"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Saturday, November 26, 2011

Senja Itu di Perth (Bisma's Stroy) #3

Bisma menarik kopernya keluar dari bandara, sementara sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan di telinga. Sepanjang perjalanannya menuju luar bandara, ia terus mengoceh berbicara dengan seseorang di sebrang ponsel sana.

“Gue lagi jalan ke luar bandara. Lo dimana? Cepetan deh Ga!” katanya sambil terus berjalan menarik koper. “Ya ampun Ga. Pake mogok segala sih mobil lo. Terus ini gue gimana? Duit gue kurang buat naik taksi ke apartemen lo.”

Bisma berlalu melewati salah satu kafe dalam bandara tersebut. Sesaat setelahnya ia berhenti. Setelah berpikir cukup lama, ia memutar tubuhnya memasuki kafe tersebut.

“Ya udah gue tunggu di kafe dalam bandara. Cepetan!” Bisma menututp flap ponselnya dan memasukkan ke saku jasnya. Ia berjalan memilih salah satu meja yang kosong dekat jendela kaca di kafe sana.

Bisma melepas jasnya dan menyampirkannya di bangku yang ia pilih. Ia duduk disana setelah memesan secangkir kopi hangat. Ia mendesah panjang dan menyenderkan punggungnya di bangku yang ia duduki. Pandangannya menerawang ke luar kafe. Ia kini berada di negeri orang.


Bisma tak tahu apakah keputusannya ini benar atau tidak. Jujur, ia tak ingin meninggalkan Indonesia hanya karena cemburu melihat Gita menikah dengan Ilham. Ia merasa cukup bodoh membuat keputusan seperti ini. Karena ini artinya ia telah menghindar dari kenyataan bahwa Gita telah dimiliki oleh oranglain. Tapi bila ia tetap berdiam di Jakarta, tak menutup kemungkinan ia akan berubah menjadi mayat hidup yang setiap harinya akan kuliah dan bekerja tanpa bicara. Akhirnya setelah berpikir kembali, ia memutuskan untuk ambil penerbangan ke Australia tinggal bersama sepupunya, Rangga Dewamoela disana.

Dan senja ini Bisma baru saja tiba di salah satu bandara di Perth, Australia. Melalui ponsel, Rangga bilang akan menjemputnya disana lima belas menit sebelum pesawat yang dinaiki Bisma landing. Namun ternyata sebuah kecelakaan kecil menghambat perjalanan Rangga. Mobil yang dinaikinya mogok. Alhasil, Bisma harus menunggu sepupunya itu di kafe ini. Andai sebelum penerbangan tadi ia menukar duit rupiah dengan dolar lebih banyak, mungkin ia tak perlu menunggu Rangga dan akan pergi sendiri menuju apartemen sepupunya itu dengan taksi.

Sinar matahari senja menembus pintu kaca kafe tersebut, diiringi langkah seorang gadis dengan rambut tipis kecoklatan memasuki kafe tersebut. Rambut tipisnya itu memunculkan seberkas cahaya matahari senja yang memantulkan cahayanya disana. Mata Bisma menyipit ketika melihat gadis itu melangkah melewatinya dengan menarik koper di tangannya. Bisma memperhatikan gadis itu memilih meja tak jauh di belakangnya. Gadis itu juga memilih bangku di dekat jendela kaca seperti Bisma, dan sukses membuat cahaya matahari senja memberikan seberkas cahaya di rambut gadis itu. Sesaat Bisma terkesima.

Bisma tak menyadari kehadiran salah satu waitress yang memberikan secangkir kopi hangat. Sesaat setelah waitress itu berlalu, Bisma baru menyadari secangkir kopi hangat telah tersedia di mejanya. Bisma mengangkat cangkir itu dan menyeruputnya pelan. Matanya terus mengarah pada gadis yang duduk tak jauh di belakangnya itu. Bisma terpesona dengan posisi duduk gadis itu. Tubuhnya tegak dengan dagu yang terangkat sedikit, memberi kesan gadis itu memiliki pribadi yang dewasa. Kakinya menyilang dengan kedua tangan diletakkan di atas paha. Senyumannya terukir jelas di bibir tipis gadis itu.

Bisma mengerjapkan mata ketika pandangannya bertemu dengan gadis itu. Ya. Gadis itu baru saja melihatnya, menatap tepat pada manik matanya. Merasa malu, Bisma pun menurunkan cangkir dari tangannya dan pura-pura mencari ponsel yang ada di dalam jas yang disampirkan di bangkunya. Dari sudut matanya, Bisma melihat gadis itu menggelengkan kepala sambil tertawa kecil memandangnya. Bisma mengutuk dirinya sendiri. Kenapa tiba-tiba ia merasa linglung begini?

