shania yang balas memandangnya melalui cermin. Tatapan Shania yang sinis.


* * *


Gerak tubuh Shania yang gemulai begitu menghipnotis teman-temannya yang duduk di sekeliling ruangan. Sonya terutama. Cukup ia akui, gerakan Shania sangatlah bagus. Tubuhnya yang ideal itu sangat mendukung gerakan demi gerakan yang dilakukan.


Dua menit berlalu, Shania berhenti menari. Sonya dan kelima temannya langsung bertepuk tangan sembari berdiri dan menghampiri Shania di tengah ruangan.


"Opening yang cukup membuat tercengang!" puji Diasta.


Shania tersenyum lebar. Tak menyangka akan mendapat pujian seperti itu. "Rencananya memang gerakan itulah yang akan dimasukkan dalam opening dance grup kita. Gimana? Semua setuju kan?" tanya Shania.


Jeje maju selangkah dan merangkul Shania. "Gue setuju banget, Shan. Siapa sih yang nggak setuju dengan gerakan dance yang diciptakan oleh seorang Shania." kata Jeje kemudian tertawa lebar.


Kelima temannya ikut tertawa, termasuk Sonya. Ia setuju dengan ucapan Jeje. Nggak akan ada yang nggak setuju dengan gerakan dance milik Shania.


"Oke. Kalo gitu, semua ambil posisi. Kita mulai latihan ya." Shania menepuk tangannya sekali.


Tepat ketika itu, terdengar dering ponsel. Semuanya menoleh pada tas-tas yang berjejer di sekeliling ruangan. Frieska berlari menghampiri tas birunya dan mengeluarkan ponsel.


"Halo?"


Sementara Frieska menjawab telepon, Shania mengarahkan teman-temannya untuk mengambil posisi dan formasi yang tepat. Setelah mengatur dan mendapatkan formasi yang sempurna, Frieska kembali ke tengah ruangan.


"Frieska, tempat lo di depan Achan. Iya, di sampingnya Sonya situ." kata Shania.


Setiba di sebelah Sonya, ponsel Frieska kembali berdering. Ia kembali berlari menghampiri tasnya.


Shania mendesah keras. Dilihatnya Frieska yang sedang berbicara dengan ponsel yang ditempelkan di telinga. Beberapa menit kemudian, Frieska menutup telepon dan meletakkan kembali ke dalam tasnya. Saat itulah Shania mendekati Frieska.


"Frieska, lo serius latihan nggak sih?" tanya Shania.


Kelima temannya yang berada di tengah ruangan menoleh ke arah Shania dan Frieska.


Frieska tersenyum meminta maaf. "Sori, Shan. Sonia lagi buat proposal buat tugas sekolah. Dia nggak tau langkah-langkahnya, makanya dia butuh gue dan nanya ke gue terus deh."


Shania mendesah lagi. Ia melipat tangannya di depan dada. "Tapi ini saatnya latihan, Frieska. Please, jangan hiraukan dulu si Sonia."


"Iya, maaf, deh." kata Frieska. Ia meletakkan tasnya di lantai dan kembali masuk barisan.


"Shania lagi sensi ya." komentar Sonya pada Kinal sambil merenggangkan tangannya. Sementara Kinal hanya tertawa mendengarnya.


Beberapa jam berlalu. Sonya meminta Shania untuk break sebentar. Shania pun setuju. Mereka bertujuh akhirnya beristirahat. Namun belum beberapa menit mereka beristirahat, Frieska sudah bangkit dari duduknya sambil menenteng tas tangannya.


“Teman-teman, Frieska nggak bisa lama-lama nih, mau ketemu sama Sonia. Frieska cabut duluan, ya.” kata Frieska yang langsung melangkah menuju pintu.


Shania yang sedang berbaring segera menegakkan tubuh dan mencegah langkah Frieska dengan berteriak. “Nggak bisa ditunda dulu ya, Fris?” tanya Shania.


Frieska berhenti dan memutar tubuhnya kembali menghadap keenam temannya. Ia tersenyum meminta maaf. “Nggak bisa. Maaf banget ya, Shan. Kalo ada latihan lagi, hubungi Frieska aja ya. Dadah!” Dan Frieska benar-benar melangkah meninggalkan ruangan.


Shania mengangkat bahu. “Dan kita kehilangan satu personel. Mau tetep latihan atau tunda besok?” tanyanya.


