"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Sunday, September 23, 2012

Tentang Sahabat #2



                 DUA                 

Keegoisanku Merubah Segalanya (Ray P.O.V.)





Aku memutar lagi rubikku menjadi bentuk yang berantakan. Lalu aku membenarkannya kembali ke bentuk semula. Sudah berulang kali aku memutar-mutar rubikku, merasa bosan dengan keheningan yang menyelimuti kami. Sesekali aku melirik kesal ke arah dua sahabatku yang duduk agak jauh di hadapanku. Mereka juga sedang main rubik, sama sepertiku. Bukan, kurasa mereka tak sepenuhnya bermain rubik. Sesekali Acha meminta bantuan Deva untuk memberitahu cara menyelesaikan rubik itu. Aku tahu, Acha memang tak mengerti cara bermain rubik. Dan aku pun tahu, Deva sangat jago memainkan rubik ini. Tapi bisakah mereka tak menghiraukanku?

Aku bosan. Aku jenuh. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendekati mereka.

“Ada permainan lain?” tanyaku memecah keheningan.

“Sebentar, Ray, lagi tanggung. Terus ini gimana lagi, Dev?” Acha langsung berpaling ke Deva.

Jujur. Aku kesal dengan perlakuan Acha tadi. Entah datang darimana rasa kesal itu, yang jelas aku benar-benar kesal dan tak tahan oleh semua ini.

“Tinggal diputer gini aja, Cha, terus samain warnanya.” Deva menunjukkan caranya dengan memakai rubik lain.


Kulihat Acha mencoba melakukan apa yang tadi dipraktikkan oleh Deva, namun sepertinya ia merasa kesusahan.

“Ih, aku nggak ngerti, Dev.” rengek Acha kembali berpaling ke Deva.

Aku yang merasa benar-benar kesal akhirnya merebut rubik dari tangan Acha. Deva yang hendak membantu Acha tersentak kaget dan segera menoleh ke arahku. Acha pun demikian.

“Ini tuh gampang, Cha. Lihat! Cuma diputer, terus samain warnanya. Nah! Jadi kan? Gitu doang kok pake minta diajarin Deva segala sih.” kataku mempraktikkan apa yang tadi diucapkan Deva.

“Aku kan nggak tahu, Ray.” ujar Acha pelan.

“Masa gini aja nggak tahu! Ini tuh gampang! Aku juga bisa, bukan hanya Deva.”

Entahlah, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku berucap begitu kasar pada Acha. Hingga membuat Acha berdecak kesal dengan perlakuanku. Lalu ia merebut rubik dari tanganku.

“Tapi aku mau nya diajarin Deva.” kata Acha kemudian.

Dan lagi-lagi rasa kesal itu hadir. Aku kembali merebut rubik dari tangan Acha.

“Aku juga bisa, Acha.” ucapku sedikit membentak.

“Nggak mau!” Acha menarik rubik dari tanganku. Aku menahannya. Dan cukup lama aku dan Acha saling tarik-menarik rubik yang tak berdosa ini. Deva pun cukup kewalahan memisahkan kami.

PRANG!!

Tiba-tiba saja rubik di tangan kami berdua terlepas, diiringi suara benda tersebut dan membentur lantai. Kepingan-kepingan rubik terlepas dari tempatnya. Kini rubik itu pecah berantakan.

“Ray!” bentak Acha kemudian.

“Kenapa? Kamu mau bilang ini salah aku?” Aku balas membentak.

“Itu emang salah kamu, Ray. Ini rubik aku. Hadiah ulangtahunku dari Deva, dan kamu menghancurkannya, Ray.” kata Acha dengan nada gemetar.

Dan aku pun tak tahu, tiba-tiba saja aku merasa tak peduli dengan ucapan yang baru saja kudengar dari mulut Acha. Bahkan mendengar suara Acha yang bergemetar itu pun aku tak peduli.

