"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Wednesday, January 23, 2013

FanFiction JKT48: Yang Tak Pernah Memudar (#2)




Angin bertiup kencang, menerbangkan debu-debu pasir dari arah selatan. Mendadak gue mengucek sebelah mata lantaran pasir yang beterbangan menghalangi mata. Gue memejamkan mata dan menikmati terpaan semilir angin dari belakang. Beberapa menit kemudian, angin berhenti. Dan ketika gue membuka mata, gue melihat seseorang berdiri disana. Tak jauh dari hadapan gue.


Gue mengucek mata. Memerhatikan lebih seksama. Seorang gadis dengan dress putih selutut tanpa lengan berdiri membelakangi gue disana.


Gue masih mengira-ngira siapa yang berdiri disana ketika gadis tersebut memutar tubuhnya dan memandang gue. Dan gue pun terkesiap.


Shania...


Kemudian segalanya berubah menjadi putih. Shania pun lenyap dari pandangan.


* * *


Sonya membuka pintu ruangan dansa dan saat itu juga ia mendesah kecewa. Belum ada siapapun disana. Lagi-lagi ia datang paling awal. Atau terlalu awal?


"Sonya?" Sebuah suara yang sangat dikenalnya terdengar dari balik punggungnya.


Sonya membalik.




"Kin?"


Kinal melangkah mendekati Sonya yang berdiri di ambang pintu. Dia melongokkan kepala sekilas ke dalam ruangan.


"Baru lo yang dateng?" tanya Kinal. Ia berdiri di hadapan Sonya dengan tangan menenteng tas jinjing yang biasa dibawanya.


Sonya mengangguk. "Ini pun gue baru dateng."


Kinal mendesah. "Gue nggak ngerti sama kelompok kita, Nya. Kenapa, sih? Ada yang keliatan males-malesan latihan, ada juga yang suka cari masalah. Berasa nggak ada nyatu dan kompaknya sama sekali."


Sonya mendengus. Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, ia mengomentari, "Dari awal grup ini terbentuk pun gue udah ngira bakal kayak gini, Kin."


"Lho, kenapa gitu?" Kinal ikut melangkah masuk ke dalam ruangan, mengekor Sonya.


"Ada Shania, sih."


"Nah, kan, mulai. Shania kan leader kita, yang paling top dance-nya. Kenapa lo malah mikir nggak akan kompak kalo ada dia?"


"Justru itu alasannya, Kin." kata Sonya. Ia melempar tas tangannya dan merebahkan tubuhnya di atas lantai.


"Gue nggak ngerti." Kinal berkacak pinggang.


"Seseorang yang lebih hebat di antara orang-orang yang lemah dan nggak ngerti apa-apa, dia pasti akan menguasai dan semau gue, semaunya sendiri. Egois, tepatnya. Ya, seperti kemarin, seenak jidat dia ngeganti koreonya. Padahal kita udah hapal dan menyesuaikan dengan gerakannya yang sebelumnya. Mana bakal bisa kompak, Kin?" ujar Sonya. Ia mengaduk-aduk isi tasnya dan mengambil sebotol minuman. Tiba-tiba merasa kelelahan ketika membicarakan Shania.


Kinal menghela napas. "Sebenernya, intinya sih, jangan egois, Nya. Di kelompok kita tuh ada dua orang yang egois dan sama-sama bertentangan dalam masalah."


"Dua orang? Siapa aja?" Sonya meneguk minumannya.


"Ya, Shania sama lo-lah, Sonya!"


Sonya mendelik. Buru-buru ia menyelesaikan tegukan minumannya. "Gue? Gue egois?"


"Egois sama egois nggak akan bisa nyatu. Itulah sebabnya kelompok kita nggak pernah bisa kompak dan menyatu. Untuk menghindari kejadian seperti itu, ada baiknya salah satunya harus mengalah." Kinal memandang Sonya dengan tatapan penuh harap.


Sonya memasukkan kembali botol minumannya ke dalam tas sambil menatap Kinal dengan heran. Ia merasa ganjil dengan tatapan itu. "Kenapa ngeliatin gue?"


"Gue rasa lo udah tahu siapa yang harus mengalah." Kinal tersenyum.


Sonya menaikkan alis dan mencelos. "Manamungkin gue menjilat lidah gue sendiri, Kin!!" Suaranya meninggi.


"Siapa lagi kalo bukan lo, Sonya?"


Sonya bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Kinal. Menatapnya tepat pada manik mata. "Bukannya ada Shania? Kenapa harus gue? Kehapa harus gue yang ngalah? Orang yang sok hebat itulah yang harus mengalah!" Sonya semakin sewot.


"SOK HEBAT?!?!?"


Sebuah suara melengking dari arah pintu masuk. Sonya maupun Kinal tersentak kaget dan menoleh ke ambang pintu. Shania dan Jeje sudah berdiri disana. Sorot mata Shania terbendung amarah yang luar biasa.


"SIAPA YANG LO MAKSUD ORANG YANG SOK HEBAT, SONYA?!?" teriak Shania.


