"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, November 25, 2011

Kita Untuk Selamanya (Spesial De'Little Kreenz)

Judul: Kita Untuk Selamanya
Main Chara: De'Little Kreenz, Alend, Anthone
Genre: Friendship
Author: Zulfa Azkia

(Terinspirasi dari kisah De'Little Kreenz, dancer cilik jebolan Aksi Anak Bangsa yang disiarkan di RCTI)

Alend memandang secarik kertas di tangannya. Pandangannya lalu dialihkan pada ketujuh bocah di hadapannya yang sedang latihan dance bersama Anthone, rekannya. Sekali lagi ia berpikir sambil mengalihpandangkan dari kertas yang ia pegang ke ketujuh bocah itu. Berkali-kali, hingga ia merasakan pening yang luar biasa pada kepalanya.

            “Lend,”

Sebuah suara lelaki tadi membuyarkan lamunanya, diiringi tepukan hangat di pundak kanannya. Lelaki itu duduk di sebelah Alend, dan melirik kertas yang dipegangnya.

Alend tersadar. Dengan cepat ia melipat kertas di tangannya, dan memasukkan ke saku celananya.

“Hei Thon. Sudah selesai?” tanya Alend sedikit gugup.

Anthone tak langsung menjawab. Ia masih melirik apa yang disembunyikan di saku rekannya itu.

“Apa sih itu?” tanya Anthone kemudian.

“Ah, apaan? Apa yang mana?” Alend balik nanya, masih dengan gugup.

“Yang di sakumu itu. Kertas apa itu?”

“Ah, bukan apa-apa kok. Anak-anak ayooo kita latihaaan lagiii…” Alend langsung mengalihkan pembicaraan dan bangkit dari duduknya sambil tepuk-tepuk tangan mengajak ketujuh bocah di hadapannya yang sedang duduk santai.


“Yaahhh kakaaaakk… Baru aja dikasih istirahat sama kak Anthone. Masa latihan lagiii siiih…” keluh Nazla, salah satu bocah perempuan dari ketujuh bocah itu.

“Iyaaa kak. Masih capek niihh…” tambah Fadil si bocah laki-laki satu-satunya.

Alend melirik Anthone yang duduk di belakang yang tengah cekikikan.

“Makanya Lend, jangan melamun teruuuss…” ledek Anthone diselingi tawa kecilnya.

Ketujuh bocah di hadapannya yang sedang berduduk santai bahkan ada yang tiduran pun ikut tertawa. Sementara Alend melangkah keluar ruangan sambil mengerucutkan bibir.

©©©

“Berikanlah aku kesempatan untuk membuktikan padanya, Tuhan. Aku ingin sekali mereka mengetahuinya,” lirih seorang gadis di ambang jendela sambil memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit pada malam itu.

Alend tak sengaja melewati tempat tersebut. Ketika matanya menangkap salah satu anak didiknya duduk disana, ia pun mendekatinya sambil melempar-tangkapkan kunci mobil di telapak tangannya.

“Dewi, kok kamu belum pulang?” tegur Alend.

Dewi terlonjak kaget. Dengan cepat ia membalikkan tubuhnya, dan telah mendapati pelatihnya berdiri di hadapannya.

“Kak Alend, kenapa ngagetin Dewi sih?” gerutu Dewi cemberut.

Alend tertawa kecil. Ia lalu melangkah mendekati Dewi dan duduk di sebelahnya. sementara Dewi masih mengerucutkan bibirnya sambil memandang wajah pelatihnya itu.

“Kamu kaget ya? Ya udah kak Alend minta maaf deh,” kata Alend lalu menyodorkan tangan kanannya pada Dewi.

Dewi melirik sekilas tangan Alend. Sesaat kemudian, ia menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil. Lalu meraih tangan kak Alend untuk menjabatnya.

Alend kembali tertawa kecil. Dewi ikut tertawa melihat pelatihnya itu. Alend meraih kepala Dewi untuk mendekat ke pelukannya. Ia sudah menganggap Dewi sebagai adiknya sendiri. Sebagaimana Dewi yang juga telah menganggap Alend sebagai kakaknya sendiri. Bukan hanya Dewi, ia juga menganggap keenam anak didiknya yang lain sebagai adiknya sendiri. Bahkan saking sayangnya, ia tak sanggup untuk mengembalikan mereka kembali pada orangtuanya.

“Udah malam sayang. Pulang yuk! Mama udah nungguin kamu tuh,” kata Alend sambil mengelus puncak kepala Dewi.

Dewi mengangguk kecil. Alend ikut tersenyum. Lalu mereka pun melangkahkan kakinya keluar dari sanggar tari dimanalah setiap tiga minggu sekali mereka beserta keenam teman lain serta rekannya latihan menari disana.

©©©

Lagi-lagi Alend memandang secarik kertas di tangannya. Dan lagi-lagi pula ia berpikir keras. Mencoba mencari jalan yang terbaik untuk keputusannya ini. Wajah ketujuh anak didiknya berkelabut dalam pikirannya. Wajah rekannya itu pun ikut berkelabut. Membuat rasa pening itu kembali muncul.

“Ah, sudahlah. Biar ku bicarakan dulu dengan Anthone,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Ia melipat kembali kertas tersebut, dan menyimpannya di saku celananya. Lalu ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tak langsung memejamkan matanya, tapi terlebih dahulu ia memandang langit-langit kamarnya. Wajah ketujuh anak didiknya itu berbayang-bayang di atas langit kamar sana. Alend tersenyum kecil.