“Ah! Ini masih bisa dipasang lagi. Lagipula berapa mahalnya sih rubik ini? Aku bisa menggantikannya dengan yang lebih bagus dari ini.” ucapku. Dan aku mendengar nada kesombongan dalam suaraku sendiri.

Akibatnya, setelah ucapanku barusan, aku melihat Acha berlari melewatiku. Sebelumnya ia sempat menghantam pundak kiriku. Aku memutar tubuhku, melihat Acha yang kini tengah membuka pintu.

“Kau berubah, Ray.” ucapnya di ambang pintu. Lalu kembali melangkahkan kakinya keluar rumah setelah membanting pintu tersebut.

“Gara-gara kamu, Ray.”

“Hey! Apa salahku?” Aku mendelik sambil membalikkan tubuhku kembali menghadap Deva.

“Sudah tahu apa yang kau perbuat, kau masih saja tak tahu apa salahmu!” Deva memicingkan matanya tajam. “Kau pikir rubik ini pecah gara-gara siapa? Itu semua gara-gara kamu, Ray!” kata Deva setengah  membentak.

“Jangan asal tuduh kamu, Dev! Jelas-jelas Acha yang buat masalah. Dia tak mau memberikan rubik itu padaku! Dia pikir aku tak bisa mengajarinya cara bermain rubik.” Balasku.

“Bukan karena itu.” Kata Deva lirih. “Dia hanya tak ingin diajari olehmu. Dan kamu tak boleh memaksanya.”

“Peduli setan! Rumah ini adalah rumahku! Jadi tak ada yang boleh mengelak dari perkataan sang tuan rumah!” Aku masih membentak.

Deva mendengus kesal. “Ternyata Acha benar. Kau memang berubah, Ray.” ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.

* * *

Aku memandang rubik milik Acha yang tak berbentuk di atas ranjang kamarku. Aku sengaja menaruhnya disana agar tidak dibuang oleh bunda bila tetap dibiarkan tergeletak di ruang tamu. Aku tak tahu kenapa aku bersikap begitu kasar kepada Acha. Entahlah, hatiku terasa gundah bila melihat kejadian tadi ketika Acha meminta bantuan pada Deva. Aku merasa sedikit kesal bahkan sangat kesal melihatnya. Aku tak tahu kenapa hal itu terjadi. Tapi memang itulah yang kurasakan saat itu. Aku merasa tak suka melihat kedua sahabatku itu saling dekat. Sahabat? Iya, mereka adalah sahabatku. Tapi, kenapa kini aku merasa pahit sekali setelah mengucap kata sahabat untuk persahabatan kami.

Setelah kupandangi cukup lama, aku mengambilnya dan mulai memasang satu persatu rubik yang berantakan itu. Setelah selesai kuperbaiki, aku menyimpannya di dalam tas. Aku berniat akan mengembalikannya pada Acha esok hari di sekolah, sekaligus aku ingin minta maaf padanya atas kelakuanku tadi.

* * *

Aku melangkah menelusuri sepanjang koridor kelas dengan langkah ringan. Namun, setibanya di ambang pintu kelas, aku terkesiap. Tubuhku mendadak menegang.

Aku kembali melihatnya. Acha dan Deva. Mereka sedang berdua di sudut tembok kelas sana. Mereka tengah bercanda mesra. Mereka sedang tertawa. Entah, tiba-tiba aku merasakan bahwa mereka sedang menertawakanku. Menertawakan tingkah bodohku pada kemarin hari. Mendadak aku merasa kesal. Ingin rasanya aku kembali beranjak keluar kelas untuk berlari ke rumah, namun kakiku terasa kaku untuk digerakkan keluar kelas. Aku sudah berniat ingin meminta maaf pada Acha, dan itu janjiku. Aku tak bisa pergi.

Akhirnya dengan sedikit kekuatan, aku mendekati meja Acha dan Deva di belakang sana. Tawa mereka terhenti ketika menyadari bahwa aku mendekati mereka.

“Pagi, Ray.” sapa Acha dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dan jujur saja, itu adalah senyuman tercantik yang pernah kulihat.

“Pagi, Cha. Hei, Dev.” sahutku.