Kinal tersenyum sinis. "Masalah yang satu belom kelar, muncul lagi masalah baru. Nasib, Nya, nasib!"


Sonya tak menghiraukan Kinal. Ia memandang Shania. "Menurut lo siapa, Shan?" tanya Sonya datar.


Shania mendekati Sonya dengan langkah lebar dan penuh emosi. Jeje hanya mengikutinya dengan langkah was-was.


"Jelas-jelas lo ngomongin gue, Sonya!" kata Shania tertahan setibanya di depan Sonya.


"Shan, bisa nggak sih lo panggil gue kakak. Ke Frieska sama Jeje juga nggak ada sebutan kakaknya. Kita tuh lebih tua daripada lo! Yang sopan dikit dong!" Suara Sonya meninggi.


"Ck, mengalihkan pembicaraan!" Shania mendecak.


Kinal akhirnya turun tangan dengan berdiri di antara mereka. "Udahlah, kalian tuh apa-apaan sih, dari kemaren ribut melulu. Yang adem sebentar aja, kenapa sih?" gerutu Kinal.


"Tau nih, Sonya, jangan cari masalah teruslah." sambung Jeje.


"Lo nyalahin gue, Je?" tanya Sonya menatap Jeje dengan tatapan lo-temen-gue-tapi-lo-nggak-ngebela-gue.


"Sonya, udah, jangan nambahin masalah lagi!!" gertak Kinal.


Kemudian hening. Ketiganya sama-sama terdiam setelah gertakan dari Kinal tadi. Dan tepat saat itu, Diasta, Frieska, dan Achan datang. Mereka bertiga merasa heran dengan suasana di dalam ruangan yang begitu mencekam.


"Nah, karena personil udah lengkap. Sekarang, ayo kita latihan!" Kinal memecah keheningan.


"Gue tetep nggak mau mengalah. Gue nggak mau menjilat lidah gue sendiri." desis Sonya.


* * *


Gue mengerjap-ngerjap mata ketika silau cahaya lampu menyinari mata gue. Setelah beberapa saat, perlahan kesadaran gue pulih. Dan gue mencium bau rumah sakit.


"Sonya?"


Gue menolehkan kepala gue pelan ke arah suara. Stella sudah berdiri di sebelah ranjang gue. Di belakangnya ada Sonia, Frieska, dan Ghaida.


"Akhirnya siuman juga. Gimana keadaan lo?" tanya Stella hangat.


Gue nggak menjawab. Gue hanya menggeleng lemah tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Tubuh gue memang terasa lemas setelah gue mengingat apa yang sebelumnya menimpa gue. Walaupun gue udah nggak merasakan sakit lagi di daerah bokong gue yang mendarat terlebih dahulu ke lantai.


"Masih kerasa sakit bekas jatuh tadi nggak?" Stella kembali bertanya.


Gue kembali menggeleng lemah.


Frieska melangkah mendekati meja dan mengambil segelas air putih. Dia kembali mendekati gue dan menyerahkan gelas itu kepada gue. "Minum dulu, Nya."


Dengan dibantu oleh Frieska dan Stella, gue meneguk pelan minuman yang disodorkan oleh Frieska. Gue merasa lebih baikan setelah itu.


"Gue udah dateng ke tempat latihan waktu lo lagi loncat skipping, Nya. Tapi gue ragu untuk masuk. Akhirnya gue cuma bisa berdiri di depan ruangan. Waktu gue ngedenger ada suara jatoh di dalam ruangan, gue masuk dan ngeliat lo udah pingsan. AKhirnya gue telepon Sonia. Untungnya Sonia cepet dateng dan kita ngebawa lo ke rumah sakit. Kak Ghaida dan kak Stella juga ikut di mobil kita." kata Frieska. "Maaf ya, Nya."


Gue tersenyum kecil. "Untuk apa minta maaf, Fris? Justru gue yang berterimakasih, lo masih peduli sama gue. Makasih ya, Fris." Gue meraih tangan Frieska dan menggenggamnya.


Frieska balas menggenggam tangan gue. Ada desiran-desiran yang begitu gue rindukan ketika tangan itu balas menggenggam gue. Gue merasakan sesuatu yang telah hilang perlahan mulai kembali.


Gue memandang Stella, Ghaida, dan Sonia yang berdiri di belakang Frieska. Gue tersenyum. "Stella, Ghaida, Sonia, makasih ya atas pertolongan kalian. Gue ngerepotin kalian banget, maaf ya."


Stella tertawa kecil sambil merangkul Sonia. "Nggak apa-apa kok, Nya. Nggak usah sungkan sama gue. Biasanya kan lo juga minta bantuan ke gue." kata Stella.


Gue ikut tertawa. Semuanya juga tertawa. Tapi, gue masih merasakan keganjilan.


"Fris?"


"Kenapa, Nya?"


"Yang lain pada kemana? Jeje? Kinal?" tanya gue.


Dan, sungguh, ekspresi Frieska berikutnya membuat gue berhenti berharap.


