"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Wednesday, September 19, 2012

Tentang Sahabat #1

                 SATU                 

Ukiran Persahabatan




Acha meniup serbuk-serbuk penghapus yang mengotori lembar sketsanya. Ia tersenyum puas setelah melihat lukisan yang tersembunyi di balik serbuk penghapus tersebut. Lukisan yang selalu ingin membuatnya selalu tersenyum.

“Yeeyy… sebelas lawan delapan!” teriak seorang lelaki yang tengah berjalan mundur menghindari seorang sahabatnya di lapangan basket sana. Ia baru saja memasukkan angka ke dalam ring basket setelah melewati pertahanan sahabatnya yang begitu ketat.

Acha melirik sekilas kedua makhluk di lapangan sana. Senyumannya masih tersungging di bibir tipisnya.

“Ayooo Dev, jangan mau kalah dari Raaay…” teriak Acha kemudian.

Kedua lelaki di lapangan basket sana menengok sekilas ke sumber suara. Seorang gadis tengah duduk di bangku pinggir lapangan sambil memangku sebuah sketsa kecil di pahanya. Kedua lelaki itu kemudian saling pandang dengan tatapan menantang.

“Ayo kita lanjutkan!” seru lelaki yang tadi memasukkan angka.


“Oke. Aku pasti menang.” Lelaki yang lain angkat suara. Ia melirik Acha yang tengah memandangnya. Kemudian ia kembali memandang sahabatnya   sang master basket   di hadapannya. “Demi Acha,” lanjutnya.

Lelaki yang tadi memasukkan angka menaikkan satu alisnya dengan tatapan meremehkan. Ia mengambil bola basket yang tergeletak di aspal lapangan, yang sempat mereka hiraukan sejenak tadi. Ia memantulkan bola tersebut ke aspal berkali-kali kemudian mengatakan, “Ayo kita buktikan!”

Secepat kilat, lelaki itu merebut bola basket dari tangan sang master basket. Dengan lincahnya, ia mendrible menuju ring basket. Sang master basket tadi mencoba untuk merebut kembali bolanya. Ia mencegah aksi sahabatnya itu yang hendak memasukkan bola ke dalam ring. Namun dengah cepat pula, lelaki itu loncat dan melempar bola tersebut ke arah ring. Dan…

SHUT!! Dengan ringannya bola basket itu menjebol jarring basket di atas sana.

Three point!

Sang master basket tadi tercengang tak percaya melihatnya. Ia kemudian membalik tubuhnya menghadap sahabatnya itu.

“Keren juga kamu, Dev!” decaknya kagum.

Lelaki yang disapa ‘Dev’ tadi hanya tersenyum kecil sambil melangkah mendekati bola basket dan mengambilnya.

“Itu baru pemanasan, Ray. Masih sebelas sama. Pertandingan belum usai.” katanya.

“Baik, kita lanjutkan permainan kita!” ucap lelaki yang disapa ‘Ray’ tadi dengan tegas.

Acha hanya tersenyum melihat tingkah dua sahabatnya di lapangan basket sana. Bertindak seolah-olah mereka adalah pemain basket professional yang tengah bertanding untuk mendapat gelar Pemain Basket Terbaik Se-Dunia. Acha melihat kedua sahabatnya kini tengah beradu kemampuan dalam bermain basket.  Ketika bola berada di tangan Ray, secepat mungkin dapat diambil oleh Deva. Begitu pun sebaliknya ketika bola berada di tangan Deva.

Ray dan Deva. Mereka adalah dua sahabat yang selalu menghiasi serta menemani hari-hari Acha dengan penuh makna, canda, dan tawa. Dua sahabat yang selalu membuat Acha tersenyum dengan tingkah konyol mereka. Ya, hanya Ray dan Deva-lah yang mampu membuatnya begini. Dan mungkin tak akan pernah terganti.

Acha menengadahkan kepalanya begitu sadar bahwa titik-titik air membasahi tangannya. Makin lama titik air itu semakin cepat turunnya. Acha membereskan alat-alat lukisnya. Ia dekap erat sketsanya itu lalu bangkit dari duduknya.

“Ray, Deva. Ayo ke kelas! Hujan!” ajak Acha.

Ray dan Deva yang sedang bertarung sengit di lapangan sana akhirnya menghentikan permainannya. Mereka berlari mengikuti Acha meninggalkan lapangan basket.

