"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, November 25, 2011

Gue Bukan Reza (Ilham's Story) #2

Sinar matahari yang mulai menguning menyilaukan mata Gita ketika ia menengadahkan kepala melihat siapa yang berdiri di ambang pintu sana. Setelah mengenali wajah lelaki itu, ia kembali memfokuskan pandangan pada kamera di tangannya. Ia membidik sebuah pemandangan di bawah sana dengan kameranya.

“Ngapain lagi kesini?”

Gita menengok sumber suara. Lelaki itu kini telah berdiri di sebelahnya. Gita tak langsung menjawab, ia kembali membidik sebuah gambar di bawah sana.

“Gita, jawab pertanyaan gue! Untuk apa lo kesini lagi?” bentak lelaki itu jengah.

Gita mendengus pelan. Ia menurunkan kameranya dan memandang lelaki di sebelahnya.

“Kenapa? Salah? Gue cuma nyari objek yang bagus buat dipotret. Udahlah Bisma, lo pulang aja sono.” Gita kembali memfokuskan kameranya dan membidik sebuah gambar.


Bisma menahan tangan Gita ketika gadis itu ingin memotret lagi. “Begitu dapet kabar lo ke gedung tua ini, gue langsung tinggalin kelas dan ambil langkah seribu kesini,” katanya.

Gita menengok. Keningnya mengkerut. Sesaat berlalu, ia terkekeh kecil sambil menurunkan kameranya.

“Bego lu Bis. Ngapain lo ninggalin kuliah lo cuma gara-gara dapet kabar gue ada disini? Gue cuma mau ngambil gambar sunset.” Gita masih terkekeh.

“Gue khawatir sama lo Git,” sahut Bisma cepat, tak menggubris ucapan Gita tadi.

Kontan kepala Gita berputar ke arah Bisma. Ia memandang Bisma dengan tatapan bertanya.

Bisma menurunkan tangannya dari tangan Gita. Ia mendesah pelan, lalu kembali memandang tepat di manik mata Gita. “Gue takut lo kayak dulu lagi,” lirihnya pelan.

Semua seakan berlalu dengan lambat. Gita terhenyak mendengar satu kalimat dari mulut Bisma tadi. Ia tak bisa membalas apa-apa. Ia diam membisu, begitu juga mahluk di sebelahnya. Mereka terdiam. Membiarkan hening menyelimuti mereka. Membiarkan matahari di ufuk barat meninggalkan jejak sunset. Pula membiarkan semilir angin senja menerpa kedua mahluk di loteng lantai atas gedung tua itu.

Pikiran Gita kacau. Ucapan Bisma tadi telah sukses membuatnya teringat akan masa lalu. Masa yang telah ia lupakan. Masa yang telah ia coba kubur dalam dalam dari hidupnya hingga tak tersisa secuil kisah apapun di ingatannya. Namun kini. Di gedung tua ini. Di tempat yang juga tersimpan beberapa kenangan masa lalu. Sahabatnya telah mengucapkan sebuah kalimat yang kembali mengingatkannya pada masa itu.

Bisma bergerak melangkah ke depan ketika melihat tubuh Gita limbung. Ia menahan tubuh Gita yang hampir saja terjatuh.

“Gita.” Begitulah pekikan kecil Bisma ketika berhasil menangkap tubuh kecil Gita.

Keadaan Gita menyedihkan. Wajahnya tiba-tiba pucat. Tubuhnya melemas seketika. Pening menyerang kepalanya. Pandangannya mengunang. Dan tak dapat mendengar apa-apa. Ia berusaha mendapatkan kesadarannya.

Bisma pun memapah Gita ke sisi tembok dekat ambang pintu tangga gedung tua itu. Ia menyenderkan tubuh Gita di tembok yang terlihat gosong itu lalu menggeser poni rambut Gita yang menutupi wajah gadis itu.

“Lo gapapa Git?” tanya Bisma khawatir.

Gita mendengar suara itu. Dengan tangan yang masih memegang pelipis, ia mengangguk kecil, diiringi hembusan napas lega dari Bisma.

“Gue selalu khawatir sama lo setiap lo ke tempat ini. Makanya gue selalu ngelarang lo ke tempat ini, karena gue takut, Git. Sekarang liat? Lo kayak gini kan jadinya? Kalo gak ada gue, siapa yang tahu kalo misal lo pingsan mendadak disini,” kata Bisma sambil menyentuh pundak Gita.

Gita melirik Bisma dengan sedikit tajam. Kalo lo gak dateng dan gak ngucapin kalimat tadi, mungkin gue gak akan kayak gini. Jadi sebenarnya ini salah siapa, hah… dengus Gita dalam hati.