Deva tak menyahut, mungkin ia heran dengan tingkahku dan Acha yang nampaknya bertolakbelakang dengan kejadian kemarin di rumahku.

Aku merogoh sesuatu dari dalam tas ranselku dan menyerahkannya pada Acha. “Ini rubikmu! Sudah kuperbaiki.” Kataku.

Acha meraih rubik dari tanganku. Acha memperhatikan rubiknya dengan perasaan bangga yang menyelimuti dirinya. Ia masih tersenyum.

“Makasih ya, Ray.” ucap Acha.

Aku hanya bergumam, kemudian duduk di bangku kosong di hadapan Acha dan Deva.

“Bantu lagi dong, Dev!” Acha menggeser duduknya mendekati Deva. Ia menyerahkan rubik di tangannya pada lelaki itu.

Lagi-lagi tubuhku menegang. Rasa ketidaksukaanku melihat mereka berdua akhirnya hadir kembali. Benar, aku merasa kesal.

Kulihat Deva melirikku, namun aku hanya melengos pelan.

“Deva, Bantu aku!” ulang Acha.

Aku kembali melihat kedua makhluk di hadapanku. Deva mulai mengajari Acha bermain rubik kembali. Aku yang merasa diabaikan segera bangkit dari dudukku, dan sukses membuat Acha dan Deva menengadahkan kepalanya memandangku.

“Bukan berarti aku membetulkan rubikmu itu karena aku merasa bersalah. Enggak, Cha, itu semua tetep kesalahanmu!”

Dengan lancarnya aku mengucapkan kata yang bodoh itu. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Tanpa kuproses dalam otak dan tanpa memikirkan apa respons dari Acha dan Deva bila kuucapkan kata itu. Tapi aku merasa aku tak perduli akan hal itu.

Acha menghela napas. “Baiklah, kalau memang itu semua kesalahanku. Aku minta maaf.” ujar Acha. Lebih terdengar karena pasrah.

“Acha! Ini bukan salahmu!” cegah Deva.

“Sudahlah, Dev! Aku capek ribut dengan Ray. Ray, aku minta maaf atas kesalahanku yang kemarin.” kata Acha.

“Maaf saja tak cukup bagiku, Cha.” ucapku setengah membentak.

Deva segera bangkit dari duduknya. Ia menyambar kerah seragamku. “Sudah bagus Acha mau minta maaf denganmu, padahal kamu yang salah! Tapi tadi kamu bilang apa? Minta maaf saja tak cukup? Bodoh sekali kamu, Ray! Acha tuh sahabatmu! Dan kamu tak mau memaafkannya! Kenapa? Karena apa?” bentak Deva masih memegang kerah seragamku.

Aku mengenyahkan tangan Deva dari kerah seragamku. Ia terlempar ke belakang sehingga cengkramannya terlepas dari kerah seragamku.

“Karena aku cemburu melihatmu dengan Acha!”

Sial! Aku merutuk dalam hati. Bodoh! Kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku? Ucapanku tadi benar-benar bodoh. Aku melihat Acha tersentak kaget dan langsung pergi keluar kelas setelah menyambar tas ranselnya di atas meja. Aku tak tahu ia kenapa. Tapi kulihat ia menangis. Ya! Aku melihat Acha menangis.

“Kenapa harus cemburu Ray?”

Tubuhku kembali menegang. Aku membalas tatapan Deva yang kini tengah memandangku tajam.

“Aku dan Acha adalah sahabat! Kau pun juga begitu! Kau adalah sahabatku dan Acha. Lalu untuk apa kau cemburu Ray?” ucap Deva tertahan.

Aku diam, tak merespons apa-apa pertanyaan Deva tadi. Karena kurasa itu semua tak perlu dijawab. Dan karena aku tahu, Deva mengerti apa maksud dari kata ‘cemburu’ dariku terhadapnya dan Acha.

