"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Wednesday, October 17, 2012

Bukan Dia, Tapi Aku (#1)

Bagiku, sahabat adalah segala-galanya. Apakah kamu setuju?


Aku yakin kamu pasti setuju. Tapi, mungkin bukan diperuntukkan untukku, melainkan mereka, orang-orang terdekatmu yang selalu berada di dekatmu.


Lalu, apakah aku tidak termasuk ke dalamnya? Sebagaimana aku juga selalu berada di dekatmu seperti mereka. Entahlah.


Tapi yang kurasa, aku hanya bersahabat denganmu sendirian.


Sungguh, sama sekali aku tidak memiliki pemikiran seperti itu. Bahkan sama sekali tidak menginginkannya. Bagiku, kamu adalah sahabatku, dan aku adalah sahabatmu. Seperti apa dari arti kata "sahabat", aku dan kamu selalu bersama dan selalu menyediakan ruang dan waktu untuk berbagi suara hati.


Namun, kini sudah berubah. Dan tak lagi sama.


Aku hanya merasa bahwa hanya aku sendiri yang menganggapmu sahabat, tapi kamu tidak.


Semuanya bermula dari pelajaran kesenian.



Pagi itu, langit tak secerah biasanya. Gelap sedang menyelimutinya, seakan enggan untuk menampakkan cahaya. Langit memang belum menangis, tapi dia sedang bersedih. Sama seperti hatiku, yang sedang bersedih. Gelap tak bercahaya. Kemudian kamu datang.


Pada pagi yang tak bersahabat itu, kamu menyediakan ruang dan waktu untukku berbagi. Dan aku bercerita tentang dia, seseorang yang tanpa sadar telah aku kagumi.


Dia, bukanlah seseorang yang biasa. Dia berbeda, tidak seperti yang lain. Dia baik, tentu saja. Dan dia, yang entah sejak kapan telah berhasil memikat hatiku. Dia adalah seorang lelaki yang kini dekat denganku.


Kamu mendengarkanku. Kamu dengan sabar menungguku selesai bercerita tentang dia. Dan ketika aku mengakhiri cerita dengan menyeka airmata yang mengalir di kedua belah pipiku, dengan tenangnya kamu berkata, "Laki-laki memang begitu. Cuma bisa harkosin perempuan aja."


Aku hanya mengangguk. Namun, dalam hati kecilku aku berteriak 'tidak'. Tidak! Dia tidak begitu! Dia bukan lelaki yang dengan mudahnya memberi harapan kosong pada perempuan. Dia bukan lelaki yang seperti itu. Dia berbeda. Dia lelaki yang baik.


Kemudian bel masuk berbunyi. Guru kesenian datang memasuki kelas.


Hatiku masih bergemuruh ketika pelajaran berlangsung. Antara mengiyakan dan mentidakbenarkan perkataanmu tadi. Hatiku semakin gelap.


"Jangan terlalu dipikirkan! Ada hal yang lebih penting yang harus dipikirkan daripada memikirkan Kinan." Kamu kembali menambahkan.


Dan tanpa sadar aku tersenyum. Aku tahu. Aku sangat tahu. Masih banyak hal yang harus kupikirkan daripada memikirkan dia. Kamu benar sekali.


Tak hentinya aku tersenyum. Mengingat kata-katamu, aku semakin yakin bahwa kamu tak ingin aku jatuh pada orang yang salah. Kamu hanya menginginkan aku baik-baik saja. Namun, tunggu...


Hatiku bergetar. Seakan tidak setuju dengan pemikiranku.


Aku menekankan telapak tangan kananku ke dada. Jantungku berdebar keras. Apa yang terjadi?


'Kamu menyayangi dia, Audria. Kamu menyayangi dia. Dia tidak memberi harkos kepadamu. Dia serius denganmu.'


Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Hati kecilku berkata lain. Hati kecilku tidak setuju dengan ucapanmu.


Namaku dipanggil. Aku berdiri dari dudukku dan menghampiri meja guru di depan kelas. Dan aku menyemut disana bersama beberapa anak lain yang juga dipanggil.


Aku hanya memandang miris kolom nilai mata pelajaran kesenianku. Sungguh, miris sekali nilaiku! Aku memang tidak berbakat di bidang seni.


