"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, November 25, 2011

About Love... (Reza's Story) #1

Seandainya masih ada harapan – sekecil apa pun – untuk mengubah kenyataan, ia bersedia menggantungkan seluruh hidupnya pada harapan itu…

Sebuah lonceng kecil yang terletak di atas pintu berdenting ketika pintu itu terbuka. Reza tak menyadari kehadiran seorang pria dan wanita yang baru saja memasuki kafe tersebut. Selain karena ia duduk memunggungi pintu kafe, ia juga sibuk dengan i-pod dan headset-nya. Hingga akhirnya sebuah tepukan kecil mendarat di pundaknya, membuatnya terlonjak kaget.

“Hei, sudah lama?”

Kontan Reza memutar kepalanya ke sumber suara, dan telah mendapati seorang pria dan wanita berdiri di depan matanya.

“Eh, hai elo ternyata. Ngg, ya lumayanlah,” kata Reza setelah berhasil mengenali wajah pria itu. Ia kembali memutar kepalanya ke arah normal setelah kedua mahluk di depan matanya berpindah ke hadapannya untuk duduk di meja yang sama. “Mungkin lima belas menitanlah. Tapi gapapa, nyante aja.”

“Kapan nyampe ke Jakarta lo Za?” tanya pria itu setelah duduk.


“Baru tadi malem. Makanya gue agak enggan nerima ajakan lo ketemu pagi ini di kafe. Gue masih rada capek. Tapi ya gapapa deh berhubung gue juga kangen sama lo,” gurau Reza terkekeh kecil. Sekilas ia melirik wanita yang duduk di sebelah temannya itu. Ia merasa asing dengan wajah itu.

“Wah, kalo gitu gue minta maaf banget deh. Hahaa…” Pria itu ikut tertawa sambil memasang tampang watados.

“Bisma.” Pria itu mendengar Reza memanggil namanya. Ia berhenti tertawa. “Siapa tuh?” Reza melirik wanita di sebelahnya. “Pacar lu?” Pria yang dipanggil Bisma tadi melirik wanita di sebelahnya yang masih saja menunduk.

“Ya ampun gue hampir lupa. Bukan. Ini temen gue, temen satu kuliah. Git, ini temen gue yang dari Bandung itu. Yang biasa gue ceritain itu ke elo,” kata Bisma beralih ke wanita di sebelahnya.

Wanita itu mengangkat kepalanya ragu. Ia memandang wajah Bisma lalu Reza. Reza mengulurkan tangannya ke wanita itu. Dengan ragu pula wanita itu mengulurkan tangannya ke Reza.

“Gue Reza.”

“Ngg, gue Gita,” kata wanita itu pelan.

Bisma terkekeh sesaat. “Ah, elo Git. Sejak kapan lo jadi mellow gitu?” Bisma mengomentari cara perkenalan temannya itu. “Za, si Gita ini anaknya rada kasar, galak, tomboy abis. Gara-gara ketemu elo tuh, nih anak jadi malu-malu kucing kayak gini. Hahaa…” tawa Bisma meledak.

Tanpa segan, Gita mengangkat kaki kanannya dan menginjak keras punggung kaki Bisma. Refleks Bisma menjerit dan memegang kakinya. Kontan semua yang berada di kafe sana menengok ke sumber suara. Karena merasa diperhatikan, ia menyikut lengan Gita.

“Lo apa-apaan sih Git? Sakit tau,” bisik Bisma.

Gita tak menjawab. Ia malah memberikan cengiran gak jelas pada lelaki yang duduk di hadapannya yang kini tengah tertawa kecil.

“Aah, pasti gara-gara ada Reza nih. Bilang aja Git, lo gugup kan ketemu sama Reza. Eh Za, cewek di sebelah gue ini secret admirer lo loh. Gue kan sering nyeritain lo ke dia, dan dia selalu – Awww!!!” Ucapan Bisma berakhir dengan jeritan setelah merasakan tulang punggung kakinya kembali remuk akibat injakan sepatu dari kaki Gita.