"Mereka belum dateng, Nya. Tapi gue udah telepon mereka kok. Tapi, Nya, mereka pasti dateng kok."


Gue berpaling. Nggak usah ngehibur gue, Fris...


"Manamungkin ada yang mau jenguk orang egois kayak gue, Fris. Gue tuh terlalu banyak berharap." kata gue lirih.


Frieska kembali menggenggam tangan gue. "Enggak, Sonya."


Gue kembali memandang Frieska. Dan betapa tertegunnya gue ketika melihat mata Frieska berkaca-kaca. Ia menggeleng-geleng pelan. "Lo nggak banyak berharap kok. Mereka pasti ngejenguk lo."


Gue tersenyum. "Fris," gue berkata lirih. "tadi aja lo nggak mau masuk ke ruangan karena cuma ada gue sendiri kan? Kalo aja gue nggak pingsan, mungkin lo nggak bakal masuk-masuk ke dalam kan? Lo nggak bakal mau ketemu sama gue kan?"


Frieska semakin menggenggam tangan gue lebih erat. Kepalanya pun semakin heboh menggeleng. Ia mulai tersendat-sendat. Airmatanya mulai mengalir dari pelupuk matanya.


Gue kembali perpaling. Gue emang paling jago bikin anak orang nangis...


"Jangan bicara gitu, Sonya! Gue nggak begitu. Gue nggak seperti apa yang lo omongin. Gue tulus ngebantuin lo." kata Frieska tersendat-sendat. Ghaida yang berdiri di belakangnya mengelus punggungnya pelan.


"Fris, gue nggak bilang lo terpaksa ngebantuin gue kok. Gue cuma berpikir kalo lo seperti itu, pasti temen se-grup kita juga bakal ragu untuk ngejenguk gue."


"Sonya." Suara lembut Stella membuat gue menengok ke arahnya. "Kenapa sih Sonya makin memperkeruh suasana? Bukankah Frieska udah memberitahu teman-teman yang lain kalo Sonya celaka? Lalu apa yang perlu diributkan? Bila memang teman-teman Sonya belum datang atau tidak mau datang, mereka pasti punya alasan tertentu. Dan bila memang alasan mereka karena masih merasa kecewa atas sikap egoisnya Sonya yang telah lalu, apa salahnya? Sonya harus bisa menerima kenyataan. Kenyataan kalau mereka belum mau atau tidak mau datang untuk menjenguk Sonya.


"Mungkin mereka merasa bingung apa yang akan mereka lakukan ketika sudah berada disini bertemu dan menjenguk Sonya. Mungkin mereka belum tau apa yang harus dilakukannya ketika sudah bertemu dengan Sonya nanti, harus berkata cepat sembuhkah, atau meminta maafkah, atau mungkin malah mencela Sonya, mereka tidak tau apa yang harus mereka lakukan. Makanya mereka lebih memilih untuk tidak datang. Lagipula apa ruginya kalo mereka nggak dateng? Toh, sudah ada Frieska disini. Walau hanya Frieska. Ini pasti hal yang nggak diduga kan oleh Sonya. Masih mending loh ada Frieska disini, ada teman satu grup Sonya walau hanya seorang, daripada nggak ada sama sekali kan?" kata Stella.


Gue termenung. Suasana di dalam ruangan mendadak hening.


Gue memandang Frieska yang masih tersendat-sendat. Tiba-tiba gue merasa ada di posisinya, begitu menyakitkan dituduh yang enggak-enggak seperti itu. Padahal dia tulus banget nolongin gue, dan berusaha sebisa mungkin menghubungi teman-teman. Kenapa gue cuma bisa mikir diri sendiri aja? Kenapa gue bisa begitu egois? Gue benar-benar merutuki diri gue sendiri. Perlahan gue pun mulai membenarkan perkataan Stella.


Gue balas menggenggam tangan Frieska. "Maaf, Fris." Frieska memandang gue. Matanya yang berkaca-kaca seolah menyihir mata gue. "Maaf." Mata gue mulai berkaca-kaca. "Maafin Sonya." Dan secepat itulah pertahanan gue jebol. Airmata gue tumpah begitu saja.


Tanpa ada aba-aba sama sekali, Frieska membungkukkan badannya dan memeluk gue yang masih berbaring di atas ranjang. "Nggak ada yang perlu memaafkan dan dimaafkan, Sonya." lirihnya sambil tersendat.


Gue menggerakkan tangan untuk menyentuh rambut Frieska. Gue balas memeluknya. Kami menangis bersama. Tangis persahabatan.


Dan untuk pertama kalinya setelah gue bergabung bersama grup dance, gue merasakan kehangatan dalam sebuah persahabatan.




Bersambung

2 comments:

  1. astaga , lu pinter amat sih bikin cerita ... gw pengen jago bikin cerita kaya lu T.T

    ReplyDelete
  2. gile bro keren bnr
    tpi knpa gk ada lanjutannye lgi ????

    ReplyDelete