"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, November 25, 2011

B I A R L A H

Judul: Biarlah 
Main Chara: Ray - Acha - Iza - Ify - Satria 
Genre: Sad Romance 
Author: Zulfa Azkia 



Dengan langkah tergesa-gesa, Acha melangkah menelusuri sepanjang koridor. Berkali-kali wajah Iza berkelabut dalam pikirannya. Menguasai otaknya yang kini tengah disibukkan dengan materi kuliah. Namun Acha tak peduli. Ia tetap harus menemui Iza, walaupun ia harus ketinggalan materi kuliah yang akan menentukan kelulusan S1 nya nanti.

“Acha,”

Suara lelaki tadi telah sukses membuat langkah Acha terhenti. Ia membalik, sementara lelaki itu berlari menghampirinya.

“Kamu mau kemana Cha?” Tanya lelaki itu setibanya di hadapan Acha.

“Iza, Ray. Aku harus nemuin dia. Iza kritis lagi,” kata Acha dengan tingkah gelisahnya.

“Tapi Cha, jam sepuluh nanti kita ada presentasi. Tinggal aku dan kamu aja yang belum presentasi. Kita butuh nilai,” kata Ray.


Acha mengacak rambutnya. Ia lupa akan presentasinya. Memang, seharusnya presentasi itu adalah nilai untuk dua hari yang lalu. Namun Acha menerima kabar bahwa Iza kritis, maka dari itu Acha meminta Ray untuk menunda presentasi dua hari mendatang. Namun hari ini, Acha kembali menerima kabar bahwa Iza lagi-lagi kritis.

“Tapi aku harus nemuin Iza, Ray. Dia butuh aku,” kata Acha.

Ray tak berkata, ia diam. Mencoba menerjemahkan apa maksud dari kalimat terakhir yang diucapkan Acha tadi.

“Dia butuh aku,”

Ah, kenapa kau tak pernah sadar Cha? Aku juga membutuhkanmu, bukan hanya Iza.

“Lalu? Kau mau berbuat apa? Presentasi itu penting Cha,” ucap Ray kemudian.

“Iya, aku tahu.”

Ray menatap wajah gadis di hadapannya. Wajah yang sangat ia cintai yang entah kenapa akhir-akhir ini gadis itu tak lagi membalas rasa cintanya seperti apa yang ia lakukan sebelum hadirnya Iza dalam kisah percintaan mereka.

“Tapi Iza butuh aku sekarang, Ray. Kumohon ngertiin aku,” paksa Acha.

“Acha, kita butuh nilai,” ucap Ray sedikit membentak.

Acha tersentak, ia diam dan menenggelamkan wajahnya. Kemudian hening menyelimuti mereka beberapa saat.

Pandangan Acha teralih ketika menangkap seorang gadis tengah berlalu dari sudut matanya. Dengan cepat, ia memanggil gadis tersebut.

“Ify,”

Gadis yang disapa Ify itu menengok. Ray ikut menengok ke arah seseorang yang dipanggil Acha tadi.

Acha mengibaskan tangannya untuk menyuruh Ify mendekat. Ray kembali memandang Acha sementara Ify berjalan mendekati mereka.

“Kenapa Cha?” Tanya Ify setibanya di dekat mereka.

“Fy, aku butuh bantuanmu. Jam sepuluh nanti gantikan posisiku untuk presentasi bersama Ray ya? Aku harus…”

“Gak bisa gitu Cha,” potong Ray cepat, membuat Acha dan Ify menoleh ke Ray. “Yang butuh nilai presentasi itu kamu bukan Ify,” lanjutnya.

“Iya Cha, kemarin lusa aku udah presentasi bareng Gabriel. Aku udah dapet nilai,” tambah Ify.

“Fy, kumohon. Nilai yang kau dapat nanti akan kubagi dua denganmu. Aku dikejar waktu sekarang. Aku harus ke rumah sakit,” paksa Acha.

“Iza kritis lagi?” selidik Ify.

Acha mengangguk.

“Jadi kumohon Fy. Tugasmu hanya mempresentasikan apa yang ada pada bahan materi yang kubuat dengan Ray. Dan katakan pada dosen bahwa kau adalah Acha. Hanya itu Fy,”

“Cha, dosen mengenalimu” kata Ray.

“Enggak, Ray. Dosen itu baru masuk sebulan yang lalu, ia belum mengenali semua anak kampus disini,”

“Tapi bisa saja Cha,” bela Ify.

“Ayolah Fy, kumohon… Iza membutuhkanku,” paksa Acha.

Ify langsung melirik Ray yang kini tengah menunduk. Yap, ia sudah menebak apa reaksi Ray setelah ucapan Acha barusan. Ify sudah lama mengetahui apa yang terjadi pada kisah percintaan dua sahabatnya itu, yang kini merenggang setelah hadirnya Iza 6 minggu yang lalu.