“Udah mulai gelap.” Bisma mendongak menatap langit lalu kembali memandang Gita. “Balik sekarang yuk. Biar gue anter ke kosan lo,” lanjut Bisma.

Gita tak menjawab. Tapi Bisma juga tak membutuhkan jawaban karena ia langsung meraih lengan Gita dan meletakkannya di sebelah pundak Bisma. Bisma memapahnya turun ke bawah dan meninggalkan loteng serta gedung tua itu yang dimana disanalah kenangan masa lalu Gita berada.

©©©

Lampu merah menyala. Bisma kembali memapah tubuh kecil Gita menyeberangi jalan raya. Dengan langkah lambat, Bisma menuntun gadis itu yang masih belum sepenuhnya mendapat kesadaran. Dan tiba-tiba saja kejadian itu terjadi. Sebuah motor ninja dengan kelajuan tinggi menerobos lampu merah tepat ketika Bisma dan Gita menyeberangi jalan raya.

Gita merasakan hantaman keras pada dengkul kirinya ketika motor ninja itu membentur dengkul kirinya. Tubuh Gita limbung seketika. Ia terjatuh ke aspal. Refleks Bisma ikut terjatuh. Matanya melebar ketika melihat dengkul kiri Gita yang berlumuran darah. Kontan Bisma memutar kepalanya melihat motor ninja itu yang perlahan menghilang dari pandangannya.

“Brengsek lo!” umpat Bisma kesal.

Sesaat kemudian beberapa pejalan kaki membantu Bisma mengangkat Gita ke tepi jalan. Ada juga beberapa pengendara motor dan mobil yang turun dari kendaraannya untuk membantu. Setelah tiba di tepi jalan, lampu hijau menyala. Bisma mengucapkan terimakasih pada siapapun yang membantu. Beberapa pejalan kaki juga kembali melanjutkan perjalanannya. Tinggallah Bisma dan Gita di tepi jalan berdua. Bisma merobek lengan kaosnya dan membaluti luka di dengkul kiri Gita.

“Aaw!! Pelan pelan, Bisma. Sakit!” Gita memukul punggung tangan Bisma.

“Yeeh lo mau sembuh gak? Gue cuma ngebalut doang biar darahnya gak keluar terus,” kata Bisma sewot dan kembali membalut dengkul kiri Gita. Kontan Gita kembali memukul punggung tangan Bisma karena Bisma membalutinya dengan kasar.

“Emang bangsat tu cowok! Bukannya tanggungjawab, malah kabur begitu aja. Anak anjing kali ya tu bocah. Gak berperikemanusiaan…”

Dan keluarlah kata-kata sumpah serapah, caci maki dari mulut Gita untuk pengendara motor yang menabraknya tadi. Bisma cuma geleng-geleng kepala sambil membersihkan luka di dengkul kiri Gita. Penyakit emosiannya Gita kambuh lagi…

Tak lama kemudian motor ninja yang tampaknya tak asing lagi di mata Gita maupun Bisma parkir di hadapan mereka berdua. Ini kan motor yang tadi nabrak gue, pikir Gita sesaat, lalu menengok Bisma yang juga ikut memandangnya. Seakan membaca pikiran Gita, Bisma bangkit dari duduknya dan hendak menghampiri pengendara motor itu. Namun langkahnya terhenti ketika pengendara motor itu membuka helmnya dan menengok ke arah mereka. Bisma tercekat. Shock!

Gita terhenyak melihat wajah pengendara motor itu. Kontan matanya melebar dan mulutnya menganga tak percaya dengan apa yang dilihat di hadapannya. Pandangannya terpaku pada wajah sosok lelaki itu. Tepat memandang pada manik matanya. Bahkan Gita tak sadar kalau Bisma tengah memerhatikannya sejenak. Pula tak sadar lelaki itu telah turun dari motor dan berhadapan dengan Bisma.

Awalnya Bisma memang ingin marah serta merta memaki cowok itu yang telah seenaknya kabur dari kasus tabrakan. Tapi ia urungkan karena kaget melihat wajah yang rasanya tak asing baginya, walau ia yakin lelaki itu bukanlah orang yang sama dengan yang ia maksud. Lelaki itu meminta maaf pada Bisma karena tak bertanggungjawab setelah kejadian itu terjadi. Ia terpaksa kabur sejenak karena ia tidak mau dikerubungi massa. Bisma tak banyak berpikir. Ia hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan lelaki itu. Walau ia tahu seharusnya penjelasan itu tak masuk akal sebagaimana lelaki itu bermaksud untuk menghindar dari kenyataan bahwa yang menabrak Gita adalah dirinya. Tapi Bisma tak bisa berbuat apa-apa. Ia masih sangat shock melihat lelaki di hadapannya.