Setelah menemukan ponselnya, Bisma mengotak-atik fitur ponselnya sambil curi pandang ke gadis itu. Dan ternyata gadis itu tak lagi melihatnya. Ia sedang berbicara kepada salah satu waitress, paling tidak memesan makanan atau minuman. Bisma masih sibuk mengotak-atik fitur ponselnya sambil melirik gadis itu. Sesaat setelahnya, Bisma terlonjak kaget ketika ponsel yang dipegangnya berdering minta diangkat. Merasa ia adalah orang yang parno karena tiba-tiba semua mata tertuju padanya termasuk gadis yang sedari tadi diliriknya itu, cepat-cepat Bisma mengangkat teleponnya dan menempelkannya di telinga.

“Ya. Halo?” Bisma memegang dadanya mencoba menetralisir keadaan jantungnya yang nyaris copot itu saking malu, salting, dan gugupnya di negeri orang sambil mencuri pandang ke arah gadis di belakangnya itu.

“Gue? Kan udah gue bilang di kafe dalam bandara. Lo udah di depan?” tanya Bisma sekali lagi mencuri pandang ke gadis di belakangnya.

Bisma mengetuk pelan atas mejanya sambil mendengarkan sepupunya berbicara di sebrang ponsel sana. Sesaat setelahnya, Bisma mendesah pelan. “Ya udah kalo emang gitu mah. Lo sms’in aja alamatnya ke nomer gue… Ya. Bye!” Bisma menutup flap ponselnya.

Bisma kembali mendesah, kali ini lebih panjang. Ia menyenderkan punggungnya di sandaran bangku sambil memejamkan matanya. Rangga bilang ia tidak bisa menjemput Bisma. Mobilnya mogok parah dan harus diopname malam ini. Rangga mengusulkan Bisma naik taksi ke apartemennya, tapi sebelumnya ke bengkel menjemput Rangga dulu. Urusan duit biar nanti ditanggung Rangga. Karena Bisma malas menunggu, akhirnya ia menyetejui usulan Rangga. Karena ia pun sudah lelah dan ingin segera tidur.

Bisma membuka matanya. Ia meraih secangkir kopi hangatnya dan menyeruputnya. Ia kembali melirik gadis di belakangnya. Kontan matanya membelalak, dan ia tersedak pelan ketika tak melihat gadis itu disana. Setelah batuknya mereda, ia memutar tubuhnya ke belakang. Kemana gadis itu? Bisma mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kafe. Tapi ia tak menemukan sesosok gadis itu. Kenapa tiba-tiba gadis itu menghilang? Apakah ia sudah keluar dari kafe ini? Tapi bukankah bila sudah keluar, seharusnya gadis itu melewatinya? Bisma memegang pelipisnya yang berdenyut. Ah, sudahlah…

Bisma mengenakan jasnya kembali. Setelah meletakkan beberapa lembar dolar Australia di atas meja, Bisma menarik kembali kopernya keluar dari kafe di bandara itu, tanpa menyadari seorang gadis yang sedari tadi diliriknya itu keluar dari toilet di dalam kafe tersebut.

©©©

Malam itu hujan mengguyur Kota Perth, Australia. Bisma berbaring di atas sofa di dalam apartemen sana. Matanya menatap langit-langit apartemen, tapi tidak untuk pikirannya. Pikirannya melayang pada pertemuannya dengan gadis Australia di kafe dalam bandara senja tadi. Baru kali ini ia melihat gadis secantik tadi. Ia pikir pun rasanya Gita kalah cantik dengan gadis tadi. Cantik? Sepertinya bukan kecantikan gadis itu yang membuat Bisma terpesona. Entah ia pun tak tahu kenapa tiba-tiba saja ia menyukai gadis itu pada pandangan pertama. Kalau saja ia memiliki keberanian mendekati gadis Australia itu. Ya. Kalau saja.

“Jadi Gita udah punya suami sekarang?” Rangga keluar dari dapur sambil membawa dua botol air dingin di tangannya. Ia melangkah mendekati Bisma yang masih larut dalam pikirannya di sofa sana.

Bisma mendesah pelan. Ia menegakkan tubuhnya dan menyenderkan punggungnya di sofa. “Yah. Begitulah.”

Rangga menyodorkan salah satu botol pada Bisma. Bisma menerimanya dan langsung meneguknya sekali. “Namanya Ilham. Pengusaha motor. Gue rasa sih Gita suka sama dia cuma karena wajah tuh anak mirip sama Reza. Gak ada alasan lain,” kata Bisma.

Rangga mengangkat alis. “Mirip bangetkah?”

“Berasa ngeliat kembaran Reza lo teh. Mirip bangetlah pokoknya.”

Rangga mendesah lalu menyenderkan punggungnya di sofa. “Terus rencana lo apa? Lari dari kenyataan, gak akan menyelesaikan masalah. Kenapa enggak lo bilang dari dulu aja kalo lo suka sama Gita?”

“Gue bukan tipe cowok yang mudah mengungkapkan perasaan. Bahkan bisa dibilang, gue itu cowok yang paling minim soal ngungkapin perasaan. Lo tau itu kan?” kata Bisma datar.