“Tunda aja deh, Shan. Lagipula udah sore banget, nih.” Diasta melirik jam tangannya.


Jeje mengangguk. “Iya, Shan. Oh, gini aja deh. Kita minta rekaman dance lo tadi aja. Biar nanti malem bisa latihan di kamar. Dan besok tinggal dikompakin. Gimana?” usul Jeje.


“Ide yang bagus!” jawab Sonya, Achan, Kinal, dan Diasta serempak.


Shania berpikir sejenak. Kemudian ia mengangguk dan bangkit dari duduknya. “Tapi besok jangan pada telat ya. Gue mau semuanya tepat waktu.” katanya sambil melirik Sonya yang tengah meneguk botol minuman.


Sonya yang merasa sedang disindir memalingkan wajahnya dari Shania. Sementara Shania mengambil posisi menari di ruang tengah untuk direkam oleh Jeje.


* * *


“Hai, Sonya!”


Sonya yang sedang memainkan tali skipping menoleh pada Jeje yang baru saja memasuki ruang latihan. Ia tersenyum lebar.


“Hai, Je.” sapa Sonya tanpa menghentikan permainannya.


Jeje mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil meletakkan tas punggunya ke atas lantai. Ia mengeluarkan sebotol minuman.


“Cuma sendiri, Nya? Yang lain mana?” tanya Jeje lalu meneguk botol minumnya.


“Karena kemaren gue dateng telat, jadi hari ini gue dateng pagi. Dan seperti yang lo liat, anak-anak yang lain belum pada dateng.” kata Sonya. Senyumnya masih terbentuk di bibirnya. Dan ia masih meloncat.


“Ck, rajin!” sahut Jeje. Ia melempar botol minumnya ke sembarang tempat. Ia berjalan ke tengah ruangan dan mulai melakukan pemanasan.


Tiga puluh menit kemudian, seluruh personil sudah berkumpul, kecuali Shania. Jeje sudah berulangkali menghubungi Shania tapi tidak dijawab.


“Kemana sih, Shania?” gerutu Frieska menatap layar ponselnya. Seakan layar ponselnya adalah Shania.


“Coba hubungi lagi, Je.” pinta Diasta.


“Kalo emang nggak bisa dihubungi, kita latihan aja dari video yang kemarin direkam. Nanti kalo Shania dateng, tinggal dikompakin. Begitu kan fungsi video yang Jeje rekam kemarin?” usul Sonya.


Seluruh personil mengangguk tanda setuju. Akhirnya mereka pun latihan dari video yang kemarin Jeje rekam. Hampir selama sejam mereka latihan dan nyaris mencapai kekompakan. Tepat ketika itulah Shania datang dengan peluh yang membanjiri seluruh tubuhnya. Ia tak membawa tas atau barang lainnya. Ia hanya membawa diri.


Girls, kabar baik nih!” sapanya setelah masuk ke dalam ruangan. Tanpa ada kata maaf karena telah datang telat.


“Shania, lo telat sejam lewat sembilan menit!” seru Kinal sambil melirik jam tangannya.


Shania berjalan ke tengah ruangan sambil tersenyum meminta maaf. “Maaf banget, deh. Tapi gue bawa kabar baik nih!”


“Kabar apa emangnya?” tanya Jeje.


“Tadi gue dapat inspirasi tentang dance kita. Dan gue mencoba untuk cari gerakan yang lebih menghipnotis. Akhirnya selama sejam, gue dapat gerakan yang bagus. Kalian harus liat gerakan ini!” kata Shania yang segera mengambil posisi.


“Tunggu, Shan! Jadi, maksud lo gerakan dance yang kemarin itu nggak jadi kita pake?” sergah Frieska.


Shania mengangkat bahu. “Dengan kata lain sih begitu.”


“Jangan ngaco, Shan! Sejam lebih ditambah semalam di kamar, kita semua latihan dance dari rekaman yang Jeje rekam kemarin. Dan kita semua udah hapal gerakan, formasi, dan segala tetek bengeknya. Dan hari ini, lo dengan ringannya berkata bahwa gerakan itu nggak jadi dipakai?” tanya Sonya. Suaranya meninggi.


“Kalo ada gerakan yang lebih bagus, kenapa enggak, Nya!” balas Shania dengan suara yang tak kalah tinggi.