Lelaki itu melirik Gita. Bisma ikut melirik Gita. Dan Gita masih tetap memandang lekat wajah lelaki itu. Merasa tak enak diperhatikan seperti itu, akhirnya lelaki itu berjongkok di hadapan Gita. Bisma pun kembali duduk di sebelah Gita.

“Maaf, nona. Sungguh, tadi itu gue bener-bener gak sengaja. Gue emang suka ngebut kalo naik motor dan kadang gak ngeliat ada lampu merah. Gue pun gak ngeliat ada orang yang nyebrang. Yah, gue tahu gue salah. Tapi lo udah agak baikan kan, nona? Maaf banget. Gue bener-bener ngerasa bersalah banget,” kata lelaki itu dengan nada memohon.

Bisma menengok melihat Gita. Gadis itu masih terpaku melihat wajah lelaki itu. Tampak kelihatan bahwa ia shock. Ya. Bisma tahu akan hal itu. Ia pun sempat merasa shock melihat wajah lelaki itu. Tapi ia sadar bahwa ia bukanlah lelaki yang sama. Tak mungkin. Bisma menyenggol lengan Gita hingga akhirnya gadis itu mendapat kesadaran.

“Ah, ah iya gapapa kok mas. Lagipula udah baikan kok. Bisma juga udah bersihin darahnya tadi. Gapapa kok mas, bener,” kata Gita sedikit gugup tanpa mengalihkan pandangan dari lelaki itu.

Lelaki itu terkekeh kecil begitu melihat ekspresi di muka gadis di hadapannya. Kemudian ketiga mahluk itu berbincang-bincang sedikit, walau sebenarnya Gita lebih banyak diam karena masih terpaku akan wajah lelaki di hadapannya. Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul 7 malam. Lelaki itu terpaksa harus mengakhiri perbincangan kali ini, walau ia meragukan kenapa bisa secepat ini akrab dengan dua orang yang menjadi korban tabrak larinya. Ia bisa mendengar suara keluhan dari gadis di hadapannya ketika ia hendak bangkit dari duduknya. Dari sini, lelaki itu merasa memang ada yang janggal antara gadis itu, dirinya, dan juga cowok yang bernama Bisma itu.

“Kita bisa bertemu lagi.” Lelaki itu menyerahkan kartu namanya pada gadis di hadapannya. “Gue buka usaha motor di Kemang. Ada alamatnya di kartu itu. Kalo ada waktu, kalian boleh mampir kesana dan berbincang-bincang kembali. Atau mungkin gue yang ngajak kalian makan atau apalah sebagai pertanggungjawaban gue sama lo. Oh ya hampir lupa. Gue belum tahu nama lo. Siapa ya?” Lelaki itu mengulurkan tangannya.

“Gita. Fotografer.” Gita menyebutkan nama dan profesinya ketika berjabat tangan.

Lelaki itu tertegun. Ia sama sekali tak menanyakan profesi gadis itu. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa gadis itu tengah memberikan sinyal padanya. Lelaki itu tersenyum. “Gue Ilham.”

©©©

Sejak hari itu Gita tak pernah absen untuk ke Kemang hanya untuk bertemu dengan Ilham tanpa ada maksud lain. Bisma sebagai sahabat selalu menemani Gita dengan motor bebeknya. Sebenarnya Gita tak ingin ditemani. Tapi sahabatnya itu selalu ngotot untuk menemani Gita. Sebenarnya pula Bisma tahu bahwa ia hanya menjadi orang ketiga bila ia menemani Gita untuk bertemu dengan Ilham. Tapi ia tak bisa menahan diri setiap mendengar Gita ingin bertemu Ilham, maka itu ia selalu siap menemani Gita.

Hari berganti hari. Bulan pun berganti bulan. Ilham merasa sudah saatnya ia mengungkapkan perasaannya pada Gita. Karena ia mulai merasakan sinyal tinggi yang diberikan Gita untuknya. Pagi itu Ilham sudah berdiri di depan kosan Gita dengan pakaian yang sangat rapi. Gita membukakan pintu.

“Eh, hai elo ternyata. Ayo masuk dulu!” Gita melebarkan pintunya mempersilahkan Ilham masuk.

Tanpa enggan Ilham memasuki kosan Gita. Ia memasuki ruangan yang mendominasi ruang tamu itu.

“Maaf ya Reza, berantakan. Lo mau minum apa?” tanya Gita sembari membereskan ruang tamunya.