Reza kembali terkekeh kecil melihat dua mahluk aneh di hadapannya. Tapi ia merasa cukup tertarik dengan wanita di sebelah Bisma itu. Dengan menyembunyikan rasa kagumnya pada wanita di hadapannya, ia meraih gelas dan menyeruput isinya sambil sesekali melirik Gita.

Gita pun sepertinya tengah menyembunyikan rasa malunya terhadap lelaki di hadapannya dengan menunduk. Tangannya menggaet lengan Bisma dan mencengkeramnya saking malunya. Bisma yang memperhatikan dua temannya yang sepertinya mulai dimabuk asrama langsung berdehem kecil dan membenarkan posisi duduknya.

“Oh ya Za, gimana kabar keluarga lo? Udah ada perbaikan?” tanya Bisma mengalihkan topik.

Gita menghela napas lega. Akhirnya Bisma bisa menetralisir suasana sebelum jantungnya kembali jumpalitan saking malunya. Ia menurunkan tangannya dari lengan Bisma. Lalu memfokuskan pendengaran pada pembicaraan kali ini.

“Gak tau Bis.” Reza mendesah. “Masih sulit. Kayaknya sih gue harus berdiam di Jakarta dulu sampe suasana di rumah kembali netral,” lanjutnya.

“Ngg, emangnya keluarga lo kenapa?” Gita memberanikan diri bertanya.

Sepi sebentar. Gita mendengar napas Reza dan Bisma tersentak. Ia tak mengerti apa maksudnya. Apakah pertanyaannya salah?

“Gapapa kok. Lagi ada masalah kecil aja,” kata Reza kemudian agak salting.

Reza melihat Bisma menyikut lengan Gita dan membisikkan sesuatu. Ia tak tahu apa yang dibisikkan sahabatnya itu. Tapi ia tahu jelas arti bisikan itu. Apalagi setelah melihat ekspresi Gita yang sepertinya jadi enggan.

“Ngg, maaf ya Za. Sama sekali gak bermaksud kok. Kalo emang ada masalah, ya, gue cuma berharap cepet kelar aja. Gak enak gitu kan kalo punya masalah sama keluarga,” kata Gita setelah Bisma berhenti berbisik.

Reza tersenyum tipis dan mengangguk kecil. “Gapapa. Nyante aja. Oh ya, katanya elo temen satu kuliah Bisma? Satu fakultas juga?”

“Ah, enggak. Gue di fakultas bahasa. Kesempatan juga siapa tahu dapet kesempatan ke luar negeri buat pemotretan jadi gue gak harus ribet ngomong bahasa luarnya,” kata Gita.

“Pemotretan? Lo model?” tanya Reza membelalakkan mata.

“Bukan. Fotografer,” ralat Gita.

“Waw hebat banget! Masih muda, pekerjaannya udah tinggi gitu,” puji Reza.

Gita tersenyum malu. “Lo juga kok Za. Kata Bisma, lo udah jadi karyawan di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Itu kan lebih hebat.”

Reza melirik Bisma. Tapi Bisma malah memandang ke luar kafe sambil bersiul gaje. Reza pun kembali memandang Gita.

“Kayaknya lo tahu banyak ya tentang gue? Terus lo dikasih tahu apa lagi sama Bisma?”

“Lo itu anaknya rajin. Gak pernah ingkar janji dan selalu tepat waktu. Suka kewalahan sendiri kalo misal lo punya salah. Paling seneng denger musik dan selalu bawa i-pod kemana-mana. Pribadi yang kalem, tenang, dan kadang narsis sendiri. Dan, hmm cukup romantis, tapi suka ngegombal…”

Reza menahan tawanya mendengarnya, sementara Gita masih terus mengoceh memberitahu apa yang ia tahu tentang Reza pada Reza dari Bisma. Perlahan Reza benar-benar merasa kagum pada wanita itu. Menurutnya pula, Gita memiliki pribadi yang rame dan asik diajak berbincang. Buktinya mereka menghabiskan banyak pembicaraan pada pagi itu. Setelah akhirnya tukeran nomor ponsel, Reza pamit undur diri karena boss nya menelepon untuk segera datang ke tempat kerja.