Aku melirik barisan meja yang kududuki. Aku melihatmu. Dengan lihainya tanganmu menggores halaman bukumu dengan pensil kayu. Dengan tekunnya kau membuat sketsa gambar dengan tanganmu. Sungguh, aku iri padamu, teman. Kamu benar-benar berbakat di bidang seni. Kamu sangat berbakat.


Kemudian kamu mendongakkan kepalamu dan memandang ke arahku. Pangling, aku tersenyum, kemudian kembali mendengarkan instruksi guru kesenian yang sedang memberikan beberapa tugas untuk anak-anak yang mengerubunginya, termasuk aku, untuk nilai tambahan.


Kembali aku melihatmu, dan aku tak menemukan kamu di bangku dudukmu. Kulihat kamu berdiri di ambang pintu kelas, menghadap keluar kelas. Terlihat sedang mengobrol dengan seseorang yang bersembunyi di balik pintu yang setengah tertutup. Aku tahu karena aku melihat sepotong rambut dari balik kaca yang terdapat pada pintu kelas tersebut. Sepertinya laki-laki.


Aku mengernyit. Aku mengenali rambut itu. Aku mengerjapkan mata ketika melihat kamu tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahku. Dan pada detik itu juga aku menahan napas begitu melihat orang yang sedang berbicara denganmu melongokkan wajahnya ke dalam kelas.


Aku tak tahu seberapa lama aku menahan napas setelah melihat kejadian tersebut. Baru setelah guru kesenian menyebut namaku, aku menghela napas dan memalingkan pandangan kepadanya. Namun hatiku bergemuruh. Jantungku berdebar keras. Tubuhku lemas. Dan napasku memburu. Apa yang baru saja kulihat tadi? Bagaimana mungkin?


Rasanya, telingaku tuli saat itu juga. Aku tak bisa mendengarkan perintah guru kesenian padaku. Aku hanya mengangguk-angguk seakan mengerti ucapannya. Setelah selesai, aku kembali ke bangku dudukku. Dan kamu sudah duduk kembali disana.


Aku menoleh ke ambang pintu. Dia sudah tidak ada disana.


"Disuruh ngapain, Dri?" Suaramu menyambutku.


Aku hanya mengangkat bahu. Bukan karena tak ingin menjawab, tapi karena aku memang tak tahu harus membuat apa tadi.


Setiba di bangkuku, aku segera meneguk botol minumku. Memberikan keheningan di antara aku dan kamu. Tapi, kamu sama sekali tidak mau mencairkan suasana. Kamu diam. Kamu sibuk dengan duniamu sendiri. Kamu sibuk menggoreskan pensil di atas lembaran kertas putih di depanmu.


Aku ingin berbicara denganmu. Lebih tepatnya bertanya. Aku ingin bertanya tentang apa yang kulihat beberapa menit yang lalu. Tentang kamu dan dia. Tapi, suaraku tak bisa keluar. Aku tak bisa menanyakan hal itu padamu. Suaraku menyangkut di tenggorokan, tak bisa keluar.


Beberapa menit yang dilalui antara aku dan kamu benar-benar terasa lama. Bahkan terasa setahun. Aku dan kamu sibuk dengan dunia sendiri. Tak biasanya kami begini. Tak biasanya kami diam seperti ini. Ini adalah pertama kalinya.


"Lo nggak nanya apapun ke gue?" Akhirnya kamu bersuara.


Kamu tahu? Aku menahan napas ketika kamu bertanya seperti itu. Kamu tahu akan hal itu. Kamu tahu.


"Nanya apa?" Sebenarnya, bodoh sekali rasanya aku membalas ucapanmu dengan pertanyaan yang jelas-jelas sudah kutahu jawabannya.


"Tentang gue dan Kinan tadi. Gue yakin tadi lo ngeliat gue dan dia ngobrol di depan kelas tadi."


"Oh, itu? Iya, kenapa bisa?" tanyaku gugup.


Gugup adalah satu kata yang tepat yang dapat menggambarkan perasaanku sekarang.


Kamu memutar kepalamu menghadapku dan memandang tepat pada manik mataku. Aku menahan napas dan menelan ludah. Ada yang berbeda dari tatapanmu kepadaku. Ada sinar yang berbeda yang keluar dari kedua bolamatamu. Ada yang berbeda...



Bersambung

No comments:

Post a Comment