Ilham tersentak. Reza? Gita baru saja memanggilnya dengan Reza? Ilham buru-buru menggelengkan kepala. Tidak. Paling hanya feelingnya saja. “Ngg, gak usah muluk-muluk. Air putih aja cukup kok, Git.”

Gita lalu menuju dapur dan kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Gue ganti baju dulu ya Za,” ucap Gita lalu berlari menuju kamar.

Lagi-lagi Ilham tersentak. Za? Reza maksudnya? Kenapa Gita memanggil namanya Reza? Sesaat ia baru ingat, sejak pertama kali bertemu hingga saat ini, Gita tak pernah memanggil namanya. Karena Gita lebih banyak diam dan hanya memandang lekat wajah Ilham. Dan hari ini ia akhirnya mendengar Gita memanggilnya. Tapi tidak. Ia tidak memanggil namanya. Nama Reza-lah yang terucap di bibir Gita untuk memanggilnya. Bukan nama Ilham.

“Yuk. Gue udah siap.” Suara Gita membuyarkan lamunan Ilham.

Ilham kembali tersentak. Ia lalu meraih gelas di meja dan meneguknya sekali. “Ayo.”

©©©

Ilham menikmati harinya itu bersama Gita berdua. Ia senang memang, karena ia lihat pun Gita merasa senang. Namun sebuah pertanyaan masih terus melayang dalam otaknya. Reza? Kenapa setiap kali Gita memanggil Ilham, ia menyebut nama Reza? Siapa Reza itu? Mungkin bila hanya sekali memanggilnya dengan nama Reza tak masalah. Tapi ini berkali-kali dan terus berulang selama hari date-nya ini. Ilham merasa terbebani sendiri. Apa-apa ia merasa gak enak, apalagi bila Gita memanggilnya dengan nama Reza. Ingin sekali Ilham menyadarkan Gita bahwa ia adalah Ilham, namun waktunya selalu tak tepat. Ilham pun jadi merasa canggung ingin menambak Gita hari ini. Niatnya yang ingin menembak pagi itu, ia urungkan. Mungkin malam hari nanti adalah waktu yang tepat.

“Reza, gue laper deh! Makan yuk!” kata Gita tiba-tiba.

Ilham sudah terbiasa dengan panggilan itu. Akhirnya ia mengangguk dan membawa Gita ke sebuah kafe di eceran pertokoan pada siang itu. Entah tiba-tiba saja Ilham merasa ini waktu yang sangat tepat untuk mengatakannya, pula menembaknya.

“Oh ya Za. Minggu depan gue mau ngadain pameran. Lo tau kan kalo gue itu fotografer. Foto di memori kamera gue udah hampir penuh. Dan udah saatnya untuk dipamerankan. Lagipula gue tanya ke Bisma, dia juga udah setuju buat ngadain pameran itu. Pengambilan foto gue itu udah top banget. Rencananya gue mau ngadain pamerannya itu minggu depan di Senayan. Kebetulan juga itu tempat sepupunya si Bisma, makanya Bisma ikut turun tangan. Lo bisa bantuin gue juga kan Za? Dekorasiin aja. Gue tau lo dikit-dikit bisa kan? Ayolah, Reza. Bantuin gue ya,” kata Gita di sela lunch dengan satu tarikan napas.

Ilham menghela napas berat. Kenapa harus Reza lagi? Mau tak mau Ilham mengangguk.

“Oke. Besok kita mulai dekorasiinnya ya. Atau mungkin hari ini? Gimana? Setuju gak?” tanya Gita sambil menjepit daging panggangnya dan memasukkan ke dalam mulut.

Ilham diam. Ia tak menjawab. Entah kenapa Ilham merasa kesabarannya telah habis.

Melihat Ilham diam menunduk, Gita meletakkan sendok dan garpunya, ia meraih gelas dan menyeruputnya sekali. Ia menggerakkan tangannya memegang sebelah tangan Ilham di atas meja. Perlahan Ilham mengangkat kepalanya. Yang pertama kali ia lihat adalah seulas senyum yang terbentuk di bibir tipis Gita, hingga membuatnya ikut tersenyum.

“Lo kenapa Reza?” tanya Gita lirih sambil mencondongkan sedikit kepalanya ke depan memandang tepat di manik mata Ilham.

Senyum Ilham hilang ditelan kekecewaan. Ia menunduk sesaat dan mendesah pelan. Gita hanya memandangnya dengan kening berkerut. Ilham kembali memandang Gita. Ia balas memegang tangan Gita dan menggenggamnya erat. Gita semakin heran.