©©©

“Bisma, kayaknya gue suka sama sahabat elo deh!” kata Reza dengan ponsel yang ditempelkan di telinga.

Bisma terperangah.

Malam itu adalah malam setelah sekitar seminggu Reza dekat dengan Gita. Dan pada malam itu, Reza menelepon Bisma setelah mengantar Gita pulang ke tempat kosannya. Karena pada hari itu, Reza mengajak Gita jalan-jalan keliling Jakarta.

“Se, serius lo?!” tanya Bisma. Ia merasa tuli setelah mendengar kalimat dari Reza tadi.

“Gue suka sama Gita.”

Bisma menahan napas. Tubuhnya merosot ke bawah. Dadanya terasa sesak. Ia yakin ini akan terjadi. Reza menyukai Gita? Ya. Dari awal Bisma pun yakin semua akan seperti ini. Tapi kenapa hatinya seolah tak rela mendengar Reza mengucapkan kata itu?

“Rencananya malam minggu nanti, gue pengen nembak dia,” sahut Reza.

Kali ini Bisma serasa ingin pingsan. Kenapa? Kenapa tiba-tiba ia merasa sulit bernapas? Apa yang terjadi dengan dirinya?

“Kalo emang udah bener-bener klop banget sih, rencananya gue pengen ajak dia buat jadi tunangan gue. Dan – eh, tunggu bentar Bis – Gita telepon nih. Gue tutup dulu yaa… Baay!”

Nada sambungan terputus. Tapi Bisma masih menempelkan ponselnya di telinga. Matanya membelalak, namun pandangannya kosong. Sesaat kemudian, ponselnya terlepas dari tangannya. Tak tahu mengapa, pandangannya berkabut karena genangan airmata mulai membanyak di pelupuk matanya. Tunangan? Benarkah itu? Apa ia tak salah dengar? Bisma memeluk erat kedua lututnya. Ia semakin menenggelamkan wajahnya. Ternyata sudah terlambat…

©©©

Reza meraih jari-jemari Gita, sementara gadis itu hanya tersenyum tipis memandangnya. Gita melihat tangannya diangkat oleh Reza mendekati bibir. Dalam hitungan detik, ia merasakan punggung tangannya dicium oleh Reza. Sesaat kemudian, Reza mengeluarkan sebuket bunga mawar putih dari balik punggungnya. Kontan mata Gita membulat.

“Gita, gue suka sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue?” kata Reza sekali lagi mencium punggung tangan Gita.

Senyum Gita mengembang. Ia tak menyangka secepat ini Reza akan mengucapkan kata yang selama ini ia tunggu itu.

“Kalo lo mau jadi pacar gue, lo boleh ambil bunga ini. Tapi kalo lo nolak, silahkan buang bunga ini.” Reza menyerahkan sebuket bunga mawar putih tadi pada Gita.

Sepi sebentar. Gita sengaja memilih untuk diam, agar terpikir oleh Reza bahwa ia sedang berpikir. Padahal menerima bunga itu sudah pasti akan ia lakukan. Tapi untuk membuat suasana tegang, Gita memilih untuk diam. Sesaat setelahnya ia mengambil sebuket bunga itu dari tangan Reza.

“Za, sori yaa… Maaf banget kalo gue harus…” Gita menggantungkan kalimatnya. Ia mengangkat sebuket bunga itu ke sisi meja bersiap untuk membuangnya. Namun sekali lagi bahwa ini hanya ia lakukan untuk membuat suasana tegang. Buktinya Reza terlihat panik begitu melihat Gita akan membuangnya. “Gue harus nerima bunga ini, Za.”

Reza tercekat. Ia menahan napas sejenak. Apa yang dikatakan Gita tadi?

“Gue mau kok jadi pacar lo. Bukankah waktu itu Bisma pernah bilang kalo gue itu secret admirer-nya elo? So, gak mungkin gue nolak kan,” kata Gita kemudian mendekatkan sebuket bunga itu ke dadanya.