Acha meletakkan bawaannya di atas meja, lalu mencoba menyapu seragamnya yang basah oleh air hujan.

“Ah! Kenapa harus hujan sih? Kan lagi seru!” keluh Ray kemudian duduk di atas meja di dekat pintu.

“Iya. Padahal tadi tanggung banget. Selangkah lagi aku bisa memasukkan three point.” tambah Deva.

Acha tak menyahut. Ia masih sibuk menyapu seragamnya yang basah itu. Kemudian ia membawa sketsanya tadi menuju bangkunya yang terletak di ujung belakang sana. Ray dan Deva saling pandang melihat tingkah Acha yang nampaknya kali ini berbeda. Deva kemudian mengikuti Acha menuju bangku belakang. Ray juga bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Acha dan Deva.

“Kamu kenapa, Cha? Diem mulu dari tadi." tanya Deva. Ia sudah duduk di bangku di depan Acha.

“Nih, lihat! Sketsaku basah.” Acha menunjukkan sketsanya pada Ray dan Deva. “Padahal tinggal kuoles sedikit lagi, lukisan ini selesai. Tapi sekarang malah basah. Harus mengulang dari awal deh!” keluh Acha.

“Dikeringin aja dulu, Cha. Pasti nggak lama kok.” usul Ray yang masih berdiri di sebelah meja Acha.

“Terserah aja deh mau diapain! Aku mau buat yang baru,” kata Acha mengeluarkan beberapa alat lukis seperti pensil warna, cat minyak, dan alat lukis lainnya.

“Mau buat dimana, Cha?” tanya Deva.

Acha menggeser pantatnya mendekati tembok. Lalu ia mulai sibuk mengukir sesuatu memakai alat lukisnya di tembok di sebelahnya.

“Hei, tembok kelas tuh! Jangan dicoret-coret, Cha!” teriak Ray.

Acha nyengir. "Sedikit aja sih nggak apa-apa, Ray.” Ia memeletkan lidahnya pada Ray.

Ray duduk di sebelah Acha, dan memperhatikan apa yang diukir sahabatnya itu di tembok sana. Deva juga memajukan kepalanya agar bisa melihat apa yang diukir oleh Acha.

“Keren, Cha!” Ray berdecak kagum setelah melihat apa yang diukir Acha di tembok sana. "Kamu emang berbakat jadi pelukis!" Ray menepuk pundak Acha.

Acha tersenyum simpul. “Amin. Makasih, Ray.” ujarnya. Tangannya masih lihai mengukir tembok.

Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya. Ia berhenti melukis dan memutar kepalanya memandang kedua sahabatnya. “Eh, ayo kita ukir bersama!” seru Acha.

Ray dan Deva membulatkan matanya. Mereka saling pandang.

“Boleh tuh!” kata Deva yang kemudian mengambil salah satu alat lukis Acha, dan mulai melanjutkan ukiran Acha itu.

“Aku juga mau,” sahut Ray tak mau kalah. Ia juga mengambil salah satu alat lukis Acha dan ikut mengukir sesuatu di tembok itu.

Acha terkekeh geli. Kemudian ia kembali memfokuskan diri pada ukirannya di tembok sana. Sebuah ukiran nama persahabatan mereka. Ya, ia mengukir sebuah nama persahabatan bersama kedua sahabatnya. Ray dan Deva. Ditemani oleh suara turunnya hujan yang semakin membuat suasana terasa damai bagi mereka.

* * *

Deva meraih botol minumnya lalu meminumnya beberapa teguk. Ray yang baru datang juga mengambil botol minumnya dan meminumnya.

“Dev, Ray. Duluan yaa…” kata Cakka, teman tim basket mereka yang hendak melangkah meninggalkan lapangan basket.

“Hati-hati Kka.” sahut Deva yang baru saja menyelesaikan tegukannya.

Cakka tak menyahut, hanya memberi sebuah acungan jempol setelah itu melesat pergi.

Deva memasukkan kembali botol minumnya ke dalam tas, lalu menyelempangkan tasnya di pundak kirinya.

“Loh? Mau balik sekarang, Dev? Main lagi yuk bentar!” ajak Ray yang melihat Deva bangkit dari duduknya.