“Baiklah,” ucap Ify akhirnya, membuat Ray menengadahkan kepalanya kaget akan jawaban Ify barusan. “Untuk Ray akan aku lakukan,” lanjutnya.

Ify melirik Ray, sementara Ray hanya tersenyum miris. Ya, Ify tahu. Ray telah mencoba untuk bersabar menghadapi tingkah Acha yang benar-benar berubah. Jujur saja, Ray terlalu baik untuk Acha.

“Makasih banyak Fy. Aku takkan melupakan kebaikanmu,” Acha menepuk pundak Ify, sementara Ify hanya mengangguk. Acha menghadap Ray, Ray pun tengah memandangnya.

“Ray, maaf banget yaa… Tapi aku bener-bener harus nemuin Iza sekarang,” kata Acha.

Ray tersenyum, lagi-lagi senyum miris yang terhias di bibirnya.

“Thanks ya Ray. Sore nanti aku hutang date denganmu. Sms ya,” ucap Acha. Sebelum melangkah pergi, sempat ia daratkan kecupan manisnya ke pipi Ray, membuat Ify sedikit melengos.

“Bye, dear. Duluan ya Fy,” kata Acha kemudian kembali melangkahkan kakinya menelusuri koridor meninggalkan Ify dan Ray berdua disana.

Sementara Ray dan Ify hanya memandang punggung Acha yang semakin menjauh dari penglihatannya yang kemudian menghilang.

“Biarlah…” Ray menggantungkan kalimatnya, Ify menengok.

“Biarlah aku hanya menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka,” lanjut Ray kemudian.

Ify menganga sesaat. Ah, segitu sabarnyakah Ray kepada Acha?

©©©

Satria menengadahkan kepalanya ketika sudut matanya menangkap seorang gadis yang tengah berlari kecil menuju arahnya. Satria segera bangkit dari duduknya sambil memandangi gadis yang perlahan semakin dekat dengannya.

“Kak Acha,” panggil Satria.

Acha segera menyambar pundak Satria dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.

“Satria, Iza gimana Sat?” Tanya Acha, matanya berkaca-kaca.

“Masih kritis kak,” ucap Satria lirih, seakan gak tega mengucapkan hal itu pada Acha.

Acha melepaskan genggamannya pada pundak Satria. Ia melangkah duduk di bangku tunggu dekat pintu UGD. Satria mengikutinya.

“Tak seharusnya Iza berbaring disana,” ucap Acha menunduk.

Satria menengok, menatap wajah Acha yang nampak sedih itu. Entahlah, Satria merasa hatinya ikut miris melihat wajah cantik itu bersedih.

©©©

Acha memandanginya dari balik jendela. Ya, lelaki itu. Iza, Iza Arnandi. Seorang lelaki tiga tahun dibawahnya yang hadir sebagai penolongnya ketika ia hampir ditabrak sebuah truk yang oleng, saat itu ia tengah membungkuk di tengah jalan raya untuk mengambil gelangnya yang jatuh, sementara Ray sedang menyerahkan uang kecil pada penjaga warung setelah membeli air minum untuk minum mereka berdua pada date malam minggu itu. Dan semenjak peristiwa itu, Iza yang notabene-nya adalah seorang pelajar kelas 3 SMA lebih sering menemani hari-hari Acha dibanding Ray, pacarnya sendiri. Dikarenakan pula jarak kampus Acha dengan sekolah Iza tak begitu jauh, hanya memakan waktu 10 menit bila jalan kaki. Maka dari itu, seringkali Iza menemui Acha sepulang sekolah. Dan Ray tak pernah merasa keberatan akan hal itu. Hingga akhirnya Acha tak pernah lagi menaruh perhatian pada Ray.

Ternyata tanpa Acha ketahui, Iza memiliki penyakit mematikan yang sangat berbahaya. Ya, kanker otak stadium 2 yang menurut dokter mulai memasuki stadium 3. Berbulan-bulan Iza menutupi hal tersebut dari Acha. Acha baru mengetahuinya saat Satria, adik Iza keceplosan bicara ketika Acha berkunjung ke rumah Iza, dan mendapati Iza terbaring di kamarnya dalam keadaan lemah tak berdaya.

Tepukan hangat mendarat di pundak kirinya, membuyarkan lamunan Acha. Acha membalik.

“Masih ada materi kuliah bukan?” tanya Satria.

“Ya, tapi Iza…”

“Biar aku yang menemaninya kak. Kau kuliah saja dulu,” kata Satria.

“Aku berhak menemaninya. Aku pacarnya, Sat” kata Acha.

“Dan aku adiknya kak,” Satria tak mau kalah.

Acha membuang mukanya. Airmatanya mengalir seketika, mengalir dengan sendirinya.