Mendengar ucapan itu yang keluar dari mulut Bisma, Rangga meledakkan tawanya. Memang ia tahu persis sepupunya itu. Bisma memang rada pemalu dalam mengungkapkan perasaan. Makanya sampai sekarang Bisma belum pernah merasakan rasanya memiliki seorang cewek sebagai kekasih itu seperti apa. Rangga bangkit dari duduknya dan duduk di sebelah Bisma. Ia merangkul pundak Bisma.

“Bisma, Bisma, lo teh culun banget sih. Mau sampe kapan sikap lo bakal gini terus? Keburu kemakan usia lo belum dapet pengalaman apa-apa loh,” kata Rangga dengan nada meledek lalu meneguk botolnya.

Bisma mendengus kesal. Ia melepaskan tangan Rangga dari pundaknya. “Elo Ga. Malah ngeledek gue. Bantuin apa gitu, biar gue bisa dapet cewek. Gue juga capek tahu single terus gini.”

Tawa Rangga semakin keras. Ia memegang perutnya saking gelinya mendengar ucapan Bisma. Melihat Bisma mengerucutkan bibir, Rangga memelankan tawanya. Ia meletakkan botolnya di atas meja, lalu kembali merangkul pundak Bisma. “Mau cari cewek Australia?” tawarnya.

Bisma tak langsung menjawab. Pikirannya malah melayang pada pertemuan di kafe senja tadi. Ia memutar tubuhnya 90 derajat ke arah Rangga sambil menepuk paha Rangga. “Ada eh. Gue udah dapet, Ga. Tadi di kafe bandara gue ketemu sama tuh cewek. Gue langsung kesengsem sama dia. Sumpah Ga, dia itu… tipe gue banget,” ucapnya sumringah.

Wajah Rangga juga berubah cerah. “Serius lo? Siapa namanya? Tinggal dimana? Masih kuliah atau udah kerja?” tanya Rangga beruntun.

Mendengar Rangga melempar pertanyaan itu, wajah Bisma kembali murung. Ia kembali memutar tubuhnya kembali seperti semula. “Gue gak kenalan sama dia. Canggung!” ucapnya lemas.

Rangga menghembuskan napas kecewa. “Parah lo Bis!” komentarnya pendek.

“Mau kemana lo?” tanya Bisma ketika melihat Rangga bangkit dari duduknya.

“Tidur. Besok kita jalan ke apartemennya Morgan. Lo mau ketemu sama dia gak?” kata Rangga sekaligus bertanya sambil terus melangkah menuju dapur menaruh botol minumnya kembali ke dalam lemari es.

“Wah, ya iyalah mau banget. Katanya sekarang dia jadi model ya? Hm, pasti tuh anak berubah drastis dah.” Bisma ikut bangkit dari duduknya menghampiri Rangga. Ia memberikan botol minumnya ke Rangga yang masih berdiri di depan lemari es.

Rangga menerima botol itu dan memasukkannya ke dalam lemari es. “Berubah banget. Jadi kece abis dia. Dan denger-denger sih seminggu lagi dia mau tunangan sama cewek blasteran Australia-Indonesia,” kata Rangga diselingi tawanya.

©©©

Bisma tak henti-hentinya memuji penampilan Morgan dalam hati. Ia baru saja bertemu dengan Morgan setengah jam yang lalu di apartemen Morgan yang terletak tak jauh dari apartemen Rangga. Morgan adalah teman semasa SMA Bisma dulu. Lelaki berpostur tinggi tegap itu melanjutkan kuliahnya di Australia dan menetap disana. Setelah lulus dari SMA, Bisma tak pernah berhubungan lagi dengan kawan lamanya itu. Setelah akhirnya mendapat kabar Morgan telah menjadi model terkenal di Australia, Bisma jadi rindu. Dan ia rasa keputusan untuk terbang ke Australia adalah keputusan yang tepat. Selain untuk merubah suasana karena melihat sahabatnya menikah dengan sahabat lamanya, ia juga bisa bertemu dengan Morgan.

“Hei, Bisma.”

Bisma terlonjak kaget setelah tepukan dari Rangga mendarat di pundaknya. Sontak ia menoleh ke Rangga yang kini sedang terkekeh kecil. Pandangannya ia alihkan kembali ke Morgan yang berdiri menghadap jendela kaca apartemen yang lumayan besar itu. Lelaki itu juga terkekeh kecil setelah sejenak melihat kedua mahluk yang duduk di sofa sana.

“Gak usah bengong dong. Dari tadi lo tuh bengong terus ngeliatin Morgan tau gak. Katanya kangen sama Morgan, kenapa sekarang malah jadi diem gituh? Canggung juga?” goda Rangga masih terkekeh.

Bisma tak langsung menyahut. Ia masih terkesima dengan penampilan sahabat lamanya itu. Sementara Morgan berjalan menghampiri Bisma dan Rangga dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. “Udahlah Bis, gak usah menatap gue kayak gitu. Gue manusia biasa kayak lo kok,” kata lelaki itu sembari duduk di hadapan Bisma dan Rangga. Rangga yang masih terkekeh kecil menepuk paha Bisma.

