"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Saturday, October 20, 2012

Bukan Dia, Tapi Aku (#2)

Sebenarnya, aku tak ingin menduga apa-apa. Aku tak ingin memiliki pemikiran buruk atau negatif tentangmu. Makanya aku diam. Aku tak ingin bertanya lebih dahulu. Aku tak ingin, walau sebenarnya aku ingin tahu.


Kedua bolamata itu masih menatapku. Bolamatamu yang selalu memancarkan sinar kehangatan untukku. Tapi pagi ini, aku melihat sinar yang berbeda. Bukan sinar kehangatan. Dan aku tak mengerti arti sinar dari kedua bolamatamu itu.


Beberapa menit diisi kekosongan. Hanya dapat menatap satu sama lain dalam diam. Kemudian kamu bergerak terlebih dahulu. Tanganmu meraih sesuatu di dalam kolong mejamu dan mengeluarkannya.


"Dari Kinan." Kamu menyodorkan barang itu padaku. Sebuah kotak kecil.


Seperti kotak bekal makanan... batinku dalam hati.


Aku mengambilnya ragu. Mataku masih tak lepas dari matamu.


"Karena dia ngeliat lo tadi dipanggil Bu Esti ke depan, jadi dia nitip ini lewat gue." katamu.


Aku masih menatapmu. Tapi kamu tak kunjung menatapku. Kamu tetap menunduk memandang pinggiran meja kayumu. Seolah menghindar dari tatapan mataku.




"Bener?" Aku mencoba meyakinkan sekali lagi. Karena aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan darimu.


Oh, sungguh, aku tahu, Teman. Kamu adalah temanku, teman sebangkuku. Mana mungkin aku masih bodoh untuk mengetahui apa yang kamu nyatakan atau sembunyikan.


Aku melihat kamu melirikku sekilas. Namun setelah mata kita bertemu, kamu kembali berpaling. Dan dengan cepatnya kamu menganggukkan kepalamu.


Kamu bohong, itulah yang ada di pikiranku ketika itu.


Aku membuka kotak yang 'katamu' adalah pemberian dari dia. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati nasi goreng di dalamnya. Bukan, bukan nasi gorengnya yang membuatku terkejut, melainkan secarik kertas yang tertempel pada balik kotak. Tulisan tangan dia


'Nasi goreng untuk sarapan si gadis berkacamata supaya tetap semangat & nggak nangis lagi. Maafin kesalahan gue yang kemarin yaa, nanti pulang bareng, oke :) Kinan.'


Tanpa sadar aku tersenyum. Kuraih secarik kertas yang tertempel tersebut, melipatnya, dan menyimpannya di dalam saku baju. Aku menutup kotak tersebut dan menyimpannya di kolong meja. Semua itu kulakukan dengan senyum yang tersungging di bibirku. Namun sedetik kemudian lenyap ketika aku melihat kamu.


Kamu sedang menatapku. Dan aku tahu arti tatapanmu. Tatapan envy. Kamu iri.


"Kayaknya dia sayang banget sama lo, Dri." katamu. Kemudian kamu berpaling, kembali memperhatikan guru kesenian di depan kelas.


Aku hanya diam. Merasa tidak mengerti dengan ucapanmu. Tapi, melihat tatapan irimu tadi, sepertinya aku tahu.


Sudah kukatakan, semuanya ini bermula dari pelajaran kesenian.


+++++++


Jujur, dia tidak tampan. Dia tidak setampan Christian Bautista. Dia tidak setampan Justin Bieber. Dan dia tidak setampan artis Korea. Karena dia adalah dia. Dia bukan siapa-siapa. Dan aku mengagumi dia, bukan yang lain dan bukan siapa-siapa.


Tutur katanya yang lembut. Tatapan matanya yang teduh. Senyumannya yang menggetarkan jiwa. Aku suka. Aku suka semua yang ada pada dia. Dia, seorang lelaki yang aku kagumi.


Dan kini, dia berdiri di depanku.


"Karena nasi goreng adalah makanan kesukaan gue." kata dia ketika kutanyakan mengapa pagi tadi dia memberikanku nasi goreng.


"Kesukaan lo? Bukan kesukaan gue!" Aku menekankan perkataanku.


Dia tertawa. "Lagian, geer banget! Mau banget ya, gue ngasih lo makanan kesukaan lo?"


Tanpa sadar aku tersenyum kecil. Namun tanganku melayang memukul bahu dia pelan. "Tengil!"


Di saat aku dan dia tertawa, kamu lewat di depanku dengan membawa tas ranselmu di punggungmu.


"Duluan ya, Dri!" Kamu tersenyum padaku, lalu berjalan melewatiku.


"Iya, hati-hati!" balasku pelan.


Aku masih menatapmu hingga kamu menghilang di balik pepohonan. Dan ketika aku menatap dia, dia masih menatap ke arah jalan yang dilewatimu tadi.


"Chairmate lo kan?" Dia bertanya secara tiba-tiba.


Dia sedang menanyakan tentang kamu.


Aku hanya mengangguk kecil.


"Siapa namanya?" Dia kembali bertanya.


"Maudy."


Cukup. Cukup sebuah nama itu yang aku katakan kepada dia. Namun siapa sangka efeknya luar biasa bagi dia. Semenjak hari itu pembicaraan yang aku dan dia bicarakan adalah Maudy. Kamu.


Aku mendesah di dalam hati. Apakah ini yang dinamakan harkos?




Bersambung

No comments:

Post a Comment