Reza menghela napas lega. Tak ia sangka Gita benar-benar akan menerimanya. Ia pun bangkit dari duduknya dan menghampiri Gita yang duduk di hadapannya. Gita meletakkan sebuket bunga itu di atas meja dan ikut bangkit dari duduknya. Dan kini kedua insan itu tengah berdiri berhadapan. Sesaat kemudian mereka satu sama lain menggerakkan tangannya untuk berpelukan. Mereka saling berpelukan dengan hangat dan mesra, menghiraukan beberapa pasang mata di kafe sana pada malam itu. Pula tak menyadari seseorang tengah memerhatikan mereka tak jauh dari sana.

©©©

Waktu berjalan begitu cepat bagi kedua insan yang sedang jatuh cinta itu. Namun rasanya berlalu begitu lambat bagi seseorang yang sedang patah hati. Setehun sudah Reza dan Gita melewati hari demi hari bersama. Hingga akhirnya Reza berniat untuk benar-benar melamar Gita untuk menjadi tunangannya. Sekotak cincin kecil telah ia beli sejak dua bulan lalu. Namun ia masih merasa enggan akan secepat ini melamar Gita untuk menjadi tunangannya.

“Gak minta restu orangtua dulu aja Za?” tanya Bisma, lebih tepatnya memberi saran pada Reza yang tengah memandangi kotak cincin lamarannya itu. Ketika itu mereka berada di ruang kerja Reza. Bisma sengaja berkunjung kesana begitu mendengar Reza benar-benar akan melamar Gita malam nanti.

Reza menengok menatap Bisma. “Enggak dulu ajalah, Bis. Masalah gue sama mereka belum kelar,” ucapnya datar lalu kembali mengalihkan pandangannya ke kotak cincin yang ia pegang.

Bisma mendesah. “Za, kalo lo mau tunangan sama Gita. Gita harus tahu dulu asal-usul kehidupan lo. Dia pasti bakal kaget banget begitu tahu tentang keluarga lo. Bisa jadi juga dia malah ninggalin lo, karena lo nutupin masalah ini ke dia. Yah. Gue emang gak tahu persis permasalahan lo sama keluarga lo itu apa. Tapi seenggaknya gue tahu dikit dari cerita lo.”

“Gita juga gak pernah nyeritain asal-usul keluarganya ke gue. Gue pun gak tahu kenapa dia lebih memilih ngekos daripada tinggal sama keluarga.” Reza sedikit sewot.

Lagi-lagi Bisma mendesah. Ia menarik bangku mendekati Reza dan duduk disana. Ia menatap tepat di manik mata Reza. “Gita ditinggal orangtuanya sejak kecil, Za.”

Reza membelalakkan mata. Sontak ia menoleh ke Bisma.

“Gita gak pernah tahu siapa orangtuanya. Dia gak ingat apa-apa tentang masa lalunya. Tiba-tiba saja dia berada di Jakarta. Perkiraan gue sih, Gita dibuang ke Jakarta oleh kedua orangtuanya,” lanjut Bisma.

Napas Reza tersentak. Tiba-tiba hatinya merasa tak enak. Bisma menyadari perubahan sikap temannya itu. “Bis, lo tahu kan kedatangan gue ke Jakarta untuk apa?” tanya Reza tiba-tiba. Pandangannya kosong tanpa menatap Bisma.

“Menghindar dari keluarga,” jawab Bisma.

“Untuk?” Reza kembali bertanya.

“Nah, itu dia. Gue belum tahu untuk apa lo ngehindar.” Bisma memukul pahanya sendiri sambil tertawa kecil.

“Karena gue pengen nyari adek perempuan gue yang dibuang ke Jakarta oleh nyokap bokap gue saat dia masih balita,” kata Reza datar.

Bisma terhenyak. Tawanya terhenti. Akhirnya ia mengetahui alasan lain kedatangan sahabatnya itu ke Jakarta. Tapi… “Lo anak tunggal Za.” Bisma meyakinkan Reza, karena setahu dia Reza adalah anak tunggal.