“Gita,” panggil Ilham lirih. Ia memandang nanar kedua bolamata Gita yang juga tengah memandangnya. “Gue bukan Reza.”

Gita tersentak. Ia tiba-tiba merasa sulit bernapas. Dadanya sesak. Seperti ketika mendengar kabar mengejutkan beberapa tahun lalu.

Ilham kembali menunduk ketika melihat ekspresi kaget di muka Gita. Ia mendesah lagi dan kembali memandang Gita. Ia semakin erat memegang tangan Gita. “Gue Ilham, Git. Gue bukan Reza. Dan gue gak kenal siapa Reza, tapi gue bisa yakinin ke lo kalo orang yang ada di hadapan lo ini adalah Ilham. Buka mata lo, Gita. Lo harus bisa benar-benar melihat gue. Gue bukan Reza.” katanya meyakinkan.

Gita masih merasa sulit bernapas. Pandangannya kini menerawang. Hanya sesaat, setelah itu ia mengendurkan genggaman tangan Ilham. Ia meraih tas tangannya di bangku sebelah dan mengambil langkah seribu keluar dari kafe itu tanpa menyadari ada seseorang sedang memerhatikan kepergiannya tidak jauh dari sana.

©©©

Gita tak tahu harus kemana. Ia berlari tanpa arah sambil terus menangis. Ia masih shock, bahkan sangat. Ia tak tahu kenapa ia lari begitu saja meninggalkan Ilham disana. Tapi ia merasa tak tahan tetap disana. Melihat wajah Ilham, rasanya sulit dipungkiri kalau Ilham bukanlah orang yang sama dengan seseorang yang ia maksud.

Gita berhenti berlari. Ia jatuh terduduk di atas rerumputan. Ia tak tahu ia berada dimana. Ia sudah benar-benar kehilangan akal. Ia tak bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa Ilham bukanlah orang yang sama. Ilham bukanlah orang yang sama.

Gita tak menyadari kehadiran Bisma di sebelahnya. Bisma menyentuh pelan pundak Gita. Setelah sadar Bisma duduk di sebelahnya, Gita menyambar pundak Bisma dan memeluknya erat. Ia tak tahu harus berbuat apa lagi. Hanya Bisma orang yang tepat untuk jadi sandaran kerapuhannya saat ini. Bisma seolah tahu apa yang Gita rasakan. Ia bahkan mengerti. Dari awal ia sudah menduga akan seperti ini bila akhirnya ia akrab dengan Ilham. Makanya ia selalu ingin menemani Gita bila gadis itu bertemu dengan Ilham.

“Rezaa…” lirih Gita pelan sambil terisak.

Bisma menggeleng di sela pelukannya. Ia mengelus rambut Gita. “Enggak, Git. Dia bukan Reza. Dia Ilham.”

Gita merenggangkan pelukannya dan menatap Bisma tajam. “Dia Reza, Bis. Dia Reza,” isak Gita.

Bisma lagi-lagi menggelengkan kepala. “Dia Ilham. Bukan Reza. Mereka orang yang berbeda, Git.”

“Enggak. Dia itu pasti Reza. Gue yakin, dia Reza, Bis. Gue yakin,” paksa Gita sambil terus terisak.

“Gita, Reza udah meninggal,” bentak Bisma akhirnya. Kontan Gita terperanjat. “Gita, lo sadar. Reza udah meninggal. Dan gak mungkin kalau Ilham itu adalah Reza. Mereka orang yang berbeda, Gita. Mereka orang yang berbeda.”

Gita menggeleng. “Dia pasti Reza, Bis. Pasti dia Reza. Reza belum meninggal, pasti  dia masih hidup dan dia nyamar jadi oranglain supaya gue gak kaget kalo ternyata Reza masih hidup. Gue yakin Reza masih hidup. Dan gue yakin dia Reza.”

Bisma melengos sejenak lalu kembali memandang tepat di manik mata Gita. “Yakin? Seberapa yakin lo kalo dia emang Reza? Oke. Kalo lo emang yakin. Ayo kita buktikan!” Bisma langsung menarik lengan Gita dan membawanya ke Tempat Pemakaman Umum.

Gita terhenyak ketika tahu Bisma mengajaknya kesana. Ia meronta-ronta. Tapi Bisma tak menggubris teriakan Gita. Ia tetap menarik lengan Gita hingga tiba di sebuah tanah pusara dengan nisan bertuliskan ‘Reza Anugrah’. Disana, Bisma baru melepas lengan Gita.

“Liat! Lo liat, Gita. Reza ada disini,” bentak Bisma jengah.