“Ada les, Ray. Kapan-kapan aja. Lagipula baru aja selesai ekskul basket, masa mau ngajak main lagi. Istirahatlah dulu, sob.” kata Deva menepuk pundak Ray. “Ya udah aku duluan ya. Kak Alvin udah nunggu di depan tuh!” Deva melangkahkan kakinya meninggalkan Ray.

Ray tersenyum kecil, lalu memandang punggung Deva yang makin menjauh yang kemudian hilang ditelan tikungan. Akhirnya mau nggak mau Ray juga meraih tasnya dan melangkah meninggalkan lapangan basket.

Koridor kelas sudah sepi ketika Ray berjalan melewatinya. Siswa-siswi sudah berpulangan sebelum ia melaksanakan pertemuan dengan tim basketnya. Ray berhenti melangkah. Ia memutar kedua bolamatanya setelah melihat tali sepatunya yang lepas.

“Ah, sialan!” keluh Ray kemudian berjongkok.

Selagi Ray mengikat tali sepatunya, terdengar suara tetesan air. Semakin lama tetesan air itu semakin cepat dan Ray baru menyadarinya ketika ia mendongakkan kepala dan memandang lagit. Rintik-rintik hujan kembali membasahi bumi. Ray mendesah. Niatnya ingin langsung pulang ke rumah pun tertunda. Akhirnya ia melangkah menuju kelasnya, menunggu disana hingga hujan reda. Ray berhenti di ambang pintu kelas. Sudut matanya menangkap seorang gadis tengah duduk di sudut kelas sambil mengerjakan sesuatu di atas mejanya. Ray mengernyit.

“Acha kok belum pulang?” tanya Ray begitu mengenali gadis itu sebagai Acha.

Acha menengadahkan kepalanya. Ia tersenyum kecil begitu melihat Ray tengah berjalan mendekatinya.

“Belom. Aku nungguin kamu, Ray. Udah selesai kan ekskulnya?” tanya Acha.

“Hm, kayaknya belum deh, Cha. Ray masih main basket tuh di lapangan sama teman-temannya.” gurau Ray.

Acha meninju lengan Ray dengan gemas. Sementara Ray hanya terkekeh.

“Dilarang bercanda! Deva mana?” tanya Acha lagi.

“Udah pulang. Ada les katanya.” sahut Ray.

“Oh, ya udah kita pulangnya nunggu hujan reda aja ya, Ray.” kata Acha kemudian kembali berkutat pada pekerjaannya, melukis di atas sketsa.

Ray membiarkan Acha sibuk pada aktivitasnya sendiri, pula membiarkan keheningan menyelimuti mereka, hanya suara hujan turun yang terdengar di telinga Ray.

Beberapa menit berlalu, Acha masih sibuk dengan dunianya sendiri. Ray melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan sketsanya itu. Ia mulai jenuh dengan keheningan ini. Sebuah ide kemudian terlintas dalam benaknya ketika melihat salah satu alat lukis Acha menganggur. Ray mengambil alat tersebut dan mulai mengukir sesuatu di tembok sebelahnya. Tembok yang sama seperti tembok beberapa hari lalu yang dirinya, Acha dan Deva mengukir nama persahabatan mereka.

“Kamu ngapain, Ray?”

Pertanyaan Acha tadi cukup membuat Ray tersentak kaget. Ia melirik Acha sekilas.

“Nggak ngapa-ngapain kok, Cha.” Ray nyengir. Ia kembali melanjutkan aktivitasnya.

“Bohong!” Acha menyembulkan kepalanya di balik punggung Ray. Tetapi lelaki itu malah menutupi kegiatan yang ia lakukan. Acha melotot marah. Ia ngotot ingin melihat apa yang Ray lukis di tembok sana. Dan ketika akhirnya Acha bisa melihatnya, ia menemukan sebuah ukiran namanya dan nama Ray di tembok tersebut. Bukannya marah, Acha malah merebut alat lukis yang dipegang Ray dan melanjutkan ukiran buatan Ray tadi.  Ray tertawa. Ia mengambil alat lukis Acha yang lain di atas meja dan membantu Acha mengukir nama mereka berdua disana. Ya, mereka berdua. Hanya nama meteka berdua. Tanpa Deva.

Air hujan masih mengguyur bumi, memberikan kehangatan untuk kedua insan di dalam kelas sana, yang tengah mengukir nama mereka berdua di sudut tembok kelas.

* * *



Bersambung ke Tentang Sahabat #2

No comments:

Post a Comment