“Mungkin memang ini saatnya. Aku harus yakin bahwa mereka bisa,” ucapnya mantap, masih memandang wajah ketujuh anak didiknya yang berbayang disana.

Alend mematikan lampu meja kamarnya. Dan mulai terlelap dalam tidurnya, yang memimpikan akan keputusannya itu.

©©©

Anthone menoleh cepat ke arah Alend setelah membaca secarik kertas dari Alend. Alend ikut menoleh ke Anthone yang kini menampakkan raut kaget.

“Kau serius Lend?” tanyanya kemudian.

Alend mengangguk kecil, lalu melangkah mendekati rekannya itu.

“Mereka masih kecil,” komentarnya.

“Ya aku pun tahu Thon. Tapi aku ingin. Karena aku yakin mereka pasti bisa,” ucap Alend kemudian duduk di sebelah Anthone.

Anthone berpikir sejenak. Setelah itu membalik tubuhnya menghadap Alend.

“Oke, aku tahu mereka bisa. Gerakan mereka mulai lincah dalam menari. Tapi mental mereka belum kuat untuk menghadapi kekalahan. Mereka masih terlalu kecil,”

Alend memegang kedua pundak Anthone. Anthone sedikit tersentak.

“Percaya padaku, Thon. Mereka pasti bisa. Walaupun mereka kalah, itu sudah lumrah bukan? Yang penting mereka mencoba dahulu. Anggap saja ini awal dari karier mereka. Hidup mereka masih panjang, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Semua akan menjadi tanggungjawabku nanti,” ucap Alend mantap.

Anthone memandang Alend ragu.

“Kau… kau yakin Lend? Lomba ini di Jakarta loh,”

Alend menurunkan tangannya dari pundak Anthone. Ia kembali berpikir.

“Sudah kubilang itu tanggungjawabku. Biar aku yang mengurus izin dari orangtuanya. Yang jelas kau latih mereka sebaik-baiknya,” ucap Alend kemudian.

“Jadi anak-anak gak dikasih tahu?” tanya Anthone.

Alend menoleh.

“Ya dikasih tahu lah, bodoh,” Alend menempeleng kepala Anthone. Sementara Anthone mengaduh.

“Tega amat kalo gak kasih tahu ke mereka. Besok di sanggar aku minta persetujuan dari mereka. Kalo memang mereka masih belum siap, ya, mungkin belum saatnya,” lanjut Alend.

“Ya udah baguslah kalo gitu. Tapi gak usah pake tempeleng bukan?” sindir Anthone yang masih mengelus kepalanya akibat kena tempeleng dari Alend.

Alend menengok, dan memandang lama wajah rekannya itu yang lecek. Sesaat kemudian Alend mengeluarkan tawanya yang cukup heboh. Sukses membuat Anthone mengerucutkan bibirnya. Lalu ia melangkah meninggalkan Alend yang masih ngakak setan.

©©©

Fadil, Dewi, Vina, Vyone, Aura, Nazla, dan Salsa duduk rapi di hadapan pelatihnya itu. Menurut info yang di dapat dari Vyone yang katanya kemarin hari menguping pembicaraan kedua pelatihnya itu, Alend dan Anthone akan membicarakan suatu hal yang sangat penting untuk De’Little Kreenz, nama grup dance mereka. Entah apa yang ingin dibicarakan, yang jelas ketujuh bocah itu sangat penasaran. Apalagi begitu tahu ternyata ucapan Vyone benar bahwa mereka akan diberitahu hal yang sangat penting oleh kedua pelatihnya itu. Buktinya, hari itu ketika semua anak-anak DLK telah berkumpul di sanggar, Alend menyuruh untuk berkumpul terlebih dahulu. Padahal biasanya setiba anak-anak DLK tiba di sanggar, mereka telah disambut oleh beberapa gerakan dari Anthone yang harus mereka ikuti untuk latihan kali ini.

Tak memakai kalimat pembuka apapun, Alend segera mengeluarkan secarik kertas yang terselip di saku celananya, dan menyodorkannya pada salah satu dari ketujuh anak didik di hadapannya. Fadil yang menerima kertas dari Alend segera membacanya. Keenam anak yang lain ikut mengerubungi apa yang baru saja pelatihnya itu berikan pada Fadil.

“Apa itu kak?” tanya Fadil usai membaca. Walau sepenuhnya ia tak mengerti apa yang tertulis dalam kertas tersebut.

“Ih, aku mau liaat…” Salsa berusaha menyempil dari kerumunan Vyone, Dewi, Nazla, Vina, dan Aura yang kini memegang kertas tersebut.

“Sabar Saal…” sahut Aura yang masih serius membaca kertas tersebut, walaupun berdesakan dengan Vyone, Dewi, Vina, dan Nazla.

Dewi tersentak dengan apa yang dibacanya. Sekali lagi ia mengulang kalimat yang telah membuatnya terkaget. Seketika senyumnya melebar.

“Gantiiaaan…” Tiba-tiba Salsa mengambil kertas tersebut. Refleks, kelimanya mendongak melihat kertasnya yang tiba-tiba melayang ke atas.

Vyone, Aura, dan Nazla langsung menghampiri Salsa, dan mulai sibuk membaca kertas tersebut secara berdesakan. Sementara Dewi dan Vina sudah duduk manis kembali di sebelah Fadil.

“Maksudnya apa kak?” tanya Vina kemudian.

“Kakak pengen daftarin kita?” tambah Dewi yang masih tersenyum lebar.