Deva menarik tas ranselnya. Ia berjalan melewatiku. Tepat ketika ia melewatiku, ia berhenti, menepuk pundak kiriku, dan berbisik, “Aku tahu kau cemburu, tapi tak semestinya kau membentak Acha tadi. Bila kau memang suka, katakan saja. Tapi ingat! Kita sahabat Ray. Jangan ingkari janji persahabatan kita. Demi aku, kamu, dan Acha!”

Bisikan itu terus terngiang di telingaku. Bahkan hingga Deva beranjak dari sisiku pun bisikan itu masih tetap terngiang. Membuatku merasa bahwa aku adalah orang paling bodoh sedunia.

* * *

Aku tak mengerti dengan perasaan ini. Apa yang kurasakan saat ini pun aku tak tahu! Aku merasa tak punya lagi akal pikiran sehingga membuatku tak berpikir dahulu sebelum bertindak. Sehingga membuatku egois akan perasaanku terhadap oranglain. Pula egois yang tak bisa melihat orang yang kusukai bersama oranglain. Kurasa memang benar, aku menyukai Acha. Bukan rasa suka sekedar sahabat, tapi kurasa itu lebih. Ah, kenapa aku harus melakukan tindakan bodoh seperti tadi?

“Ray!”

Aku menengok ke ambang pintu kamar ketika kusadari suara kak Rio memanggilku dari balik pintu. Aku berjalan mendekati pintu dan membukanya.

“Ada apa kak?” tanyaku setelah kudapati sesosok kak Rio berdiri di balik pintu.

“Ada telepon tuh dari Deva!”

Aku melangkah menuju ruang keluarga dan mengangkat gagang telepon.

“Halo?”

“Ray! Cepat ke rumah sakit! Acha kecelakaan!”

Kurasakan sebuah petir di atas sana menghantam tepat di dadaku. Acha kecelakaan?

“Kecelakaan dimana? Kondisinya gimana sekarang?” tanyaku panik. Aku merasakan jantungku berdegup cepat.

“Tadi sepulang sekolah. Acha nyebrang nggak hati-hati, makanya dia ketabrak motor yang lagi lewat. Aku juga baru tahu sekarang. Lebih baik cepat kamu kesini!”

“A-Acha baik-baik aja kan?”

* * *

Langkahku terhenti di ambang pintu kamar rumah sakit yang ditempati Acha. Aku merasa ragu untuk memasukinya. Jelas saja, baru tadi pagi di kelas aku ribut dengannya. Lalu kini aku datang untuk menjenguk Acha. Rasa gengsiku hadir kembali. Ah, perasaan apa sih ini yang mengusikku? Aku tak ingin seperti ini terus. Pokoknya aku harus minta maaf sekarang juga. Ya, hanya mengucapkan kata maaf setelah itu pulang, mungkin itu pun sudah cukup.

Dan akhirnya setelah berpikir cukup lama, aku memutar kenop pintu kamar Acha, dan membukanya. Kulihat Acha terbaring di atas ranjang dengan Deva yang terduduk di sebelahnya. Mereka memandangku.

“Malam, Ray.” sapa Acha lembut.

Acha tak seperti biasanya. Ia nampak pucat dengan baju hijau khas pasien rumah sakit itu. Apalagi setelah kulihat alat infus yang terpasang di lengan kanannya, tubuhnya terlihat semakin kurus.

“Makasih ya udah mau jenguk aku.” lanjutnya kemudian tersenyum. Senyuman tipis yang terhias pada bibirnya yang pucat.

“Aku cuma kebetulan lewat kok, Cha.” Kataku ketus.

Aku tak tahu kenapa aku mengeluarkan nada suara seperti itu. Tapi tak ada penolakan sama sekali dariku ketika aku mengeluarkan ucapan dan nada yang terdengar ketus itu. Seakan kata-kata itu keluar dengan sendirinya.

“Kok kebetulan? Bukannya kamu kesini emang mau jenguk Acha?”

Deva sedang mengintogerasi! dengusku dalam hati.