“Ijinkan aku tetap disini, Sat. Aku tahu ia membutuhkanku walau aku tahu ia masih koma,” ucapnya kemudian.

Satria diam. Ia tak lagi berkata. Kemudian ia menunduk, dan membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka.

©©©

Ify mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Semua mata kini tengah tertuju padanya. Ify menghela napas sejenak, ia lirik Ray yang berdiri di sebelahnya. Kemudian ia mulai memaparkan beberapa penjelasan tentang materi presentasi yang seharusnya dibawakan Acha kepada para audience yang datang. Ray juga sedikit-sedikit membantu Ify menjelaskan.

“Baik, cukup sekian presentasi dari kami,” ucap Ify usainya, diiringi tepukan-tepukan dari para audience.

Ify tersenyum ketika melihat wajah para audience nampak senang dengan presentasinya. Ia melirik Ray, Ray kini tengah memandanginya dengan senyum tipis. Ify membalas senyumannya. Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya menghampiri mereka.

“Bahan presentasi kalian bagus sekali. Terimakasih Larissa, terimakasih Raynald. Pastikan saya akan memberi kalian nilai A,” ucapnya.

“Terimakasih pak,” ucap Ify setengah membungkuk. Ray juga bersikap demikian, namun rasanya ia tak bisa menerima ucapan terimakasih dari pak dosen tadi. Iya, dosen tadi mengucapkan terimakasih pada Larissa, pada Acha, bukanlah Ify. Ya memang, Ify kini berdiri sebagai Acha, bukan sebagai Ify di hadapan dosen ini.

Ruangan mulai kosong. Para audience mulai berpulangan. Dosen itu pun pamit pada Ray dan Ify. Sementara mereka berdua masih membereskan berkas-berkas bekas presentasi tadi.

“Thanks ya Fy,” ucap Ray.

Ify menoleh, ia tersenyum kecil.

“Sama-sama Ray. Sesama teman memang harus saling membantu bukan?” kata Ify.

Ray tersenyum miris. Ify memandangnya. Lalu ia melangkah mendekati Ray, dan merangkul pundaknya. Ray mendongak.

“Aku selalu ada untukmu, Ray” bisik Ify lirih tepat di telinga Ray.

Lagi-lagi Ray tersenyum miris. Ify menepuk pundak Ray berkali-kali, mencoba memberi kesabaran. Setelah itu Ify melangkah meninggalkan Ray sendiri di ruang tersebut.

©©©

Ray melirik jam tangannya. Sesekali pandangannya ia alihkan ke sebuah pintu, dimana ia berharap gadis itu cepat datang. Tapi sudah hampir setengah jam lebih Ray menunggu disana, Acha tak kunjung tiba. Padahal Acha sendiri yang menjanjikan bahwa sore ini ia mempunyai hutang ngedate dengan Ray. Tapi sampai kapan Ray menunggu disana?

Ray bangkit dari duduknya. Ia melangkah mendekati jendela. Titik-titik hujan mulai membasahi bumi. Tak lama kemudian, titik-titik hujan itu berubah menjadi hujan yang lebat. Disertai angin sore yang membuat siapapun kedinginan.

“Acha…” ucap Ray lirih. Ia menggenggam teralis jendela, seakan gak kuat menahan keperihan di hatinya.

“Kamu dimana?” sambungnya dengan nada gemetar.

©©©

“Kaakk…”

Acha menoleh. Ia genggam tangan Iza lebih erat.

“Iya Za, kenapa?” tanya Acha sambil membelai pelan rambut Iza.

“Jaa… ngan ting, galin aku yaa…” ucap Iza terbata-bata, sambil menahan perih.

Acha tersenyum miris, tak tahan melihat lelaki di hadapannya itu terbaring lemah disana.

“Aku gak akan tinggalin kamu Za. Kamu bertahan ya, demi aku” kata Acha masih menggenggam tangan Iza.

Iza mengangguk lemah, sebelum akhirnya ia dibawa masuk oleh kedua suster ke ruang UGD. Acha hanya menatap kepergian Iza di ranjang dorong itu beserta kedua suster yang kemudian lenyap ditelan pintu UGD.

Acha melirik jam tangannya. Pukul 5 sore.

“Ada janji kak?” tanya Satria yang tiba-tiba muncul di belakang Acha.

Acha menengok pelan. Ia sunggingkan sebuah senyuman setelah Satria melihat kelakuannya.

“Enggak kok. Gak ada,” ucap Acha, kemudian ia melangkahkan kakinya menuju bangku tunggu.

Satria mengekornya di belakang, dan duduk di sebelahnya. Ia masih memandang Acha yang nampak gelisah.

“Gak apa-apa kak. Insyaallah operasi kali ini akan berjalan lancar,” ucap Satria kemudian.