Sontak Fadil menoleh ke sebelahnya.

“Daftarin? Daftarin apaan Wi?” tanya Fadil.

“Ituu yang di kertas tadi,” kata Dewi sambil menunjuk ke belakang.

Alend tersenyum kecil. Ia bangkit dari duduknya, dan menghampiri Aura, Vyone, Nazla, dan Salsa yang masih berebut ingin baca kertas tersebut.

“Ayo, kakak jelaskan pada kalian!” kata Alend sembari menarik kertas yang mereka baca, lalu melangkah kembali ke sebelah Anthone.

Lantas keempatnya segera duduk rapi kembali menghadap kedua pelatihnya.

“Kalian sudah mengerti kan maksud kakak memberi kalian brosur ini?” tanya Alend.

Sebagian dari ketujuh bocah mengangguk, namun ada pula yang menggeleng.

“Kita akan mengikuti lomba ini. Ke Jakarta,” sahut Anthone kemudian.

Ketujuhnya belum ada yang menyahut. Masih larut dalam pikirannya masing-masing untuk mencerna kalimat barusan yang keluar dari mulut Anthone. Sesaat kemudian, Dewi, Nazla, Vyone dan Vina segera bangkit dari duduknya dan bersorak.

“Horeeee… Ke Jakartaaa….” Sahut keempatnya bersamaan, sambil loncat-loncat kegirangan, membuat kedua pelatihnya tertawa kecil.

“Serius kak?” Dewi menghentikan aktivitasnya.

Nazla, Vyone, dan Vina ikut berhenti, dan kembali memandang kedua pelatihnya.

“Menurut kalian, kakak main-main? Ya serius dong! Ini sebuah kesempatan buat kalian. Untuk de’little kreenz,” kata Alend menekankan kata de’little kreenz.

Sontak keempatnya kembali bersorak. Aura dan Salsa yang tadi belum mengerti apa maksudnya, kini mengerti dan ikut bersorak. Sementara Fadil yang masih duduk di hadapan kedua pelatihnya geleng-geleng kepala sendiri melihat keenam adik kelasnya itu sekaligus sahabatnya.

“Eitt, ayo duduk lagi! Belum selesai nih rembukannya,” kata Anthone.

Keenamnya menghentikan aktivitasnya, dan kembali duduk di sebelah Fadil. Ada pula yang duduk di belakang Fadil.

“Gimana dengan tawaran kak Alend dan kak Anthone? Kalian mau?” tanya kak Alend.

“Mau banget kak!” sahut anak-anak DLK tanpa Fadil dengan semangat.

Alend tersenyum. Sekilas ia melirik Anthone yang juga tengah tersenyum.

“Kalian udah siap?” tanya Anthone kemudian.

“Siap pastinya kak!” sahut Dewi mantap sembari bangkit dari duduknya.

Sontak semua yang berada disana menengadahkan kepalanya melihat Dewi.

“Widdih semangat amat Wi,” respons Fadil dengan sedikit nada sindiran.

Dewi kembali duduk.

“Biarin. Daripada kamu dari tadi gak ngerespons apa-apa. Wew,” Dewi memeletkan lidahnya pada Fadil yang duduk di sebelahnya. Fadil ikut membalas.

“Baiklah. Nanti biar kak Alend yang minta izin dari orangtua kalian. Sekarang kalian latihan disini bersama kak Anthone. Oke semua?” kata Alend.

“Oke deh kak,” sahut DLK, tanpa Fadil. Karena ia masih belum mengerti apa yang dibicarakan.

“Kalo gitu kita isi dulu formulir ini. Siapa yang mau nulis?” kata Alend lagi.

“Dewi,” Dewi mengacungkan tangannya.

“Formulir?!? Buat apa kak?” tanya Fadil histeris.

“Ya buat daftar lah. Masa buat di makan. Wew,” Dewi kembali memeletkan lidahnya, kemudian mulai mengisi formulir tersebut. Sementara Fadil masih memasang tampang cengo.

“Buat daftar lomba di Jakarta, Fadil.” Sahut Alend.

“Lomba apaaan?” Fadil histeris lagi.

“Iiihh… Fadil oot banget sih. Ini kan ada tulisannya, Ajang Pencarian Bakat untuk Anak Indonesia. Masa kamu gak baca sih?” kata Vina sewot sambil mengeja salah satu kalimat pada brosur tersebut.

“Bakat? Emang bakat kita apaan?” tanya Fadil lagi.

Keenam temannya mengepal tangannya gemas dengan perkataan Fadil tadi. Sementara kedua pelatihnya terkekeh geli.

“Ya ampuun Fadiiil… Otak kamu lemot banget sih. Dosa apa DLK punya anggota sepertimu?” sahut Dewi sambil menggelengkan kepalanya.

“Huuu… Enak aja!” Fadil langsung menoyor kepala Dewi yang sedang sibuk menulis.

“Yaahh Fadiiil… Tuh kan kecoret jadinya. Ah, Fadil jail nih,” ucap Dewi sambil menghapus bagian yang tercoret.

“Aduh, udah-udah. Kok jadi ribut gini sih. Fadil, jadi kamu belum ngerti maksud ucapan kakak?” Alend berusaha melerai.

Fadil menggeleng pelan.

“Kita akan mengikuti lomba ajang pencarian bakat, Dil. Dengan bakat menari de’little kreenz nya kita, kita bisa ikut lomba itu di Jakarta. Ngerti kan? Jadi ya bakat kita itu menari,” jelas Nazla yang duduk di sebelahnya.