Reza menggeleng. “Gue punya dua adek. Laki-laki dan perempuan. Tapi beberapa bulan setelah kelahiran adek perempuan gue, nyokap bokap membuangnya ke Jakarta. Entah alasannya apa. Maka itu sampe sekarang gue gak pernah akur sama mereka.”

“Kenapa lo gak pernah cerita Za? Lo gak pernah bilang ke gue lo punya adek.”

Reza tak menjawab. Karena memang sepertinya pertanyaan itu tak perlu dijawab. Ia memikirkan masalah lain yang membebani pikirannya saat ini. Dan akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. “Apa mungkin Gita adalah adek perempuan gue yang dibuang nyokap dan bokap waktu itu?”

Bisma menengok cepat ke Reza, tak menyangka mendapat pertanyaan yang lumayan masuk akal itu.

©©©

Bisma mengacak rambutnya. Sedari tadi ia berjalan mondar-mandir di depan teras. Sesekali perkataan demi perkataan Reza sore tadi di kantor Reza berkelabut dalam pikirannya. Kenapa Reza tak pernah cerita tentang masalah itu? Kenapa Reza seolah menyembunyikan hal itu darinya? Dan kenapa ketika Reza mengetahui siapa Gita sebenarnya, ia baru bercerita? Kenapa tidak sejak dulu?

Bisma menyambar ponsel di atas meja kecil di teras sana. Telepon atau tidak. Telepon atau tidak. Bila menelepon, ia tak tahu apa yang harus dibicarakannya. Tapi bila tidak, apa mungkin ia harus membiarkan Gita tak mengetahui apa-apa tentang masa lalunya. Walau ia masih tidak yakin apakah benar Gita adalah adek perempuan Reza, tapi ia tetap harus memberitahu hal ini. Siapa tahu dengan cara ini, semua akan terbongkar. Kisah hidup Gita maupun kisah hidup Reza.

Bisma menyerah. Ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja setelah berpikir keras cukup lama. Bukan saat yang tepat untuk memberitahu Gita mengenai hal ini. Lagipula sudah larut malam. Tak mungkin Gita masih terjaga.

©©©

Malam itu suasana terlihat mencekam di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Tiba-tiba saja listrik padam. Para karyawan yang masih bekerja lembur kewalahan mencari penerangan. Dan tiba-tiba saja sebuah percikan api yang keluar dari salah satu kabel semakin membesar, dan kemudian meledak. Sedetik kemudian, sang jago merah itu menyebar rata ke seluruh ruangan yang dilalui kabel itu. Termasuk seorang lelaki yang tengah duduk termenung menatap sekotak cincin di ruang kerjanya. Ia tak menyadari jago merah itu semakin membesar. Hingga akhirnya semuanya telat ia selamatkan. Sang jago merah itu melahap habis semua yang di ruangan kerja tersebut, termasuk dirinya.

©©©

Gita mengerjapkan mata begitu mendengar ponselnya berdering. Dalam keadaan setengah sadar, ia meraba-raba sekitarnya mencari ponsel. Setelah dapat dan tanpa melihat siapa yang menelepon, ia membuka flap ponselnya.

“Ya? Siapa ini…” tanya Gita setelah menempelkan ponselnya di telinga. Matanya masih terpejam.

Sedetik kemudian Gita membuka matanya dan membelalak kaget. Apakah ia tidak salah dengar?

“A, APAAA ?!?” pekiknya. Shock!

©©©

Gita hampir tak percaya dengan apa yang mampir ke telinganya ketika mendapat panggilan masuk dari Bisma tadi di kosannya. Setelah mendapat kabar itu, ia tak bisa melakukan apa-apa selain berlari menuju rumah sakit dengan kaki telanjang dan memakai piyama.

Reza menjadi korban kebakaran? Itu nggak mungkin banget. Kemarin hari Gita masih bercanda tertawa bersama lelaki itu. Lelaki itu terlihat ceria dan sehat-sehat saja. Tapi kini? Apa yang baru saja menimpa Reza? Lelaki itu? Kenapa lelaki itu bisa menjadi korban kebakaran?

