"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Thursday, November 24, 2011

Bintang

Salahkah bila aku – seorang lelaki berusia tujuh belas tahun – yang sudah meremahkannya berharap pada bintang?

                Aku membawa dua botol minuman hangat di tanganku. Kusodorkan sebotol pada gadis yang duduk di atas rumput tebal di taman ini. Ia menerimanya lalu kembali memandang langit malam di atas sana. Dan disebelahnyalah akhirnya aku duduk.
                “Kamu nunggu apa Fin?” tanyaku padanya.
                “Bintang.”
                “Untuk apa menunggu bintang? Malam ini mendung.”
                “Aku yakin mereka pasti muncul, lagipula aku sudah berdoa, mereka akan bernyanyi dengan kita, tersenyum, dan menyelimuti tubuh kita.”
                Keningku mengerut. Sesaat setelahnya, aku mendecak. “Konyol.”
                Finan hanya tersenyum. Senyum yang penuh dengan arti. Sebuah senyum kepercayaan. Aku mengikuti arah pandangan Finan ke atas langit sana. Memandang langit malam yang menghitam kelam. Keningku kembali mengerut.
                “Aku sudah meminta sesuatu yang sangat berharga pada mereka.” Kata Finan tiba-tiba.
                Aku menolehkan kepalaku, memandang sejenak gadis yang duduk di sebelahku dengan pandangan bertanya.
                “Pandanglah ke langit, kak! Tersenyumlah pada mereka, walau mereka tidak ada disini! Karena hanya dengan itulah aku bisa membayar semua permintaanku pada mereka.”
                “Haruskah aku juga? Aku kan tidak minta apa-apa dari mereka. Lagipula itu konyol, berharap pada bintang?” Aku sewot.