“Ohh…” Fadil manggut-manggut gaje.

“Udah nih kak!” Dewi menyerahkan formulirnya pada Alend.

“Oke. Sekarang kalian latihan bersama kak Anthone. Biar kak Alend yang mengurusi perizinan orangtua kalian,” kata Alend sembari mengambil kertas dari tangan Dewi, dan melipatnya lalu dimasukkan ke saku celananya.

“Ayo, kita latihan!” ajak Anthone yang kemudian bangkit. Yang lain ikut bangkit dan melangkah ke tengah ruangan untuk latihan dan siap-siap menerima beberapa gerakan tarian dari pelatih mudanya itu. Sementara Alend melangkah keluar dari sanggar.

“Kak Alend,”

Sebuah suara bocah perempuan tadi menghentikan langkahnya di ambang pintu. Ia membalik, dan mendapati Dewi tengah berlari kecil menuju ke arahnya.

“Ada apa Wi?” tanya Alend seraya berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Dewi yang telah tiba di dekatnya.

“Bujuk mama ya kak! Dewi sangat ingin mengikuti lomba itu,” ucap bocah kelas 1 SD itu.

Alend tersenyum miris. Ia lupa akan masalah ini. Masalah kekeluargaan dari Dewi, salah satu anak didiknya yang tidak diperbolehkan menari oleh orangtuanya. Tapi ia dan Anthone telah berhasil membujuk orangtuanya karena Dewi sangat suka menari. Walaupun seringkali orangtuanya itu tetap bersikeras untuk tidak memperbolehkan putri bungsunya itu menari.

Alend mengelus puncak kepala Dewi sambil tersenyum, walau senyum itu hanya senyum paksaan. Dewi ikut tersenyum dibuatnya.

“Serahkan saja pada kakak. Mamamu pasti mengizinkanmu,” ucapnya.

Senyum Dewi makin melebar. Ia melangkah lebih dekat ke Alend, dan mendekapnya erat.

“Makasih ya kak. Dewi sayang banget sama kak Alend,” ucap Dewi di sela pelukannya.

Alend tak menyahut, ia hanya mengelus puncak kepala Dewi dengan lembut sambil berharap semoga orangtua Dewi mengizinkan putri bungsunya untuk ikut ke Jakarta mengikuti lomba.

©©©

            “Dewiiiii……”

Dewi serta keenam temannya yang sedang sibuk latihan segera menengok ke sumber suara di ambang pintu. Anthone pula yang sedang memberi beberapa gerakan pada DLK ikut menengok ke ambang pintu. Dan di dapatinya Alend tengah berlari menghampiri mereka sambil mengibaskan secarik kertas di tangannya.

“Kamu diizinkan, Wi…” Alend segera menyambar pundak Dewi setibanya disana.

Dewi tersentak.

“Serius kak?” tanya Dewi tak percaya, ikut menyambar pundak pelatihnya.

“Kakak gak mungkin bohong, Wi. Lihat! Mamamu menandatangani brosur ini, tandanya…” Alend tak melanjutkan kata-katanya, membiarkan Dewi mengartikan sendiri kalimat yang ia ucapkan tadi.

“Mama mengizinkankuu…… Yeiiiyyy!!!” Sorak Dewi loncat kegirangan.

Keenam temannya ikut loncat kegirangan mengetahui hal ini. Alend bangkit dari jongkoknya. Ia tersenyum bangga melihat kebahagiaan anak didiknya.

“Lend,” Sebuah tepukan mendarat di pundak kanannya.

Alend menoleh, dan mendapati Anthone berdiri di sebelahnya yang tengah tersenyum.

“Sukses, sob,” ucap Anthone sambil tersenyum.

Alend tertawa kecil. Anthone ikut tertawa, lalu mereka saling merangkul.

“Pokoknya nih yaa kita harus kompak sekompak mungkin. Nari sebagus mungkin. Dan buat agar kita bisa masuk ke babak lima besar,” kata Dewi semangat pada keenam temannya.

“Setujuuuu……!!!” sahut keenamnya kompak.

“Hidup De’Little Kreenz!” ucap Fadil lantang.

“Hidup!” sahut keenamnya kompak.

“Hidup De’Little Kreenz!” ulang Fadil.

“Hidup! Yeiiiyyy……” sahut mereka yang kemudian kembali bersorak sorai.

Alend dan Anthone tersenyum bangga melihat kebahagiaan anak didiknya. Kemudian mereka bertekad untuk meloloskan mereka ke babak lima besar di perlombaan nanti.

Dewi menoleh ke kedua pelatihnya. Ia berhenti dari aktivitasnya, lalu melangkah mendekati kedua pelatihnya itu dan meninggalkan keenam temannya yang masih bersorak kegirangan.

Alend melepas rangkulannya terhadap Anthone begitu sadar Dewi tengah melangkah mendekati mereka. Setiba Dewi di hadapan mereka, Alend berjongkok.

“Ada apa cantik?” tanya Alend seraya menggerakkan tangannya mengelus puncak kepala Dewi seperti biasanya.

Dewi tak langsung menjawab. Terlebih dahulu ia tersenyum, lalu memeluk pelatihnya itu. Alend yang sempat kaget tiba-tiba Dewi memeluknya, segera tersenyum. Lalu membalas pelukan anak didiknya itu, dan mengelus pelan punggung Dewi.

“Makasih ya kak,” lirih Dewi kemudian.

Senyum Alend semakin melebar.