Gita jatuh terduduk tepat di sebelah tanah pusara Reza. Ia kembali terisak kencang. Melihat keadaan Gita yang begitu menyedihkan, Bisma melunak. Ia ikut jongkok di sebelah Gita. “Reza ada disini, Gita. Dia telah tenang disini. Dia gak mungkin kembali lagi dan menyamar jadi Ilham. Ilham bukan Reza. Mereka dua orang yang berbeda, walau wajah mereka mirip. Tapi Ilham bukan Reza. Ilham adalah Ilham. Dan Reza adalah Reza.”

Rasanya memang sulit dipercaya oleh Gita. Ia masih shock berat. Seharusnya ini tak mungkin terjadi. Seharusnya tak mungkin ia bertemu dengan seseorang yang berwajah mirip seperti Reza, yang akhirnya kembali mengingatkannya pada masa lalu itu. Gita tersadar. Ia menyeka airmatanya dan kembali berlari tanpa arah.

Bisma hendak mengejar, namun sebuah suara menghentikan langkah kakinya. Ia menengok sumber suara dan sukses membuatnya terperanjat. Reza?

“Bukan. Gue Ilham,” kata pemilik suara itu seolah membaca pikiran Bisma. “Gue butuh penjelasan, Bis.”

©©©

Bisma dan Ilham berjalan berdampingan menuju saung di pemakaman sana. Dalam perjalanannya, Bisma mulai bercerita.

“Dulu, tepatnya lima tahun lalu, Gita pacaran sama Reza, sahabat lama gue yang gue kenalin ke Gita waktu itu. Hampir setahun mereka berpacaran, Reza meninggal menjadi korban kebakaran di gedung perusahaannya. Gue dan Gita sama-sama shock, tapi Gita lebih shock berat. Dia gak percaya Reza meninggal secepat itu. Berbulan-bulan dia gak bisa lupain Reza, sampe akhirnya dia nyoba bunuh diri di gedung perusahaan Reza yang terbakar itu. Dia terjun dari loteng gedung tua itu yang bertingkat 13. Kalo aja gue gak dateng pada waktu yang tepat, mungkin Gita udah bener-bener terjun. Gue sempet ngerasa lelah buat ngusahain Gita biar dia gak terus-terus kayak gini. Setelah hampir selama 10 bulan, Gita baru bisa bener-bener ngelupain Reza. Semua kenangannya bersama Reza dia buang. Tapi dia masih sering datang ke gedung tua itu. Gue udah seringkali ngelarang, karena gue takut percobaan bunuh diri itu terjadi lagi, walau gue tahu juga Gita udah melupakan Reza.”

Bisma berhenti berbicara dan menghela napas. Rasanya sulit sekali mengingat kejadian itu lagi.

“Lalu? Apa hubungannya sama gue? Adakah gue mengingatkannya dengan Reza? Gue bukan pekerja kantoran kayak Reza,” kata Ilham sedikit sewot.

Bisma menggeleng. “Emang bukan. Tapi wajah lo, Ham.”

Ilham tersentak. “Wajah gue?”

“Wajah lo mirip banget sama Reza. Dan hal itu telah sukses mengingatkan kenangannya kembali bersama Reza,” kata Bisma.

Ilham terkekeh. “Segitu miripnyakah?”

“Mungkin waktu pertama lo ngeliat Gita, lo ngerasa dia suka sama lo kan? Karena dia terus-terusan merhatiin lo, ngeliatin wajah lo dan lebih banyak diam. Bahkan dia sempet ngeluh waktu lo harus pulang mengakhiri pembicaraan. Dan lo ngerasa Gita memberi sinyal sama lo. Iya kan?” tanya Bisma.

Ilham terhenyak. Benar. Ucapan Bisma tadi benar. Tapi ia tak menjawab. Karena sepertinya Bisma pun tak mengharapkan jawaban, lelaki itu langsung melanjutkan, “Itu karena dia shock. Shock karena dia akhirnya ngeliat Reza lagi. Gue juga shock. Tapi gue sadar kalo lo bukanlah Reza. Gue sadar, tapi sayangnya Gita enggak. Hingga akhirnya lo sama dia akrab. Tapi apa pernah Gita manggil nama lo dengan nama Ilham? Enggak kan? Itu karena selama ini Gita menganggap kalo lo adalah Reza.”

Sepi sebentar. Tak mendengar Ilham berkata, Bisma menengok melihat lelaki itu yang kini menunduk. Ilham memang sangat mirip dengan Reza. “Gimana menurut lo?”

Ilham mendongakkan kepalanya memandang langit. Ternyata gue cuma jadi bahan permainannya…Ilham mendesah pelan.