                Finan menolehkan kepalanya padaku. Senyum kepercayaan itu masih melekat pada bibir manisnya. “Tapi kau adalah sesuatu yang berharga yang kuminta dari mereka, kak.”
                Saat itulah aku menyadari, Finan juga sesuatu yang sangat berharga yang kumiliki saat ini.
* * *
                “Ayo kita pulang!”
                “Bintang belum muncul, kak.”
                “Malam ini mendung, Finan. Bintang takkan muncul.”
                “Tapi aku ingin menunggunya.”
                “Untuk apa menunggu sesuatu yang tak akan datang? Itu percuma!”
                “Aku yakin mereka datang.”
                “Kenapa kau egois seperti ini, Fin?”
                “Aku bukannya egois. Aku hanya ingin melihat mereka.”
                “Mereka pasti muncul esok malam. Tunggulah esok lagi!”
                “Aku akan menunggunya hingga pagi.”
                “Finanda?!?” Aku membentaknya.
                Finan bangkit dari duduknya. Ia balas memandangku. “Kenapa kak Raka egois?”
                “Justru kau yang egois. Kau hanya mementingkan dirimu sendiri. Tidak dengan aku.”
                “Kak Raka juga egois, tidak memikirkan Finan.”
                Aku jenuh. Aku tak tahan.
                “Kak, mau kemana?” tanya Finan setelah aku bangkit dari dudukku.
                “Pulang.” Kataku tanpa memandangnya, kemudian berlalu.
                “Kakak mau meninggalkanku sendiri disini?”
                Aku menghentikan langkahku, dan memutar kepala. “Kalau begitu, pulanglah bersamaku! Besok kita harus sekolah.”
                “Kak Raka egois!”
                Aku menggertakkan gigi, menahan amarah. Aku membalikkan tubuhku, hendak membentaknya lagi. Namun ketika itu juga, Finan telah berlari menjauh dari taman ini.
                “Finanda?!?” Aku berlari mengejarnya. Dalam hatiku, aku menyumpahi dirinya. ‘Sial, siapa sebenarnya yang egois? Siapa sebenarnya yang egois? Kau, Finan! Kau! Kalau kau bukan perempuan atau adik kelasku ataupun kekasihku, sudah kuhabiskan dirimu saat ini juga.’
                Kemudian kejadian itu berlangsung begitu saja. Cepat, dalam hitungan detik. Ketika sebuah mobil dari arah lawan Finan yang sedang menyeberang jalan raya menghantam keras tubuh mungil gadis itu. Semua terjadi begitu jelas. Aku melihatnya. Tepat di depan mataku. Kecelakaan tragis itu.
                Finanda
* * *
                Hari ini hari kematian Finanda.
                Aku melangkah menelusuri sepanjang koridor kelas. Setiap orang yang kulewati melihatku. Oh, lebih tepatnya memandangku. Dengan pandangan tuduhan. Bahkan ada yang mencaci-maki. Mengatakan sumpah serapah dengan kata kasar untukku.
                “Sebelum kecelakaan itu, Raka bertengkar hebat dengan Finan. Pasti itu faktornya ia membunuh Finan.”
                “Masa` hanya karena itu Raka membunuh Finan?”
                “Iya, buktinya bukannya menolong Finan setelah kecelakaan itu terjadi, Raka malah kabur. Bukankah bila seperti itu, Raka membiarkan Finan mati?”
                “Dasar lelaki tak bertanggungjawab!”
                “Memang, Raka itu pembawa sial untuk Finan!”
                See? Lihat, kan? Mereka semua menuduhku. Menyangka akulah yang membunuh Finan, hanya karena aku satu-satunya orang yang bersama Finan pada malam kejadian. Dan karena aku kabur begitu saja setelah Finan tertabrak. Ya! Memang benar! Aku kabur, membiarkan Finan tergeletak tak berdaya dengan tubuh bersimbah darah pada tengah malam setelah kecelakaan itu. Hahaha, ternyata seorang Raka telah membunuh kekasihnya sendiri! Jahat sekali! Hahaha, mari kita tertawa!
                “Raka, sore nanti lu datang di acara pemakaman Finan ,kan?” tanya Hilman, teman sebangkuku, sambil menepuk bahuku.
                Aku meliriknya tajam. “Pembunuh takkan datang ke acara pemakaman orang yang dibunuh.”
                “Lu bukan pembunuh, Ka. Itu gak mungkin! Gua tahu bukan lu yang membunuh Finan.”
                “Gak usah sok peduli! Lagipula gua gak akan datang. Denger, Man! Gua yang bunuh Finan, pacar gua sendiri. Lu gak usah sok tahu! Lu gak ada di lokasi saat itu.” Kemudian aku berlalu begitu saja meninggalkan Hilman.
* * *
                Sore ini hari pemakaman Finanda.
                Aku membuka helm yang membungkus kepalaku. Kupandang sekumpulan orang berpakaian serba hitam jauh di sebelah sana. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Pemakaman Finan.