“Sama-sama sayang,” balas Alend.

Alend kemudian mendorong pundak Dewi dengan pelan, alhasil pelukannya terlepas. Dengan tangannya yang masih memegang erat kedua pundak Dewi, ia melanjutkan,

“Berjuang ya. Impianmu akan tercapai bila kau sungguh-sungguh,” ucapnya.

Dewi tersenyum, kemudian mengangguk mantap.

“Pasti kak!” ucapnya di sela anggukannya.

Alend menurunkan tangannya dari kedua pundak Dewi. Dewi membalik tubuhnya menghadap keenam temannya yang masih berloncat-loncatan di sana. Ia menghela napas sejenak kemudian…

“I’m comiiiiing Jakartaaaaaaa…… Yeiy!” teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya dengan pandangan mata yang menuju ke langit-langit rumah.

Fadil, Vina, Vyone, Aura, Nazla, dan Salsa sempat berhenti dari aktivitasnya akibat teriakan sahabatnya tadi dan memandang aneh ke arah Dewi. Namun itu hanya sesaat. Setelah itu mereka berlari menghampiri Dewi, dan kembali berloncat-loncatan.

Alend kembali merangkul Anthone, dan membiarkan ketujuh anak didiknya bersorak-sorai di hadapannya.

©©©

Bruuuuum……
Travel berwarna hitam-putih itu membawa anak-anak DLK beserta kedua pelatihnya meninggalkan sanggar di bawah kaki bukit sana, serta meninggalkan orangtua mereka yang tengah melambaikan tangannya di halaman sanggar. Dan perjalanan dari Bandung menuju Jakarta pun dimulai setelah hari ketiga mendapat persetujuan dari ketujuh orangtua mereka.

“Sesampainya di Jakarta, kalian segera istirahat. Dan besoknya kita kembali latihan,” kata Anthone memberi pengarahan.

“Siap kak!” sahut ketujuhnya kompak, tak terkecuali Dewi yang nampaknya sangat bahagia akan menuju Jakarta.

Dalam perjalanan, mereka bernyanyi riang sambil memandang pemandangan sekitar lewat kaca mobil. Alend yang duduk di balik kemudi hanya memandang ketujuh anak didiknya lewat cermin depan. Sementara Anthone yang duduk di sebelahnya memandu mereka untuk terus bernyanyi. Hingga akhirnya mereka pun tiba di sebuah hotel ternama di Jakarta. Anthone dan Alend memandu tujuh anak didiknya ke dalam hotel. Setelah membagi kamar, mereka pun beristirahat untuk bersiap latihan pada esok hari.

©©©

            “Latihan selesai. Kalian kakak beri istirahat dua jam. Setelah itu kembali berkumpul disini,” ucap Anthone.

“Baik kak,”

Alend dan Anthone kemudian keluar dari ruangan. Sementara anak-anak DLK merebahkan tubuhnya di lantai.

“Huh, capek banget hari ini. Gerakan dari kak Anthone susah banget,” komentar Vyone.

“Iya tuh. Kak Anthone gak ngira-ngira kalo kasih gerakan ke kita,” tambah Salsa.

“Aduuh… kalian ngeluh terus sih. Kita kan emang harus dapat gerakan baru yang lebih susah supaya tampilan kita memukau. Kalo gerakan kita begitu-begitu aja kayak yang dulu, mana bisa lolos,” kata Dewi yang kemudian bangkit dari duduknya.

“Bener kata Dewi. Masa baru gitu aja kalian capek sih. Ini tuh belum seberapa sama dance-dance cilik professional lainnya. Buktikan ke kak Alend dan kak Anthone kalo DLK itu bisa,” tambah Vina.

“Aku setuju sama Vina,” kata Nazla.

“Yaa, aku juga. Walau emang aku capek banget hari ini,” komentar Aura.

“Capek mah pastinya Ra. Yang penting kan tekad kita kuat, kalo kita itu pasti bisa,” kata Fadil ikut bangkit.

Yang lain tersenyum. Kelimanya ikut bangkit dan menghampiri Fadil dan Dewi.

“De’Little Kreenz,” Fadil menyodorkan salah satu tangannya di tengah kerumunan mereka.

Dewi menggerakkan tangannya ke tangan Fadil. Yang lain pun demikian.

“Yeiy!” Mereka lalu membanting tangannya ke udara.

©©©

            “Kamuu… pengen banget ikut lomba itu ya?” tanya Fadil.

Dewi tak langsung menjawab. Ia tersenyum lalu memandang bintang-bintang di atas langit sana, membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua.

Malam itu usai latihan, anak-anak DLK kembali menuju kamarnya. Fadil pun demikian. Namun tak sengaja ia melewati Dewi yang tengah duduk di ambang jendela sambil memandang bintang di langit. Akhirnya Fadil pun menemani Dewi disana.

Fadil ikut memandang bintang di atas langit sana. Sesaat kemudian, suara Dewi menyahut.

“Yaaa…”

Fadil menengok, dan telah mendapati Dewi tengah mengelus teralis jendela sambil memandang wajahnya.

“Karena aku sangat ingin menjadi dancer. Dancer professional yang bisa mendunia. Dan aku yakin, bahwa aku bisa,” lanjutnya.

Fadil menunduk sambil membisu, mencoba mencerna kembali ucapan Dewi barusan. Sesaat kemudian ia tersenyum.

“Kau juga bukan?”

“Hah?” Fadil mendongak kaget.

“Kamu juga ingin menjadi dancer professional bukan?” ulang Dewi sambil memandang Fadil.