Acha menoleh. Lagi-lagi ia menyunggingkan sebuah senyuman. Namun, senyuman itu berbeda. Bukan senyuman tulus yang biasa tersungging di bibir manis Acha, melainkan sebuah senyuman paksaan.

©©©

Pukul 8 malam. Ray mendesah panjang. Ia alihkan pandangannya lagi ke sebuah pintu. Dan sekali lagi ia berharap seorang gadis yang ia nanti kehadirannya segera membuka pintu itu dan menghampiri meja dimana ia menunggunya. Namun, nihil. Beberapa kali pintu itu terbuka, tak sekalipun ia melihat Acha yang membukanya. Ray melengos pelan. Ia mengepal tangannya dan menghentakkannya ke atas meja. Ia tak kuat, ia tak tahan.

Akhirnya Ray mengambil tasnya di atas meja dan melangkah keluar dari kafe tersebut.

©©©

Ify menyerahkan selembar uang sepuluhribuan pada penjaga kasir. Setelah itu ia melangkah keluar dari kafe tersebut. Namun sesaat, ia melihat seorang lelaki yang tak asing baginya tengah berlari kecil keluar kafe. Dengan cepat, Ify melangkahkan kakinya mengekor Ray.

Ify melihat Ray berhenti disana. Ya, di sebuah taman kota. Ify masih ingat, disinilah Ray menyatakan cintanya pada Acha, sahabatnya sendiri. Dan disini pula, rasa cemburu mulai menyeruak di hatinya, seakan tak rela menerima kenyataan bahwa Acha akan dimiliki Ray.

Dengan langkah ragu, Ify mendekati Ray yang berdiri tegap membelakanginya. Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara teriakan.

“Achaaaaaaa………”

Ify tercekat. Gadis itu lagi yang dia ucapkan. Kenapa?

“Akuu kangeeeen kamuu Chaaaaa……” teriaknya lagi.

Ify menahan. Menahan airmatanya yang mulai mendesak di pelupuk matanya. Namun rasanya airmata itu sangat egois sehingga ia mengalir begitu saja membasahi kedua belah pipi Ify.

“Kapan kamu mau kembali sama aku lagiiii?? Sampai kapan aku terus diperlakukan seperti iniiii??? Achaaa, aku rindu kamuuu……”

Ify tak kuat. Ia tak tahan. Nampaknya ia tak sanggup menemui Ray untuk saat ini. Ify membalik, dan melangkah meninggalkan Ray.

Ray jatuh terduduk. Ia meremas rumput taman kota itu.

“Aku membutuhkanmu, Cha. Bukan hanya Iza…” bisik Ray lirih.

Ify berhenti di tengah perjalanannya. Belum, ia belum meninggalkan taman ini. Karena ia tak mau. Ia tak mau meninggalkan Ray sendiri disana. Ray membutuhkan seseorang yang dapat menghiburnya. Akhirnya lagi-lagi Ify membalik tubuhnya, dan kembali menghampiri Ray yang kini tengah terduduk di tengah taman kota sana.

“Achaaaaaaaa……………” teriak Ray lagi, ketika Ify telah berada tepat di belakang Ray.

Ify menggigit bibir. Sekuat tenaga ia mencoba menetralisir rasa cemburu di hatinya. Sesaat kemudian, Ify berjongkok, dan mengelus pelan pundak Ray.

Ray tersentak. Ia membalik.

“Ify,” Ray nampak kaget. Dan dengan cepat ia menyeka kedua belah pipinya yang basah oleh airmata.

“Tuangkan saja semua kesedihanmu disini Ray. Tapi ingat! Ini semua takkan menyelesaikan masalahmu,” ucap Ify mencoba tegar.

Ray menunduk. Tak tahan, airmatanya pun mengalir kembali.

“Aku rindu Acha, Fy. Aku ingin dia kembali. Aku juga membutuhkannya. Bukan hanya…” Ray tak melanjutkan kalimatnya.

Ify tahu. Ray tak perlu melanjutkan kalimatnya pada Ify. Ia tahu itu akan kembali membuat Ray…

Ify kembali mengelus pundak Ray. Keheningan pun kembali menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Hanya suara isak tangis dari Ray yang terdengar di sana pada malam itu.

Suasana malam itu terasa semakin dingin, ditemani semilir angin malam yang menerpa kedua insan yang tengah berduka di tengah taman kota. Dan membiarkan kedua insan yang lain gelisah di rumah sakit akan hasil operasi sahabatnya.

Mungkin memang inilah jalan yang terbaik untuknya. Merelakan gadis yang ia cintai demi sahabatnya yang tengah berjuang melawan penyakitnya itu. Biarlah menjadi seperti ini. Biarlah ia menjadi orang ketiga di dalam hubungan mereka.

Ray-Acha (RayCha's couple)

- THE END -

No comments:

Post a Comment