Bisma nyengir. Tatapannya masih tertuju pada Morgan yang kini tengah menyereput teh hijau. “Gue gak nyangka aja lo berubah gini sekarang. Oh ya, kata Rangga lo mau tunangan seminggu lagi. Sama siapa? Blasteran Indo-Aussie?” tanya Bisma mencondongkan tubuhnya ke depan.

Morgan meletakkan kembali cangkir teh hijaunya di atas meja. Sesaat ia tersenyum kecil. “Nyokapnya orang Indonesia. Udah hampir selama 17 tahun dia menetap di Indonesia. Lulus SMA, dia kembali ke Australia dan kuliah disini. Rencana gue sama dia sih nanti kita akan menetap di Indonesia aja,” katanya datar. Matanya menerawang.

“Jadi lo bener-bener serius akan tunangan? Sama cewek blasteran itu?” tanya Rangga ikut mencondongkan tubuhnya ke depan.

Bisma menengok ke Rangga. Ia tertawa kecil, lalu kembali menatap Morgan. “Jangan lupa undangannya ya Gan.”

“Ya doain aja gak ada hambatan apa-apa. Beberapa hari yang lalu dia mendadak terbang ke Indonesia begitu denger sanak saudaranya sakit parah. Baru kemarin dia tiba di Indonesia. Gue khawatir aja di hari H nanti, hambatan kembali datang.”

©©©

Angin senja menerpa rambut Bisma yang kini lelaki itu sedang berdiri di balik pagar jembatan di hadapan sunset sana. Ia tengah memandang matahari senja yang perlahan meninggalkan jejak sunset di langit sana sambil menikmati semilir angin senja. Tiba-tiba ia rindu suasana ini. Ketika dirinya seringkali menikmati semilir angin senja sambil memandang sunset berdua bersama Gita. Namun sekarang? Entahlah. Dia rasa, Ilham yang akan lebih sering menemani gadis itu berangkulan bahu sambil memandang sunset.

Bisma mendesah. Kenapa tiba-tiba ia teringat Gita? Bukankah kedatangannya ke Austalia ini untuk melupakan Gita sejenak? Tapi kenapa ia malah kembali teringat dengan gadis itu? Apa memang gadis itu memiliki ruang tersendiri di hatinya? Bukan hanya sekedar sahabat?

Bisma memutar tubuhnya dan menyenderkan punggungnya di pagar jembatan. Ia merogoh ponsel di saku celananya ketika ponsel itu berbunyi menandakan sms masuk. Ia baru saja akan membuka pesan tersebut ketika matanya menangkap seorang gadis berambut tipis kecoklatan yang baru saja akan melangkah melalui jembatan yang ia pijaki ini. Bisma terkesiap sejenak. Gadis yang ia temui di bandara tempo lalu?

Semua seakan berlalu begitu lambat. Gadis itu dengan anggunnya berlalu melewati Bisma. Ketika melewati Bisma, gadis itu menengok ke arahnya dan memberikan senyuman kecil di bibir tipisnya. Bisma – yang tak menyangka akan mendapat senyuman cantik dari gadis itu – terperangah. Ia memegang dadanya mencoba menahan degup jantungnya.

Angin senja menerpa sebagian rambut gadis itu ke belakang tepat ketika ia melewati Bisma. Bisma memejamkan matanya sejenak menikmati harumnya rambut gadis itu. Setelah membuka matanya kembali, ia baru sadar gadis itu semakin menjauh dari pandangannya. Ini kesempatan. Ayo Bisma, dekati gadis itu.

Setelah berdebat dengan dirinya sendiri akhirnya Bisma mengangkat kakinya untuk melangkah mendekati gadis yang semakin jauh dari pandangannya itu. Namun, peristiwa kecil yang benar-benar memalukan terjadi begitu saja.

Gadis itu menghentikan langkahnya ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh di belakangnya. Ketika gadis itu membalikkan tubuhnya, ia tertegun sejenak melihat seorang lelaki tengah terbaring menelungkup di tengah jembatan sana dalam keadaan menyedihkan. Dan ketika matanya bertemu dengan mata lelaki itu, ia baru mengenali wajah yang memang sudah tak asing di matanya itu.

Bisma mengutuk dirinya sendiri. Ah, kenapa ia meski terjatuh? Bukankah seharusnya kejadian bodoh ini tidak terjadi? Sambil menggerutu pelan, ia mencoba bangkit dari tidur telungkupnya sambil melirik gadis yang ingin dihampirinya tadi, berharap gadis itu tak melihat tingkahnya. Namun, ups sial! Gadis itu tengah memandangnya. Ia lebih mengutuk dirinya sendiri ketika melihat gadis itu menghampiri dirinya. Oh my god!

Bisma semakin gugup ketika melihat gadis itu berjongkok di dekatnya. Ia merasa salting.

Are you okay?” Gadis itu menyentuh dengkul Bisma sambil menatap tepat di manik mata Bisma.