Bisma agak tersentak melihat Ilham yang hanya diam dengan ekspresi yang datar. Ketika Ilham menengok ke Bisma, ia hanya memberi seulas senyum paksaan.

“Gita gak salah kok Bis,” ucapnya kemudian.

©©©

Gita berdiri di atas loteng gedung tua itu. Ia masih terisak sambil memandang dua lembar foto di kedua tangannya. Ilham dan Reza? Jadi, Ilham bukan Reza? Ilham bukan Reza? Ilham bukan Reza? Ia memaksa otaknya berpikir keras. Dimana ia taruh lembar kejadian itu? Kenapa tiba-tiba ia lupa bahwa Reza sudah tiada? Kemana berkas memorinya bersama Reza? Kenapa hilang?

Tanpa sadar Gita meremas kedua foto yang satu bergambar Ilham dan satunya lagi bergambar Reza itu. Ia memejamkan matanya dengan paksa sambil terus mencari berkas memorinya bersama Reza. Kapan Reza meninggal? Kenapa dia meninggal? Apa yang terjadi dengan Reza? Kenapa ia bisa lupa?

Dan tiba-tiba semuanya berputar begitu cepat. Gambar-gambar rekaman masa lalunya berhasil terputar dalam otaknya. Semuanya berputar sangat cepat. Saat Bisma memperkenalkan Reza, sahabat lamanya pada Gita. Ketika saat itu ia mulai jatuh cinta pada Reza. Dan ketika Reza juga memberikan sinyal padanya. Ketika dirinya akhirnya bercinta dengan Reza. Mereka berdua berjalan bersama. Sampai akhirnya kebakaran itu terjadi pada malam hari di gedung tua yang ia pijaki ini. Reza berada di dalam dan telah berhasil dikeluarkan dengan tubuh yang gosong oleh penyelamat. Ketika Reza berada dalam masa kritisnya. Dan ketika alat pendeteksi jantung itu menggambarkan garis panjang lurus dengan bunyi yang melengking dan datar. Ketika Reza ditempatkan di tanah pusaranya. Ketika Reza memberikan senyum untuk yang terakhir kali. Lalu Reza kembali muncul di depan matanya dan mengaku bernama Ilham. Bukan. Reza tidak kembali. Ilham bukan Reza. Iya. Reza telah tiada. Dan Ilham bukanlah Reza. Ilham bukan Reza.

Gita jatuh terduduk diiringi terhentinya rekaman masa lalu itu di otaknya. Airmatanya kembali membanjiri kedua belah pipinya. Perlahan ia mulai sadar. Bahwa Ilham bukanlah Reza. Ilham dan Reza adalah dua orang yang berbeda. Ya. Ilham bukan Reza.

Gita tak menyadari hari sudah gelap. Ia bangkit dari duduknya, mencoba menjernihkan kembali otaknya. Ilham bukan Reza. Tepat saat itu ia mendengar suara Bisma dari ambang pintu memanggil namanya. Gita menengok dan tengah mendapati Bisma berlari menghampirinya. Laki-laki itu nampak tergesa-gesa. Setiba di dekat Gita, ia langsung menyambar pundaknya.

“Gita, kita harus ke bandara sekarang. Ilham sebentar lagi take off ke Australia,” kata Bisma, sukses membuat Gita membelalakkan mata dan menahan napas.

Bandara? Take off? Australia? Bukankah itu artinya… Ilham akan meninggalkan Indonesia?

©©©

Ilham memandang tiket penerbangannya. Ia mendesah pelan lalu memutar kepalanya memandang pintu kaca bandara itu. Ia masih belum sepenuhnya yakin akan meninggalkan Indonesia. Ia yakin pada hatinya sendiri kalau ia sangat mencintai Gita. Tapi ia tahu kalau ia terus berada disini, Gita takkan pernah bisa benar-benar melihatnya. Ia menganggap dirinya adalah Reza. Dan itu semua akan percuma bila Gita mencintai dirinya karena ia mirip dengan Reza.

Ilham melirik jam tangan. Pukul 7 malam. Sebentar lagi take off. Ia pun bangkit dari duduknya dan menarik koper menuju tempat penyerahan tiket. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar lengkingan suara perempuan. Ilham kenal suara itu. Suara Gita? Ilham membalikkan tubuh.

Benar. Perempuan itu Gita. Gadis itu tengah berlari kecil menghampirinya. Senyum Ilham mengembang. Namun ingat akan Reza, senyum itu kembali pupus. Gita berhenti berlari jauh di hadapannya. Napas gadis itu tersengal-sengal.

“Ilham, jangan pergiii……” teriaknya jauh disana.