Fadil melebarkan senyumnya dengan sedikit ragu.

“Ya. Aku juga ingin sepertimu,” sahut Fadil kemudian, kembali memandang bintang di langit. Dewi pun demikian kembali memandang bintang di langit, dan kembali membiarkan hening menyelimuti mereka.

“Eh, kalau begituu…” Fadil memutar tubuhnya menghadap Dewi. Dewi pun demikian.

“Kita kejar impian kita itu bersama-sama. Aku mendukungmu, Wi…” ucap Fadil.

“Aku juga mendukungmu, Dil,” balas Dewi dengan senyumnya.

Fadil ikut tersenyum memandangnya.

Semoga ini bukan hanya sekedar harapan…

©©©

Hari berikutnya De’Little Kreenz semakin giat berlatih. Mencoba memasukkan gerakan-gerakan baru dalam tarian medley mereka nanti. Vyone dan Salsa yang awalnya sempat mengeluh kini tidak lagi. Mereka justru semakin semangat untuk berlatih. Terlebih Fadil dan Dewi, yang telah berjanji untuk menjadi dancer professional bersama.

Hingga akhirnya hari itu pun tiba. Dimana lomba ajang pencarian bakat itu dimulai. Dimana disanalah mereka memulai karier mereka.

“Kalian pasti bisa,” bisik Alend dan Anthone pada ketujuh anak didiknya sebelum mereka naik ke atas panggung.

Setelah berdoa dengan harapan bisa lolos dan membuat juri terpukau, akhirnya mereka pun naik ke atas panggung.

Setelah 15 menit, penampilan DLK pun selesai. Mereka turun dari atas panggung. Sekali lagi mereka berharap bahwa bisa kembali ke Bandung dengan mendapatkan sebuah kemenangan.

“Kita pasti menang,” ucap Fadil optimis.

“Tapii…”

“Sst… Harus optimis, Vina,” kata Dewi menempelkan telunjuknya ke bibir Vina.

“Iya Wi, aku optimis. Tapi mereka semua keren-keren,” kata Vina.

“Yakin aja. Pasti kita kok,” kata Aura lalu meraih tangan Vina.

Mereka semua saling pandang dengan pandangan harap-harap cemas. Lalu mereka berpelukan, dan lagi-lagi mereka berharap bahwa mereka bisa lolos.

“De’Little Kreenz,”

Mendengar panggilan itu, mereka melepas pelukannya satu sama lain. Mereka lalu melangkah mengekor pelatihnya itu untuk maju ke atas panggung, untuk menerima hasil keputusan dewan juri.

“Salah satu di antara Purwa Kembar, Edgar, dan De’Little Kreenz akan menghentikan aksinya, dan tak dapat lolos ke babak lima besar. Dan… yang harus menghentikan aksinya adalah……” kata sang pembawa acara.

Dewi merapatkan barisannya mendekat ke anak-anak DLK yang lain. Sambil memejamkan matanya, ia berharap kata lolos lah yang ia dengar untuk bakatnya bersama teman-temannya.

“De’Little Kreenz…”

Lantas semua menoleh ke sumber suara, dan memandang lama wajah sang pembawa acara dengan harap-harap cemas.

“Maaf, kalian belum bisa memasuki babak lima besar. Dan selamat untuk Edgar dan Purwa Kembar,”

Anak-anak De’Little Kreenz tersentak. Mereka syok. Dan tangis kesedihan langsung meramaikan panggung saat itu juga. Alend dan Anthone yang berdiri di sebelah mereka sebisa mungkin menghibur anak didiknya agar tidak menangis.

Dewi pun tak kalah kagetnya. Mendengar hasil pengumuman itu, rasanya bagai sebuah petir yang menghantam tepat di dadanya. Seakan ia merasa bahwa harapannya hancur, dan impiannya tak bisa tercapai. Airmata pun mengalir seketika membanjiri kedua belah pipinya.

Fadil memandang keenam adik kelasnya sekaligus sahabatnya itu yang tengah berduka akan hasil keputusan juri yang sangat mengecewakan. Terlebih Dewi yang berdiri tepat di sebelahnya yang sudah menangis amat kejer. Airmatanya telah membanjiri kedua belah pipinya. Tak hanya Dewi, kelima teman lainnya pun demikian. Fadil pun merasa sedih. Namun ia coba untuk menahan airmata yang terus mendesak di pelupuk matanya. Ia laki-laki dan ia paling tua di De’Little Kreenz. Ia tak boleh menangis, dan membiarkan teman-temannya menangis. Akhirnya dengan sekuat tenaga ia berteriak pada teman-temannya yang berdiri di belakangnya.

“Heyy… Jangan nangis dooong!!”

Namun rasanya teriakan dari Fadil itu hanya menjadi angin lewat saja. Karena setelah ucapan itu, tangis mereka makin keras, terlebih Dewi. Fadil membalikkan tubuhnya menghadap Dewi. Ia memandang wajah Dewi yang begitu sembab oleh airmata. Ia sesenggukan, dan airmatanya terus mengalir.

Fadil menggerakkan tangannya menyentuh kedua belah pipi Dewi. Dan ia seka airmata sahabatnya itu sambil tersenyum miris. Pula mengisyaratkan agar tidak menangis lagi. Namun Dewi terus terisak sambil memandang wajah Fadil. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kumohon jangan nangis Wi,” lirih Fadil.

Dewi kemudian menurunkan tangan Fadil dari kedua belah pipinya dengan sedikit kasar, lalu ia berlari meninggalkan arena perlombaan itu.