“Kalo aja Reza nggak lembur, Git. Mungkin Reza gak akan jadi korban kebakaran perusahaannya itu,” ucap Bisma dengan nada gemetar.

Bisma pun tak kalah kagetnya ketika mendengar berita itu. Setelah berita itu benar-benar terbukti di depan matanya, ia baru menelepon Gita untuk segera ke rumah sakit. Bisma sendiri melihat begitu besarnya sang jago merah itu melahap perusahaan ternama di Jakarta itu. Pula Bisma sendiri melihat sendiri sahabatnya terbaring kaku di atas tandu dengan tubuh gosong yang saat itu langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Gita terlihat begitu rapuh di hadapan Bisma. Gadis yang biasanya ceria, rame, gokil, galak, dan tomboy itu kini terlihat begitu menyedihkan di hadapan Bisma. Gadis itu benar-benar rapuh. Seakan tak rela kejadian ini menimpa kekasihnya.

Bisma memeluk erat tubuh kecil Gita. Gita menangis sendu di bahunya. Ini pertama kalinya Bisma melihat Gita menangis. Apakah mungkin Reza begitu berarti dalam kehidupannya?

“Reza gak boleh pergi, Bis. Gue sayang sama dia. Gue gak bisa hidup tanpa dia. Gue…” lirih Gita.

Bisma semakin mempererat pelukannya. “Reza pasti bertahan Git. Demi elo pasti dia akan bertahan.” Bisma mengelus pelan rambut Gita.

Setelah dokter dan para suster menangani Reza, mereka beralih ke korban lainnya. Dengan langkah berat, Gita menyeret kakinya menuju ranjang Reza. Bisma yang berada di samping Gita mencoba menuntun tubuh Gita yang nampak lemas itu.

Betapa sedihnya Gita melihat kekasihnya terbaring disana dengan tubuh yang kaku, gosong, dan penuh luka. Gita menggelengkan kepalanya. Ia menengadahkan kepala memandang Bisma.

“Bisma, dia bukan Reza. Ini bukan Reza. Reza gak seperti itu, Bis. Reza gak seperti itu,” isak Gita kemudian bersembunyi di dada Bisma, dan tak mau melihat Reza.

“Gita, ini Reza. Ini bener Reza, Git. Lo liat lekuk wajahnya, dagunya, semuanya. Ini reza, Gita,” kata Bisma dengan nada gemetar. Sebenarnya ia pun tak percaya bahwa yang terbaring di hadapannya adalah Reza. Benar-benar tidak mirip.

“Reza gak kayak gitu, Bisma. Kulit Reza putih, bibirnya kecil…”

“Gita, kulit Reza terbakar. Gak mungkin akan putih lagi.” Bisma mencoba menyadarkan Gita.

Gita terhenyak. Rasanya ia masih sulit menerima kenyataan ini. Ia kembali menyandarkan kepalanya di dada bidang Bisma. Bisma membelai rambut Gita pelan. Tapi tidak. Ia tak boleh memanfaatkan kesempatan ini. Ia harus mengendalikan dirinya sendiri. Gita harus sadar bahwa lelaki ini adalah Reza, kekasihnya, yang mungkin juga adalah kakak kandungnya.

Bisma mendorong pelan pundak Gita dan menatapnya tepat di manik mata Gita. “Reza akan sedih melihatmu seperti ini. Kau harus tengok dia.”

Gita terdiam cukup lama. Ia juga memandang tepat di manik mata Bisma. Tapi Bisma tahu itu hanya pandangan kosong. Bisma melihat Gita perlahan memutar tubuhnya dan menghadap Reza yang terbaring disana. Entah dalam keadaan seperti apa, gadis itu menghampiri ranjang itu. Bisma memerhatikannya.

“Gue gak percaya elo adalah Reza.”

Bisma tersentak mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Gita.

“Lo pasti bukan Reza kan? Iya kan? Kenapa? Lo itu sama sekali gak mirip sama Reza, kenapa lo ngaku-ngaku kalo lo adalah Reza. Kenapa hah? Reza itu gak kayak elo. Reza itu putih, gak item kayak lo. Bibirnya Reza tipis, seksi, gak kayak elo.”