Ilham mengerjapkan mata. Gita berkata apa tadi? Ilham? Gita memanggilnya dengan nama Ilham? Benarkah itu? Apakah ia salah dengar?

“Gue sadar lo bukan Reza. Lo adalah Ilham, yang hanya memiliki wajah mirip seperti Reza. Tapi lo bukan Reza. Lo bukan Reza, orang yang dulu sangat gue sayangi. Tapi lo adalah Ilham. Lo dan Reza adalah dua orang yang berbeda tapi memiliki wajah sama. Dan gue gak mau kehilangan orang gue sayangi untuk yang kedua kalinya. Gue sayang sama lo, Ilham. Gue mohon jangan pergii…” teriak Gita.

Ilham terperanjat. Ia tidak salah dengar. Tidak. Gita memang benar memanggilnya Ilham. Dan apa kata Gita tadi? Ilham seakan tersadar ketika petugas yang berdiri di pintu penyerahan tiket itu menepuk bahunya. Petugas itu meminta tiket milik Ilham. Ilham enggan. Ia melirik Gita yang masih berdiri jauh disana.

“Ilham, please… Jangan pergi! Gue bener-bener melihat lo, Ham,” teriak Gita lagi.

Ilham mengalihkan pandangannya ke tiket yang ia pegang. Ia masih berpikir keras. Ia takut kalau Gita akan memanfaatkannya lagi. Tapi, perkataannya tadi tidak menutup kemungkinan kalau Gita memang benar-benar akan melihatnya, bukan Reza. Akhirnya Ilham menyerahkan tiket itu ke petugas penyerahan tiket.

Gita membelalakkan mata, merasa tak percaya kalau Ilham memilih untuk berangkat. Kontan ia kembali berlari menghampiri Ilham. Apakah suaranya tadi kurang keras hingga Ilham mengabaikannya begitu saja? Tepat ketika Gita berada tak jauh di hadapan Ilham, Ilham menarik kembali tangannya serta tiket itu dan merobek tiket itu tepat di depan muka si petugas. Refleks Gita berhenti berlari dan mulutnya menganga. Ia melihat jelas tiket pesawat itu dengan ringannya dirobek oleh Ilham tepat di depan muka si petugas. Gita menoleh ke Ilham begitu melihat Ilham kini memerhatikannya. Tanpa berkata apa-apa Ilham berlari kecil menghampiri Gita dan menyambar pundak Gita mendekat ke pelukannya setiba disana. Seakan baru mendapatkan kesadaran, Gita langsung balas mendekap lelaki itu. Gita merasakannya. Pelukan ini berbeda. Tidak seperti ia memeluk Reza. Rasanya berbeda.

“Gue ngeliat lo Ham. Lo adalah Ilham, bukan Reza,” ucap Gita lirih di sela pelukannya.

I believe that, dear. And now, I wanna say I love you Gita. Will you marry me?” bisik Ilham lirih tepat di telinga Gita.

Gita tersenyum. Ia semakin mempererat pelukannya. “Yes, of course. I love you too Ilham.”

Tanpa disadari oleh mereka berdua, Bisma tengah memandang kedua mahluk di tengah sana. Ia tersenyum miris. Gita telah mendapatkan pengganti Reza… Bisma terpaku pada satu wajah di antara kedua itu. Gita? Sebenarnya telah lama, ia menyukai sahabatnya itu. Jauh sebelum ia mengenalkan Gita pada Reza. Saat itu ia merasa bahwa Gita juga menyukainya, maka itu ia yakin Gita takkan berpaling darinya meski ia dekat dengan Reza. Tapi ternyata dugaannya salah. Mereka malah bercinta dan membuat Bisma kehilangan cintanya. Begitu Reza meninggal, Bisma kembali berharap kalau Gita akan benar-benar melihatnya. Tapi ternyata dugaannya kembali salah, apalagi ketika Ilham datang memasuki lingkar persahabatannya dengan Gita. Ia lebih kecewa setelah akhirnya Ilham yang menggantikan posisi Reza di hati Gita, bukanlah dirinya.

Bisma mendesah. Ia masih memandang kedua insan yang sedang berpelukan mesra disana. Entah tiba-tiba ujung bibirnya bergerak sendiri membentuk seulas senyum memandang mereka disana. Walau begitu, Bisma cukup bahagia. Melihat gadis itu kini menemukan pengganti Reza, walau bukan dirinya. Gita bahagia, Bisma pun ikut bahagia. asal Gita tak menganggap Ilham adalah Reza. Karena bagaimanapun juga, Ilham bukan Reza.

Next => Senja Itu di Perth (Bisma's Story) #3

No comments:

Post a Comment