“Siapa bilang? Aku sedang menemani kak Rio. Dia sedang beli obat di apotek rumah sakit ini untuk penyakitnya itu. Kebetulan saja aku melewati kamar ini, ya, aku mampir deh!”

Bohong! Aku merutuk dalam hati. Aku bohong! Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulutku. Tapi kenapa harus kata-kata bodoh itu lagi yang keluar dari mulutku?

“Lalu kak Rio mana?” tanya Deva.

“Sudah kubilang dia di apotek. Dia mungkin sudah menunggu di luar. Aku duluan ya.” ucapku pamit kemudian membalikkan tubuh.

Belum kulangkahkan kakiku, suara serak Acha mencegahnya. “Jadi kamu kesini bukan untuk menjengukku?”

Aku kembali membalikkan tubuh. “Aku kesini hanya untuk menemani kak Rio. Lagipula bila memang aku ingin menjengukmu, aku pasti membawa parsel untukmu. Tapi kali ini tidak, bukan? Aku hanya kebetulan lewat saja. Eh, tapi gimana keadaanmu, Cha? Sudah baik kan?”

Great! Kata-kata itu lagi yang keluar dari mulutku. Ah, ada apa dengan mulutku ini? Kenapa tak bisa berkompromi dengan hatiku yang sebenarnya tak ingin mengucapkan kata-kata bodoh itu?

“Alhamdulillah Ray, udah agak baikan.” sahut Acha lirih.

Aku lihat segurat kekecewaan nampak jelas di wajah Acha. Aku tahu dia kecewa karena aku. Karena sikapku yang begitu bodoh yang kulakukan terhadap Acha.

“Oh, syukurlah kalo gitu. Aku pulang duluan ya!”

“Ray kamu apa-apaan sih!” Suara Deva sukses membuat langkahku terhenti kembali ketika hendak keluar kamar. “Bukannya tadi kamu khawatirin Acha di telepon? Terus sekarang kenapa kamu jadi mojok-mojokin Acha? Kamu kenapa sih, Ray?” tanya Deva setengah membentak. Aku tahu ia tak suka dengan perlakuanku terhadap Acha.

“Memang seberapa kekhawatiranku pada Acha saat tadi di telepon? Nggak usah sok tahu kamu, Dev! Dan buat kamu Cha, nggak usah kegeeran dulu kalo aku ke rumah sakit untuk menjenguk kamu! Aku kesini hanya menemani kak Rio. Kebetulan saja aku melewati kamar ini, makanya aku mampir dulu kesini. Dan hanya untuk menanyakan kabarmu. Bukan untuk menjengukmu. Jadi jangan kegeeran kamu, Cha!”

Aku merutuki diri sendiri, merasa bersalah dengan ucapanku barusan. Karena setelah ucapanku itu, kulihat Acha semakin kecewa bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Deva mendekati Acha dan menenanginya. Tapi bukannya tenang, Acha malah menangis. Dan aku? Aku hanya diam di ambang pintu. Tak ada niat sama sekali untuk menggerakkan kakiku mendekati Acha. Aku tak tahu kenapa itu terjadi. Bahkan aku makin kesal setelah melihat kedua makhluk itu kembali bersama.

“Udahlah Ray, kalo kamu kesini cuma buat nyakitin Acha, lebih baik kamu pulang aja. Acha juga nggak mengharapkan tamu semacam kamu datang kesini.” ujar Deva dengan nada datar. Ia masih menenangkan Acha.

Dan kalian tahu? Deva memeluk Acha! Acha menangis tersedu-sedu di pundak Deva! Dan hal itu sukses membuatku semakin kesal padanya.

“Baik, aku pulang! Percuma aku kesini, hanya membuang waktuku saja! Lebih baik tadi aku menemani kak Rio ke apotek, dan tak usah mampir kesini!”

Aku cukup kaget dengan ucapanku sendiri. Bukan hanya aku, bahkan Acha dan Deva juga kaget dengan ucapanku itu. Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari kamar Acha, sebelum kata-kata kasarku keluar lagi dari mulutku.