Bisma mendesah. Kenapa gadis itu malah memaki Reza? Ia harus bertindak, tapi kenapa rasanya kakinya sulit untuk digerakkan? Bisma tersentak ketika akhirnya ia melihat Gita jatuh terduduk. Tangannya memegang tepi ranjang, dan matanya masih menatap lekat wajah Reza.

“Lo kenapa sih Za? Lo kenapa? Kenapa lo meski lembur, kenapa? Apa pekerjaan lo itu sangat berarti buat lo sampe lo harus lembur? Apa karena lo udah menduga perusahaan lo bakal kebakar, jadinya lo berdiam disana, biar lo mati kebakar, gituh? Reza, lo tuh bodoh tahu gak! Gue gak pengen lo pergi, tapi kenapa lo malah berniat pergi? Apa lo udah gak sayang sama gue? Lo pengen hubungan kita berakhir? Kenapa lo kejam sama gue, kenapa Za?”

Tanpa disadari, pipi Bisma basah oleh airmata menyaksikan adegan di depan matanya itu. Namun sesegera mungkin ia menyekanya. Ia kembali melihat Gita yang kini kembali berdiri dan mendekatkan tubuhnya lebih dekat ke Reza.

“Reza, gue sayang sama lo. Gue gak pengen lo pergi. Lo gak boleh pergi. Lo harus bertahan Za, harus. Lo harus bertahan. Demi gue, Za, demi gue. Gue gak mau elo pergi,” kata Gita setengah membentak.

Gita memejamkan matanya sejenak, membiarkan airmatanya mengalir. Kenapa? Kenapa harus berakhir seperti ini? Ia kembali membuka matanya dan kontan membelalakkan mata dengan apa yang ia lihat. Pipi Reza basah? Demi Tuhan, ini nyata. Reza menangis?

“Jangan marah sama gue kalo gue nangis. Please, hari ini saja. Izinkan gue menangis di depan lo, Za. Lo boleh liat sendiri nanti. Suatu saat nanti lo akan liat gue kembali tertawa, ceria, mengoceh seperti biasa. Gue janji…”

Setelah itu ia mendengar bunyi panjang dan datar yang sangat melengking. Kontan kepalanya berputar menuju sumber suara. Alat pendeteksi jantung itu menggambarkan garis panjang dan lurus. Gita kembali memandang Reza. Masih tetap sama. Ia masih diam bergeming. Gita kembali memandang alat monoton itu, dan hasilnya tetap sama. Reza telah pergi…

Semua berlalu seakan begitu cepat. Para dokter dan suster berjubah putih memasuki ruangan Reza. Bisma yang pula tak kalah kagetnya ikut menghampiri ranjang. Ia menarik Gita menjauh dari ranjang yang mulai dipenuhi oleh orang-orang berjubah putih pakaian khas rumah sakit. Gita bisa melihat sendiri Reza hilang dari pandangannya tertutup oleh orang-orang itu. Ia terus ditarik Bisma agar menjauh.

Gita melihat orang-orang itu berusaha menyelematkan Reza yang terbaring disana. Sesaat setelahnya, mereka menarik selimut dan menutupi tubuh gosong Reza. Satu di antara mereka menghampiri Gita dan Bisma, ia menggelengkan kepalanya kemudian berlalu. Pandangan Gita mengunang ketika melihat dua suster menarik ranjang dorong Reza keluar ruangan. Bisma tak kalah sedihnya. Ia semakin mendekap tubuh Gita yang masih sedikit meronta. Sesaat setelah sadar, Gita berhenti meronta dan balas mendekap Bisma. Mereka berdua menangis disana. Reza benar-benar pergi…

“Jangan marah sama gue kalo gue nangis. Please, hari ini saja. Izinkan gue menangis di depan lo, Za. Lo boleh liat sendiri nanti. Suatu saat nanti lo akan liat gue kembali tertawa, ceria, mengoceh seperti biasa. Gue janji…”

Next =>  Gue Bukan Reza (Ilham’s Story) #2

No comments:

Post a Comment