"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Monday, November 12, 2012

Beautiful Mistake (#2)



"Beda bukan berarti tak dapat menyatu."


Ia, dikenal dengan nama Shei, melangkahkan kakinya menuruni anak tangga masjid. Ia baru saja menyelesaikan shalat dhuha di masjid sekolahnya. Hal ini sudah menjadi kegiatan rutin baginya semenjak ia menduduki kelas 3 SMA, kelas akhir di masa putih abu.


Ia tersenyum ketika didapatinya orang itu sedang berdiri di bawah pohon jambu dekat masjid dengan tangan yang dilipat di dada. Orang itu melirik ke arahnya, dan senyum langsung terhias di bibir keduanya.


Orang itu, dikenal dengan nama Glenn, melangkahkan kakinya mendekati Shei yang sedang memakai sepatu talinya sambil duduk di batas suci masjid. Glenn sudah terbiasa menunggu Shei mendekatkan diri kepada Tuhannya sebelum mereka makan bersama di kantin. Dan hal ini sama sekali tidak memberatkan keduanya, apalagi Glenn.


"Udah lama?" tanya Shei sambil menalikan sepatu sebelah kirinya. Setelah itu, ia bangkit dari duduknya.


"Baru aja dateng kok tadi. Mau langsung ke kantin?" jawab Glenn sekaligus bertanya.



Shei hanya mengangguk sebagai jawabannya.


Kemudian mereka berjalan beriringan. Ada jarak di antara keduanya. Mereka memberi ruang kosong di antara Glenn dan Shei. Tidak seperti pasangan lainnya. Yang bahkan untuk berjalan saja harus berpegangan tangan dan menempelkan lengan satu sama lain. Tapi tidak untuk Glenn dan Shei. Mereka tahu batasnya, walau mereka terlahir dalam jalan yang berbeda.


* * *


Hari demi hari berlalu. Tak terasa dua bulan sudah Glenn dan Shei bersama. Bersama dalam satu ikatan dengan jalan yang berbeda.


Shei masih berpikir. Apakah hubungan yang dijalaninya adalah benar? Ia merasa berdosa telah memutuskan untuk tetap bersama Glenn. Ia merasa takut Tuhannya akan membenci dirinya. Ia takut Tuhannya tak merindukan dirinya lagi. Tapi di sisi lain, ia takut untuk meninggalkan Glenn. Meskipun berada di jalan yang berbeda, ia begitu sangat menyayangi Glenn. Ia menyukai semua yang ada pada Glenn. Bukan hanya suka-sukaan cinta monyet, ia yakin. Karena ia telah menempatkan Glenn sebagai satu-satunya orang yang ia sebut namanya di dalam doanya selain keluarganya.


Apakah hubungan ini layak dipertahankan dengan mengabaikan norma agama?


* * *


"Shei, lo sama Glenn itu seriusan ya?" tanya teman sebangku Shei suatu kali.


Shei menghentikan aktivitas menulisnya. Ia diam sejenak sambil berpikir jawaban apa yang akan dijawabnya.


"Keliatannya, kalian serius banget. Ya, walau baru dua bulan, tapi udah keliatan banget kalo kalian itu serius." lanjutnya.


"Gue juga belum tahu. Yang gue tahu, gue sayang sama Glenn. Itu aja." jawab Shei sekenanya.


Karena memang benar, ia belum tahu apakah ia serius dengan Glenn atau tidak. Selama ini pun ia terus bertanya-tanya dalam hati apakah ia serius atau tidak. Namun hanya satu yang ia tahu, ia sangat menyayangi Glenn. Dengan mengetahui bahwa ia sangat menyayangi Glenn, ia merasa tak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terus membayangi benaknya.


Teman sebangku Shei, yang lebih dikenal dengan nama Florina, mendesah panjang. Ia menatap tepat pada manik mata Shei. Shei pun demikian.


"Shei, please, buka mata lo! Lo beda sama dia! Jangan membuat dosa di antara kalian!" ucap Florina lembut.


Ucapannya memang lembut, tapi terdengar seperti sebuah tamparan bagi Shei. Kalimat terakhir darinya benar-benar membuat Shei merasa rapuh. Jangan membuat dosa di antara kalian.


"Gue dan Glenn nggak melakukan tindakan yang seloroh. Kita tahu batasnya."


"Tapi kalian beda, Shei. Kalian memiliki Tuhan yang berbeda."


Shei berpikir sejenak sebelum menjawab. Matanya masih bertemu pandang dengan mata Florina. "Apakah beda tidak dapat menjadi satu, Flo?"


Florina terhenyak. Ia terpaksa tidak menjawab karena guru fisika telah datang ke kelas. Bahkan sampai jam pelajaran berakhir dan waktunya pulang, Florina belum juga menjawab pertanyaan Shei.


* * *


Bukankah Glenn dan Shei bahagia dengan status mereka? Mereka memang beda, tapi mereka tetap satu. Mereka memang beda, tapi mereka bahagia. Mereka memang beda, tapi mereka saling melengkapi. Lalu, apakah ada yang salah di antara hubungan mereka? Apakah memang benar bahwa beda tidak dapat menjadi satu?


No comments:

Post a Comment