“Ngg, oh iya ya gak – ah, hmm I’m sorryNo problem. Yes. I’m okay. Of course,” jawab Bisma sedikit gugup. Bahkan ia keceplosan mengucapkan bahasa Indonesia.

Bisma melirik gadis di hadapannya yang nampak sedikit tersentak. Sesaat kemudian, gadis itu tertawa kecil lalu mengulurkan tangannya membantu Bisma berdiri. Dengan sedikit canggung, Bisma meraih uluran itu.

Thank you,” ucap Bisma setelah berhasil bangkit dari duduknya.

No problem. Oh, excuse me.” Bisma melihat gadis itu memutar tubuhnya menghadap Bisma. Lalu kembali melanjutkan, “Kita pernah bertemu.”

Bisma tercekat. Apa yang baru saja dikatakan gadis ini? Gadis ini bicara bahasa Indonesia? Dan kalimat tadi? Kita pernah bertemu? Apa maksudnya? Tidak. Gadis itu tidak sedang bertanya. Ia berbicara seolah memang itulah kenyataannya. Tapi memang benar. Mereka pernah bertemu di bandara tempo lalu.

“Hei, kita pernah bertemu. Kafe bandara tempo lalu. Kau ingat?” Gadis itu menambahkan ucapannya.

Bisma mengerjapkan mata. Bahkan ucapan bahasa Indonesia gadis ini benar-benar fasih. Seakan baru menyadari sesuatu ia langsung menepuk tangannya sekali. “Oh ya benar. Ya. Aku ingat. Tentu saja,” katanya dengan ekspresi yang dibuat-buat. Ia masih heran dengan gadis di hadapannya. Gadis Australia berbicara bahasa Indonesia dengannya?

Bisma sadar gadis itu sedang memerhatikannya. Setelah itu gadis itu memutar tubuhnya menghadap sunset. “Aku tahu, kau pasti bingung kenapa aku berbicara bahasa Indonesia? Baiklah, akan kujelaskan. Namaku Tara. Aku gadis blasteran Australia-Indonesia. Ibuku Indonesia, dan ayahku Australia. Aku menetap disini hanya untuk kuliah. Setelah lulus nanti, aku kembali ke Indonesia. Dan kau? Kau orang Indonesia bukan?”

Dalam keadaan setengah sadar karena masih terbayang dengan ucapan gadis itu, Bisma mengangguk kecil. Tapi kini pertanyaan lain muncul di benaknya. Darimana gadis ini tahu ia orang Indonesia?

Tara memandang Bisma yang nampak berpikir. Seakan membaca pikiran Bisma, Tara melanjutkan, “Hm, oh maaf. Tadi aku tak sengaja mendengar kau mengucap bahasa Indonesia. So, kupikir kamu orang Indonesia. Benarkah begitu?”

“Ohh…” Bibir Bisma membulat. Ia ikut memutar tubuhnya menghadap sunset. “Ya. Dugaanmu tepat. Aku orang Indonesia. Namaku Bisma.”

“Senang berkenalan denganmu. Kau sedang kuliah disini?” tanya Tara.

“Tidak. Hanya ingin mencari suasana baru.”

“Oh ya? Hm, kudengar bila orang sedang mencari suasana baru, itu artinya sedang mempunyai masalah. Benarkah begitu? Kau juga seperti itu?”

Bisma menengok ke gadis itu. Gadis itu pun tengah memandangnya. Kenapa rasanya ia langsung bisa merasa begitu dekat dengan gadis ini? Bahkan Tara tahu benar ia punya masalah. “Hanya masalah kecil. Kau sendiri, kenapa ada disini?”

“Sudah kubilang aku sedang kuliah,” kata Tara dengan nada yang dibuat manja dan kesal.

Bisma terkekeh kecil. “Aku lupa, maaf. Eh ya aku jadi teringat, bagaimana kau bisa tahu aku adalah orang yang sama dengan orang yang kautemui di kafe bandara tempo lalu?”

“Ah, itu. Tingkahmu tak jauh beda dengan lelaki yang kutemui di kafe bandara. Kurasa kau adalah orang yang sama. Dan ternyata benar bukan? Hm, kau baru tiba di Perth hari itu?”

Bisma sedikit tertegun. Ah, bagaimana tidak? Ternyata ketika di bandara tempo lalu itu, Tara benar-benar memperhatikan tingkahnya. Apakah gadis ini memang gadis yang selama ini ia cari? Yang siap untuk menggantikan posisi Gita di hatinya? “Oh ya. Saat itu aku memang baru tiba dari Indonesia. Kau sendiri? Membawa koper besar untuk apa? Baru tiba di Perth juga?”

Tara tersenyum kecil. “Ya. Nenekku yang berada di Indonesia sakit parah dan aku harus segera pulang. Dan saat itu aku baru saja tiba di Indonesia. Wah, berarti kita satu pesawat. Kenapa kita tak menyadarinya?”

Bisma ikut tertawa kecil. “Mungkin tempat dudukmu jauh dari tempat dudukku.”