“Tunjukkan! Mana gerakan yang ‘kata lo’ adalah gerakan yang lebih bagus?” tantang Sonya.


Ruangan menjadi hening. Shania menatap Sonya tajam, dan begitu pun sebaliknya. Sementara kelima temannya hanya memandang keduanya dengan heran.


“Suara lo nyari ribut, Nya!” gertak Shania menuding ke arah Sonya.


Kinal bergerak cepat. Ia menangkis tangan Shania yang menuding ke arah Sonya. “Shan, Sonya lebih tua dari lo. Jangan menuding sembarangan ke orang yang lebih tua!” kata Kinal, kemudian mendorong Shania menjauh dari Sonya.


Shania berdecak kesal, sementara Sonya hanya memandang Shania datar.


“Dia nggak ngehargain gue, kak! Dia nggak mikir apa, gue mati-matian cari ide buat gerakan baru untuk grup dance kita! Tapi apa katanya tadi? Dia nggak setuju dengan gerakan baru gue!” teriak Shania.


“Shan, hal ini kan bisa diselesaikan secara baik-baik. Nggak usah pake teriak-teriak segala!” kata Diasta.


“Siapa yang bilang nggak setuju sih, Shan? Lo juga seharusnya mikir dong! Kita semaleman dan selama sejam tadi latihan dan berusaha untuk kompak dengan dance yang lo buat kemaren. Dan ketika kita udah mulai kompak, lo dateng dan seenak jidat bilang mau ngeganti gerakannya. Mikir dong, Shan! Jangan cuma jadiin kita ini boneka lo yang harus nurutin semua perkataan lo!” kata Sonya nggak kalah sewot.


Shania melotot kaget. Benar-benar tak menyangka kalau Sonya akan berkata seperti itu. Sebenarnya bukan hanya Shania yang kaget, Kinal pun demikian. Bahkan Jeje, Achan, Frieska, dan Diasta pun kaget dengan ucapan Sonya yang tak biasa seperti itu. Seluruh personil kaget dan tak menyangka.


Sonya merasakan aura aneh di sekitarnya setelah ia berkata demikian. Semua mata seakan memandangnya dengan sorot tak percaya. Apakah ada yang salah dengan ucapannya?


Shania berdecak sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruangan dengan langkah lebar. Kinal sempat mencegah, namun Shania tetap berlari tak perduli. Achan dan Diasta memandang kepergian Shania dengan tak rela. Frieska dan Jeje hanya memandang kosong ke arah pintu.


Sementara Sonya hanya diam membisu.


Kinal mendesah keras. Ia menoleh ke arah Sonya. “Shania pergi, Nya. Sekarang lo mau apa?” tanya Kinal. Sinis.


Sonya tidak menjawab. Ia memalingkan muka memandang pemandangan di balik jendela.


Diasta melangkah mendekati tasnya. Mengambil botol minuman dan meneguknya. “Balik aja deh. Percuma nggak ada Shania.” kata Diasta menyelempangkan tas di pundaknya.


“Nggak ada kata percuma. Kita bisa tetep latihan walau tanpa Shania.” ucap Sonya datar.


“Dengan suasana yang seperti ini?” tanya Kinal.


Sonya menoleh. Ia menatap Kinal tak mengerti.


“Nggak akan bisa latihan kalo keadaannya begini. Diasta bener, mending balik aja.” kata Kinal kemudian membalikkan tubuh.


Sonya mendengus. Ia hanya menatap kepergian Diasta dan Kinal dengan muka memberengut. Kemudian ia merasakan pundaknya dirangkul.


“Ya udah, balik aja yuk.” Jeje menepuk pundaknya.


“Lain kali, kalo kakak nggak setuju dengan Shania, diomongin baik-baik aja. Nggak usah pake emosi.” kata Achan, menyerahkan tas Sonya kepadanya.


Sonya tersenyum kecil. Ia mengambil tasnya dari tangan Achan. “Makasih ya, Chan.”


Frieska merangkul pundak Sonya dan menepuknya pelan. Sonya tersenyum lebar. Kemudian mereka berempat melangkah meninggalkan ruangan.


Setidaknya masih ada yang ingin memberi senyum kepadanya.



Bersambung

2 comments:

  1. ceritanya menarik :D *waiting for the next episode ;))

    ReplyDelete
  2. Good aku nunggu episode berikutnya

    ReplyDelete