Orang-orang di sekitar langsung kewalahan begitu melihat Dewi kabur. Para juri dan pembawa acara pun demikian. Alend hendak mengejar Dewi, namun Fadil menahannya.

“Biar Fadil aja kak,” ucap Fadil kemudian langsung berlari mengejar Dewi yang sudah tak terlihat lagi.

Mereka semakin kewalahan begitu melihat Fadil juga berlari. Namun sebisa mungkin Alend dan Anthone menetralisir keadaan. Akhirnya DLK, tanpa Fadil dan Dewi turun dari atas panggung, dan mereka yang di atas panggung kembali melanjutkan acaranya.

©©©

 “Dewiii…” Fadil terus berteriak di sepanjang perjalanannya.

Ia kini berada di koridor studio perlombaan. Berkali-kali ia mengelilingi tempat tersebut, namun tetap saja ia tak menemukan sahabatnya itu.

Langkah Fadil terhenti. Begitu ia melihat Dewi tengah duduk di ujung koridor sana sambil menyenderkan kepalanya ke tiang penyangga. Ia masih menangis sambil sesekali terisak. Fadil segera melangkahkan kakinya mendekati Dewi.

“Wi,” tegur Fadil setibanya ia duduk di sebelah Dewi.

Dewi tak menghiraukan. Ia tetap menangis terisak.

“Udahlah Wi, jangan nangis lagi. Masih ada kesempatan untuk kita memperbaikinya,” kata Fadil.

Dewi berhenti terisak. Ia membenarkan posisi duduknya, lalu memandang Fadil.

“Kesempatan apa Dil? Udah telat. Kita udah kalah,” kata Dewi dengan nada gemetar.

“Belum, Wi. Kita belum kalah. Kita masih bisa ikut lomba yang lain. Dan aku yakin kita pasti menang,”

“Gak usah terlalu yakin Dil. Lomba ini tuh pesertanya udah dari berbagai kota, dan kita kalah kan? Kita dikalahkan oleh mereka-mereka yang tampilnya juga keren,”

Fadil menyambar kedua pundak Dewi.

“Dewii… Kita masih bisa menang. Yakinlah!” kata Fadil sembari mengguncang-guncangkan tubuh Dewi.

“Enggak Diil… Udah gak bisaaa…” Dewi meronta-ronta gak jelas sambil berusaha melepaskan tangan Fadil dari kedua pundaknya.

“Masih bisa Wi. Masih ada kesempatan untuk kita. Udahlah gak usah nangis gitu, kita semua juga sedih, bukan Cuma kamu,” kata Fadil bersikeras.

Lagi-lagi Dewi terhenti dari isak tangisnya, ia pandang kembali wajah sahabat di hadapannya itu.

“Aku sedih bukan hanya itu Dil. Tapi aku sedih juga karena telah gagal membuktikan pada mama bahwa aku bisa,”

“Dewii kamu gak gagaal… Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Dengerin aku ya…”

“Enggak Dil, aku udah gagal. Aku yakin mama pasti marah sama aku. Aku yakin mama pasti kecewa sama aku. Aku yakin mama…” Dewi terus ngoceh gak jelas di sebelah Fadil sambil terus meronta dari pegangan tangan Fadil dari kedua pundaknya.

“Wi, enggak Wi. Enggak…” Namun percuma Fadil menghibur, Dewi terus meronta gak jelas layaknya orang yang sudah kehilangan akal.

“Dewi dengerin aku dulu, Wi…” ucap Fadil yang masih terus menenangkan. Namun Dewi masih meronta gak jelas.

“Dewi, lihat aku!” bentak Fadil kemudian.

Dewi tersentak. Ia berhenti meronta begitu mendengar bentakan Fadil tadi. Ia menurunkan tangan Fadil dari pundaknya, lalu merapatkan tubuhnya ke tiang penyangga.

Fadil merasa salah tingkah. Ia menggaruk belakang telinganya. Setelah berpikir sejenak, ia menggeser pantatnya mendekati Dewi dan kembali meraih kedua pundak Dewi. Dewi tak meronta lagi, tapi ia masih terisak pelan.

“Wi, lihat aku Wi!” pinta Fadil pelan.

Dewi mendongakkan kepalanya memandang wajah sahabatnya itu.

“Dengar ya, bukan cuma kamu yang sedih Wi. Tapi kita semua juga sedih. Kita semua juga sedih gak bisa lolos ke lima besar. Jadi kamu harus ingat kalo kamu disini berjuang gak sendirian. Ada kita, Wi. Ada De’Little Kreenz, ada kak Anthone, ada kak Alend. Kita bersama-sama mengikuti lomba ini. Kita berjuang bersama. Jadi bila kamu sedih, berarti kita semua juga sedih. Karena kita melangkah bersama Wi, gak sendirian,” ucap Fadil lembut.

Fadil berhenti. Ia menghela napas sejenak, kemudian kembali menatap kedua bolamata Dewi yang nampak redup itu.

“Kita emang udah berjuang mati-matian menghadapi lomba itu Wi. Kita udah berlatih sebisa mungkin. Tapi ternyata takdir berkata lain. Belum saatnya untuk kita menang, Wi. Kita masih harus banyak belajar. Dan kekalahan kita ini adalah awal dari karier kita. Bukan karena kita gagal dalam lomba ini, kita berhenti untuk menari. Enggak, Wi. Masih ada kesempatan, ingat! Dan masih ada aku, Vina, Vyone, Nazla, Aura, Salsa, kak Alend dan kak Anthone. Walaupun kita kalah, tapi kamu masih punya kita semua. Masih punya De’Little Kreenz yang selalu siap menemanimu kembali mengikuti lomba. Karena kita untuk selamanya,” ucap Fadil kemudian dengan nada yang lembut.