Bisma menengok ke Tara ketika melihat gadis itu mengaduk-aduk isi tas tangannya dan mengeluarkan ponsel. Bisma melihat gadis itu membaca sebuah pesan di layar ponsel dengan serius. Sesaat kemudian ia menutup flap ponselnya dan kembali menatap Bisma.

“Oh maaf aku harus pergi sekarang. Keluarga sudah menunggu untuk makan malam. Kita bisa bertemu lain kali nanti.”

“Oh ya. Tentu saja.” Sebenarnya Bisma sedikit tidak rela harus menyudahi pembicaraannya dengan Tara, namun sepertinya gadis itu memang harus segera pulang.

“Ini kartu namaku. Kau bisa menghubungiku malam nanti. See you!” Gadis itu menyerahkan kartu nama pada Bisma lalu memutar tubuhnya dan kembali melangkah menelusuri sepanjang jembatan.

Bisma memegang kartu nama gadis itu di tangannya sambil memandang Tara yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sesaat ia tersadar bahwa tadi ada pesan masuk. Ia pun membuka kembali pesan di ponselnya. Ternyata Rangga. Ah, tidak penting.

©©©

Pertemuan pertama dengan Tara membawa keberuntungan tersendiri untuk Bisma. Akhirnya ia bisa mulai melupakan masalahnya di Indonesia dengan berhubungan dengan Tara. Gadis itu memang menarik dan baik. Ketika malam hari Bisma menelepon Tara sebagai janji yang gadis itu buat, Tara mennyambutnya dengan antusias. Dan sejak hari itulah, Bisma semakin dekat dengan Tara. Ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama Tara dibandingkan berdiam di apartemen Rangga. Walau terkadang pada beberapa event penting yang cukup romantis untuk bersama dengan Tara, Tara selalu tidak bisa menerima ajakan Bisma itu tak masalah baginya. Menurut Bisma, itu lebih dari cukup. Karena berkat Tara, rasa canggungnya untuk mengungkapkan perasaan pada oranglain semakin tertutup.

Dan akhirnya hari itu tiba. Dimana Tara mengajak Bisma untuk bertemu senja nanti di salah satu restoran di Perth. Bisma tak sabar menanti senja hari. Ia tak sabar menikmati event yang berharga itu bersama Tara. Tapi ada yang aneh. Tara menyuruhnya membawa teman agar nanti disana ia tidak kesepian. Sungguh aneh. Bukankah maksud dari ucapan itu Tara ingin ada orang ketiga? Tapi Bisma tak terlalu mementingkan hal itu. Ia hanya bisa menanti senja hari tiba. Rangga yang memang kebetulan tak ada kelas pada hari ini pun akhirnya Bisma mengajaknya. Untuk menutupi keheranan Rangga, Bisma pun menceritakan tentang pertemuannya kembali dengan gadis yang ia temui di kafe bandara tempo lalu hingga ajakan date-nya nanti.

“Bener-bener hebat deh lo Bis. Hm, tuh cewek emang bener-bener kecantol kayaknya sama lo. Emang siapa namanya?” tanya Rangga yang nampaknya antusias.

“Ya. Mudah-mudahan aja Ga. Gue mau nembak dia senja nanti soalnya. Namanya Tara. Gadis blasteran Australia-Indonesia,” kata Bisma sambil mesem-mesem sendiri.

Mendengar ucapan Bisma tadi, kontan mata Rangga membulat. Ia menoleh cepat ke Bisma yang sedang berbunga-bunga. Apa mungkin orang yang sama dengan…?

“Tara? Blasteran Indo-Aussie?” ulang Rangga seolah tidak yakin dengan ucapan Bisma.

Bisma ikut menoleh. Ia memandang heran ekspresi Rangga. “Iya. Kenapa? Pokoknya nanti waktu ketemu gue mau langsung nembak dia. Langsung lamar sekalian juga boleh deh. Ah, jadi gak sabar gue Ga.” Bisma menyenderkan punggungnya di sofa dan memandang langit-langit apartemen. “Pokoknya nanti lo harus ikut Ga. Dia nyuruh gue bawa temen soalnya. Aneh sih emang. Tapi bodoamatlah. Yang penting nanti gue ketemu sama Tara.”

Rangga membuka mulutnya. Tapi sesaat kemudian kembali menutup mulutnya. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia buang jauh-jauh pikirannya itu. Ya, mungkin saja bukan orang yang sama. Mustahil. Rangga kembali melirik Bisma yang kini masih mesem-mesem gak jelas memandang langit apartemen. Tara? Blasteran Indo-Aussie? Tapi bisa jadi juga adalah orang yang sama.

©©©

Bisma telat. Ia telat datang ke acara yang dijanjikan Tara, dikarenakan mobil yang dinaikinya bersama Rangga – mobil Rangga yang sering mogok – kembali mogok di tengah jalan. Bisma mengutuk sepupunya sendiri kenapa mobil butut itu masih saja dipake.

“Biar butut, gue gak akan jual nih mobil,” kata Rangga mengomentari kutukan sepupunya itu.