                Cukup sudah aku memakai topeng seharian ini di sekolah. Menyembunyikan semuanya dengan perkataan palsuku. Satu hal yang benar adalah aku tidak membunuh Finan. Aku kabur karena aku tak ingin melihat wajah Finan yang terluka. Bukan karena aku tak mau menolongnya. Aku hanya tak sanggup melihatnya. Pun aku tak membesuknya karena aku tak ingin melihat gadis yang kucintai terbaring koma dalam keadaan kritis di ranjang rumah sakit. Karena aku tak sanggup!
                Aku mencintai Finan. Aku tak mungkin membunuhnya seberapapun kesalnya aku padanya. Finan memang egois, aku sadari itu. Tapi satu hal yang tak mungkin kulakukan adalah membunuhnya. Aku hanya tak sanggup melihatnya. Apalagi bila aku datang ke pemakaman ini, aku lebih tak sanggup melihat ia, gadis yang kucintai, terbungkus kain kafan dan dimasukkan ke dalam tempat peristirahatannya yang terakhir. Aku benar-benar tak sanggup!
                Sudah. Aku ingin melepas topengku hari ini. Sekarang, aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Aku hanya bisa melepas kepergian Finan dari jauh. Dengan sembunyi-sembunyi. Karena aku yakin bukan hanya teman-teman di sekolah yang membenciku, kedua orangtua Finan pun pasti akan membenciku. Membenci seorang pembunuh!
                Aku menengadahkan kepala, mencoba menahan airmata di pelupuk mataku. Dan ketika kembali ku membuka mata, aku tersentak. Oh, ada bintang di atas langit sore sana!
                “Pandanglah ke langit, kak! Tersenyumlah pada mereka, walau mereka tidak ada disini! Karena hanya dengan itulah aku bisa membayar semua permintaanku pada mereka.”
                Perlahan aku menarik kedua ujung bibirku membentuk sebuah senyuman, sambil memandang bintang yang menghiasi warna jingga di atas langit sana.
                ‘Bintang, terimakasih… Kau sudah menghadirkan ia di sisiku walau hanya sementara. Maafkanku karena aku tak bisa menjaganya. Sekarang, aku akan mengembalikan ia padamu. Oh ya bintang! Bolehkah aku berharap padamu? Karena aku tak bisa menjaganya lagi, aku mohon jagalah dan temani ia! Aku ingin ia bahagia di Surga, bersamamu… Untuk selimuti tubuhnya dan temani ia bernyanyi.’
                Tiba-tiba aku mengepal kedua tanganku dan memejamkan mataku rapat-rapat. Ini konyol! Sungguh konyol! Aku mengatakan ini kekonyolan pada Finan tapi aku sendiri melakukan hal ini. Semua terlambat. Aku terlambat menyadari. ‘Oh, bintang! Salahkah bila aku – yang sudah meremehkanmu – berharap padamu?’
                Tiba-tiba saja pandanganku bertemu dengan Hilman yang sudah memandangku jauh di sebelah sana. Bahkan sempat kudengar ia memanggil namaku hingga semua yang berada disana memandangku. Sontak saja aku kembali memakai helm, dan langsung menggas motorku meninggalkan pemakaman.
                Tak sepantasnya aku hidup! Aku hanya bisa menyakiti dan mengkhianati. Aku memang lelaki busuk!
                Aku makin menggas motorku membelah kelelangan di kota metropolitan ini. Kupandang bintang di atas langit. Ia masih ada disana. ‘Oh, bintang! Izinkan aku berharap padamu. Sekali lagi. Kumohon, pertemukan aku dengan Finan, gadis yang telah kusakiti serta kukhianati. Aku masih ingin mencintainya. Aku masih ingin bersamanya. Pertemukan aku dengannya, bintang!’
                Di sela-sela tanganku yang makin gila menggas motor, aku sadar airmata telah menggunung di pelupuk mataku. Semua jadi terlihat buram. Terlebih ketika akhirnya aku merasakan hantaman keras pada ban depan motorku. Selanjutnya, suara-suara decitan alat keras yang beradu dengan aspal terdengar memekakkan telinga. Aku tak tahu apa-apa setelah kurasakan tubuhku remuk membentur aspal dan alat keras lainnya. Semua terlihat buram. Tapi justru aku malah bisa melihat potongan-potongan kejadian dalam hidupku, seperti menonton film yang tidak jelas alur ceritanya.
                Finanda
                ‘Bintang, apakah ini waktuku untuk bertemu dengan Finan? Terimakasih, bintang…’
                Aku mencoba untuk menarik kedua ujung bibirku untuk memberi senyum terakhir serta membayar semua permintaanku pada bintang di atas langit sana yang sedang memandangku. Tapi tidak bisa, terlambat. Bibirku sudah kaku untuk digerakkan. Karena semua pun telah berubah gelap. (end).

No comments:

Post a Comment