* * *

Sungguh, aku tak tahu dengan diriku sendiri. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku begitu kasar pada Acha tadi? Kenapa mulutku tak bisa berkompromi dengan hatiku saat itu? Sungguh, aku tak ingin menyakiti hati Acha. Sudah seringkali aku menyakitinya, dan aku tak ingin mengulanginya kembali. Tapi kenapa dan kenapa? Kenapa aku tak bisa mengucap maaf pada Acha? Dan kenapa harus kata-kata kasar yang keluar dari mulutku? Apa yang terjadi denganku?

Langkahku terhenti di ambang pagar rumah. Aku melihat ayah dan bunda tengah sibuk memasukkan beberapa koper ke dalam mobil. Oma dan kak Rio hanya memandangnya dari ambang pintu rumah. Apa yang mereka lakukan?

“Ayah! Bunda! Kalian mau kemana?” tanyaku.

Bunda hanya tersenyum. Ayah juga tersenyum. Dan aku tak tahu maksud dari senyuman itu apa? Bunda mendekatiku, lalu mengajakku ke dalam rumah. “Ayo bicarakan di dalam!” Begitulah ucapan bunda ketika kami melangkah memasuki rumah.

Ayah, kak Rio, dan Oma mengikuti kami berdua masuk ke dalam rumah. Kami pun berkumpul di ruang tamu.

“Ayah dapat tawaran kerja lagi di Makassar. Karena kebetulan bunda juga masih punya tugas disana, makanya bunda ikut ayah ke Makassar.”

“Berapa lama bunda disana?” tanyaku.

“Belum tahu, sayang. Bisa dipastikan dalam waktu yang cukup lama.”

Aku terdiam. Berpikir lebih tepatnya! Makassar? Kota itu sangat jauh dari Jakarta. Mungkin bila aku ikut ayah dan bunda ke Makassar, aku bisa menjauh dari Acha dan Deva. Dan aku takkan lagi menyakiti Acha dengan kata-kata kasarku.

“Ayah! Bunda! Aku boleh ikut ke Makassar?” tanyaku.

“Kamu serius, Ray? Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Acha dan Deva?” tanya kak Rio yang sepertinya menginginkanku agar tetap di Jakarta.

“Tenang saja kak, mereka pasti baik-baik saja.” Justru mereka akan senang bila aku pergi jauh kak, lanjutku dalam hati.

“Kalo kamu memang ingin ikut kami, cepat bereskan pakaianmu! Bunda tunggu di luar.” pinta bunda.

“Kak, sampaikan salamku pada Acha ya!” ucapku pada kak Arry ketika hendak memasuki mobil. Barang-barang sudah dimasukkan ke dalam bagasi, termasuk pakaianku.

“Kalau dia tanya macam-macam tentangmu bagaimana?”

“Bilang saja, ini jalan yang terbaik buat persahabatan kita.”

Sekali lagi kurasakan pahit sekali ketika mengucapkan kata persahabatan. Entah, aku tak tahu itu mengapa.

“Mungkin dengan begini, ia takkan lagi tersakiti olehku.” Lanjutku kemudian.

Kak Rio tersentak. Baru saja ia membuka mulut hendak bertanya, aku sudah melangkah memasuki mobil. Dan kak Rio pun membiarkanku memasuki mobil.

“Bu, titip Rio ya. Rio, titip oma juga ya!” pesan ayah dari balik kemudinya pada oma dan kak Rio.

Dua menit kemudian, mobil yang kunaiki ini membawaku meninggalkan sebuah rumah kecil yang sederhana di bawah kaki bukit itu, meninggalkan oma dan kak Rio yang tengah berdiri melambaikan tangan di ambang pintu rumah. Dan inilah jalan yang memang harus kupilih. Dengan begitu, aku takkan lagi menyakiti perasaan Acha dengan sikap egoisku serta ucapan-ucapan kasarku.

Selamat tinggal Acha! Selamat tinggal Deva! Selamat tinggal sahabat! Selamat tinggal Jakarta!

* * *


Bersambung

No comments:

Post a Comment