“Lagian siapa juga yang mau beli nih mobil,” gerutu Bisma.

Akhirnya mereka pun terpaksa naik taksi. Dan sialnya kembali kendaraan memadati lalulintas di Kota Perth. Alhasil, mereka berdua terpaksa berjalan kaki ketika hampir berada dekat dari tempat yang dijanjikan.

“Sial gue ngebawa elo Ga. Tau gituh gue ajak Morgan aja,” keluh Bisma di sepanjang perjalanannya.

“Percuma juga lo ajak Morgan. Jam segini tuh biasanya dia ngedate bareng ceweknya,” komentar Rangga.

“Ah, rese lu Ga!” Bisma ngedumel.

Pukul enam lewat lima belas menit! Bisma dan Rangga baru tiba di restoran yang dijanjikan Tara. Mereka telat tiga puluh menit dari janji yang dijanjikan. Dengan harapan Tara gak marah karena ia ingkar janji, Bisma melangkahkan kakinya menuju meja yang ditempati Tara.

Tara telah duduk di luar restoran sana. Ia duduk menyendiri di meja bulat itu sambil memandang kolam renang yang berada tak jauh di sebelahnya. Restoran mewah ini memang dilengkapi fasilitas kolam renang yang cukup untuk menghilangkan kejenuhan para pengunjung. Bisma dan Rangga pun melangkah mendekati meja itu.

“Hei, Tara…” Bisma melambaikan tangannya sambil terus berjalan mendekati Tara.

Merasa namanya dipanggil, Tara menengok ke sumber suara dan telah mendapati dua lelaki tengah berjalan menghampirinya. Tara tersenyum, ia kenal lelaki itu. Bisma. Dan lelaki yang dibelakangnya? Kening Tara mengerut. Rasanya ia mengenali wajah lelaki itu.

Kehadiran Bisma dan Rangga di dekat Tara disambut oleh gadis itu. Tara bangkit dari duduknya sambil memandang Rangga heran. Rangga yang sudah menduga adalah orang yang sama tersentak kaget melihat Tara. Dugaannya tidak salah.

“Tara, maaf banget aku telat. Mobilnya sepupuku nih, si Rangga, mogok di tengah jalan. Terpaksa naik taksi deh. Eh gak tahunya malah macet. Untungnya sih macetnya di daerah deket-deket sini, jadi tinggal jalan. Oh ya, kamu udah lama?” Bisma memberikan penjelasan sekaligus bertanya.

Tara tersadar. Ia memalingkan pandangannya dari Rangga ke Bisma. “Ah, iya. Enggak kok gapapa. Hm, sepupumu eh…” Tara menghentikan kalimatnya. Ia kembali memandang Rangga kemudian tertunduk.

Bisma menengok ke Rangga. Melihat Rangga yang sepertinya sudah tak merasa asing lagi dengan Tara, kening Bisma mengerut. “Oh, ini Rangga. Iya, dia sepupuku. Kau kan memintaku untuk membawa teman, makanya kuajak sepupuku datang kesini. Memang untuk apa? Bukankah sepupuku ini hanya akan mengganggu makan malam kita berdua?” kata Bisma sekaligus bertanya.

Bisma melihat Tara mengangkat alis. Kenapa rasanya Bisma merasakan aneh pada kedua mahluk di sebelah dan hadapannya ini?

“Berdua? Hm, aku justru menyuruhmu membawa teman agar kau tidak merasa kesepian ketika makan malam nanti,” kata Tara sambil melirik Rangga.

“Maksudmu?” Kali ini Bisma yang mengangkat alis.

Rangga sudah menebak alur ceritanya. Ia hendak meraih lengan Bisma dan menariknya menjauh untuk memberi penjelasan. Namun telat, lelaki yang ingin dibicarakan Rangga tiba-tiba saja muncul menghampiri mereka bertiga.

Bisma kaget dan kontan matanya melebar ketika melihat Morgan datang menghampirinya. Ia merasa malam ini adalah malam yang terindah karena bisa menikmati makan malam berdua bersama Tara dan ditemani oleh sepupu dan sahabatnya. Bisma baru saja akan membuka mulut ketika Tara berjalan mendekati Morgan, menggaet lengannya, dan mengajaknya mendekati meja makan.

Rangga mengutuk dirinya sendiri. Telat. Memang benar mereka orang yang sama.

Bisma membelalakkan mata ketika melihat Tara menggandeng lengan Morgan dan menariknya mendekati mereka. Kekagetannya tak cukup sampai situ, ucapan Tara setelah itu kemudian benar-benar membuat seluruh raganya meledak.

“Maksudku, kau pasti akan merasa tidak enak bila menjadi orang ketiga pada makan malam kali ini. Makanya aku menyuruhmu membawa teman supaya kau tidak merasa kesepian ketika makan malam kita kali ini. Karena aku ingin memperkenalkan Morgan padamu. Kau harus tahu hal ini, Bisma. Sebentar lagi aku akan tunangan dengan Morgan. Dia pacarku sekaligus calon tunanganku.”