Dewi menunduk. Mencoba menghayati kembali ucapan dari Fadil. Mungkin memang benar yang diucapkannya. Bahwa ia tak sendirian. Masih ada DLK. Ya. Dewi berjuang bersama DLK, dan gak sendirian.

Dewi kembali memandang Fadil. Ia coba untuk menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman. Fadil ikut tersenyum. Kemudian ia menggerakkan tangannya untuk menghapus sisa-sisa airmata yang masih membekas di kedua belah pipi Dewi. Dewi memandangnya, menikmati sentuhan lembut dari Fadil.

“Makasih ya, Dil,” lirihnya.

Fadil mengangguk kecil, dan kembali mengusap kedua belah pipi Dewi.

“Ehem, ehem…”

Suara deheman tadi membuat Dewi ataupun Fadil terlonjak kaget. Sontak saja, Fadil menurunkan tangannya, dan menunduk. Sementara Dewi menggerakkan tangannya untuk menyeka kedua belah pipinya. Setelah mereka berdua siap mental, mereka mendongak dan mencari sumber suara.

“Kalian?!?” sahut Dewi dan Fadil serempak.

“Ciieee ciiee… Berduaan nih yeee…” ledek Vina yang kemudian keluar dari tempat persembunyiannya. Diikuti Aura, Salsa, Vyone, dan Nazla di belakangnya.

“Romantis banget sih… So sweet ih,” tambah Vyone.

“Fadil nya ngapusin airmatanya Dewi lagii… Uuh, unyu bangeet,” Salsa tak mau kalah.

“Tuh kan pipinya pada merah. Malu yaaa…” ledek Nazla juga.

“Ciiieee… Fadil sama Dewi diam-diam menghanyutkan nihh…” tambah Aura sambil menoel lengan Dewi.

“Iiihh… Kalian apa-apaan sih? Kita kan Cuma temenaaan,” sahut Dewi setengah ngambek.

“Yap. Teman tapi mesra, hihiiii…” kata Vina kemudian tertawa kecil. Keempatnya ikut tertawa. Sementara Fadil dan Dewi hanya mesem-mesem gak jelas.

“Tuh kan pada malu-maluu…” goda Nazla.

Fadil melirik Dewi. Dewi pun demikian. Ketika tatapan mereka bertemu, mereka segera memalingkan pandangannya malu. Sementara kelima temannya yang lain masih sibuk menggoda mereka berdua.

“Hei, sedang apa kalian disini?”

Kelimanya berhenti tertawa, dan menengok sumber suara. Fadil dan Dewi pun demikian, mereka menengadahkan kepalanya dan menoleh ke sumber suara. Dan didapati oleh mereka, kedua pelatihnya yang tengah berjalan menghampiri mereka.

“Itu kak, si Fadil sama Dewi main cinta-cintaan,” kata Aura menunjuk Fadil dan Dewi yang duduk di dekat tiang penyangga sana.

“Hus, ngomong apa sih kamu,” kata Anthone sambil mengusap puncak kepala Aura.

“Hihihiii beneran kok kak,” sahut Nazla yang masih cekikikan.

“Udah-udah. Sekarang kalian pasti capek kan? Abis latihan keras kemarin, terus tadi abis pada nangis, tuh keliatan mukanya pada capek,” kata Alend sambil mengarahkan telunjuk kanannya ke tujuh anak didiknya.

“Iya nih kak. Capek banget!” komentar Vina.

“Kalo gitu gimana kalo sekarang kita makan malam. Dan besoknya, kita keliling-keliling Jakarta. Gimana? Pada mau gak?” usul Alend.

“Mau bangeeet kaaakk…” sahut Dewi antusias.

“Ayo!” ajak Alend dan Anthone mengibaskan tangannya yang kemudian melangkahkan kakinya.

“Horeeeeee…………” Anak-anak DLK langsung bersorak-sorai sambil berloncat-loncatan kegirangan.

Mereka lalu mengekor langkah kedua pelatihnya itu. Fadil dan Dewi ikut melangkah mengikuti kedua pelatih dan sahabat-sahabatnya.

Fadil melirik Dewi yang berjalan di sebelahnya. Dewi ikut melirik Fadil hingga tatapan mereka bertemu. Mereka satu sama lain melemparkan senyumnya. Senyum yang mengantarkan rasa suka itu hadir.

Walaupun De’Little Kreenz tidak berhasil lolos ke babak lima besar, mungkin ini yang terbaik untuk mereka. Karena mereka bisa belajar dari sebuah kegagalan. Dan mereka akan terus giat berlatih sampai akhirnya mereka bisa menang dalam perlombaan suatu saat nanti. Ya. Suatu saat nanti. Karena pada suatu saat nanti, De’Little Kreenz akan kembali menunjukkan bakatnya pada dunia bahwa mereka bisa. Dan De’Little Kreenz akan selalu bersatu selamanya hingga mereka besar nanti. Karena kita untuk selamanya.


Atas (Ki-Ka): Aura, Vyone, Vina. Tengah: Nazla. Bawah (Ki-Ka): Salsa, Fadil, Dewi
De'Little Kreenz


- THE END -

No comments:

Post a Comment