Bisma terhenyak. Ia membelalakkan mata kaget. Jantungnya nyaris copot mendengar kabar mengejutkan itu. Tara calon tunangannya Morgan? Kenapa bisa? Ia memandang Morgan yang berdiri di sebelah Tara. Lelaki itu tak menampakkan ekspresi apa-apa. Hanya ekspresi datar yang tergambar di wajah tirus itu. Ia lalu memandang Rangga yang berdiri di sebelahnya. Lelaki itu langsung memalingkan muka dari tatapan Bisma. Bisma kemudian memaksakan otaknya untuk berpikir.

Bisma ingat ketika Morgan memberitahu akan segera bertunangan dengan gadis blasteran Indonesia-Australia. Yang katanya ibunya adalah orang Indonesia dan tempo lalu baru datang kembali ke Perth setelah mengunjungi sanak saudaranya di Indonesia yang sedang sakit parah. Lalu ia ingat dengan pertemuan keduanya dengan Tara gadis yang ia temui di kafe bandara ketika ia tiba di Perth yang mengatakan bahwa Tara adalah gadis blasteran Australia-Indonesia yang tempo lalu baru saja tiba dari Indonesia setelah mengunjungi neneknya yang sakit parah. Ciri-ciri gadis itu benar-benar mirip dengan gadis yang dibicarakan Morgan sebagai calon tunangannya.

Lalu ia kembali teringat dengan tingkah Rangga yang sepertinya begitu kaget begitu mendengar gadis yang dekat dengan Bisma adalah Tara gadis blasteran Indo-Aussie. Malam ini, ia kembali dibingungkan dengan tingkah Rangga dan Tara yang sepertinya terlihat saling mengenal. Dan kini tiba-tiba saja Morgan datang di hadapannya dan Tara mengaku bahwa Morgan itu adalah calon tunangannya. Tiba-tiba ia teringat dengan ucapan Tara ketika mengajaknya makan malam. Tara menyuruhnya membawa teman agar nanti ketika makan malam ia tidak merasa kesepian. Jadi, maksudnya adalah ini. Karena Tara membawa calon tunangannya yang ternyata adalah Morgan, sahabatnya sendiri. Bisma mulai bisa mencerna apa yang terjadi.

“Gak nyangka kita bisa ketemu disini, Bisma, Rangga. Oh ya Bis, ini cewek yang gue maksud waktu itu. Namanya Tara. Lo udah kenal ternyata,” kata Morgan membuyarkan lamunan Bisma.

Bisma melirik Morgan. Lelaki itu masih menampakkan ekspresi yang biasa. Datar dan tenang.

“Loh, kamu kenal Bisma, dear?” tanya Tara dengan eksresi kaget.

Morgan tersenyum kecil. “Dia temen SMA ku di Indonesia. Kita sempet bertemu waktu itu.”

Bisma melihat ekspresi sumringah di wajah Tara. Sesaat ia merasa sedih. Lalu apa maksudnya Tara memperkenalkan Morgan sebagai calon tunangan padanya? Bila memang ia ingin bertunangan dengan Morgan, untuk apa ia mendekati Bisma? Hanya ingin mempermainkannya? Hanya ingin membuatnya sakit hati? Mencampakkannya? Kenapa Tara begitu tega?

“Ternyata dunia memang sempit. Kalau begitu, mari kita mulai makan. Aku sudah lapar. Rangga, pantas saja aku merasa tidak asing dengan wajahmu. Ayo, silahkan duduk!” Tara menggandeng lengan Morgan dan membawanya duduk di bangku meja makan.

Bisma masih larut dalam pikirannya. Tidak. Tidak. Ia harus bisa menerima kenyataan ini. Tara memang telah dimiliki oranglain. Tapi, tapi kenapa harus Morgan? Di saat ia telah mendapat pengganti Gita dan mulai merubah sisi pribadinya yang mudah canggung, ia malah mendapat balasan seperti ini. Dosa apa yang ia punya?

Rangga melangkah mendekati Bisma dan berbisik pelan, “Sori Bis, gue telat bilangin ini semua ke lo. Dari awal gue udah curiga sama cerita lo tentang Tara. Gue gak mau asal ceplos ke elo kalo belum ada bukti. Dan ternyata gue malah telat. Mungkin, Tara bukan pengganti yang pas buat Gita. Lo harus bisa nerima kenyataan ini.” Rangga lalu melangkah duduk di hadapan Tara dan Morgan.

Bisma memejamkan matanya sejenak, mencoba merasakan perih yang luar biasa di hatinya. Benar apa yang dikatakan Rangga. Tara bukan pengganti yang pas untuk Gita. Dan dia harus benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa Tara adalah milik Morgan, sahabatnya sendiri. Bisma tersenyum miris sambil membuka matanya perlahan. Sesaat setelahnya ia memilih bangku untuk duduk di sebelah Rangga, menikmati makan malam bersama Tara, Rangga dan Morgan pada senja itu di Perth.

No comments:

Post a Comment