"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Sunday, November 11, 2012

Beautiful Mistake (#1)


"Beda bukan berarti tak dapat menyatu."


Suara adzan subuh membangunkan ia dari mimpi indahnya. Ia mengulet panjang sebelum akhirnya turun dari ranjang tidurnya. Doa terucap lirih dari bibir manisnya. Sambil melangkah menuju kamar mandi, bibirnya masih terus menyebut-nyebut nama Tuhannya.


Ia menyalakan air kran. Dibasuhnya kedua telapak tangannya sambil mengucapkan sebait niat doa di bibirnya. "Nawaitul wudhuu'a lirabbil hadatsil ashghari fardhuu lillaahi ta'aala."


* * *


Hari ini aku ulangan biologi. Bantu doa dari Tuhanmu ya sayang.


Ia tersenyum membaca pesan singkat yang ia terima dari seseorang yang telah menjadi orang terdekatnya selama satu setengah bulan terakhir ini. Jemarinya kemudian bergerak menekan keypad pada ponselnya untuk membalas pesan tersebut.


Aku doakan untukmu dari Tuhanku. Sukses ya sayang.


Send. Ada sebersit rasa takut yang menyelinap ketika ia membalas pesan tersebut. Ia takut ia salah dengan membalas pesan seperti itu. Ia takut ketika jemarinya mengetik pesan yang berbunyi seperti itu untuk seseorang yang sedang membutuhkan doa dari Tuhannya disana. Ia takut ia salah.


* * *



Aku. Kamu. Kita. Tuhanku. Tuhanmu. Tuhan kita.


Ia meletakkan bolpoinnya di atas meja setelah merangkai tujuh kata di lembaran kertas putihnya. Ia menengadahkan tangannya di depan dada. Kedua siku tangannya bergesekan dengan meja kayu di bawah lembaran kertas putih tersebut. Bibirnya kembali berbisik lirih.


"Doaku untuknya. Bantulah dia, Tuhanku. Bantulah dia."


* * *


Kita ketemu di kantin ya.


Ia menyimpan ponselnya di dalam saku setelah membaca pesan singkat tersebut. Kakinya kemudian melangkah keluar kelas. Hatinya berdebar-debar ketika kakinya melangkah sendirian menelusuri sepanjang koridor kelas. Detik demi detik berlalu dan ia pun tiba di tempat tujuan.


Ia belum menemukan seseorang yang dicarinya disana. Akhirnya ia menunggu di salah satu meja yang kosong. Di sudut kantin.


Tak hampir lima menit kemudian, seseorang yang ditunggunya datang. Orang itu melangkah mendekatinya tanpa ada ragu sedikitpun. Namun ada yang aneh. Ketika kaki orang itu semakin mendekat ke arahnya, semakin banyak pula mata yang memandang ke arah mereka. Mata-mata yang sudah selama satu setengah bulan terakhir ini mengawasi mereka.


Orang itu tiba di depannya setelah berhasil mengabaikan mata-mata yang memandang ke arah mereka. Orang itu tersenyum manis ketika akhirnya dapat bertemu dengannya.


"Aku senang kamu tiba terlebih dahulu disini." kata orang itu lirih.


Ia juga tersenyum manis ketika akhirnya dapat mendengar kembali suara orang itu secara langsung dan nyata. "Dan aku senang kamu tiba disini dengan selamat."


Mereka tertawa. Tawa yang selama satu setengah bulan terakhir ini selalu mengisi mozaik hari-hari mereka. Tak peduli dengan mata-mata yang selalu mengawasi keberadaan mereka. Yang penting mereka tertawa. Mereka bahagia.


* * *


Tak ada kata yang dapat mendefinisikan ketika mereka dapat bertemu. Tak ada kata yang dapat diungkapkan ketika mereka dapat bersama dalam jalan yang berbeda. Mereka beda, tapi tetap satu. Mereka tetap menyatu.


"Sabtu nanti aku mau jemput ayah dan ibu. Mereka baru aja pulang dari naik haji. Kemungkinan kita nggak bisa ketemu." Ia berkata lirih dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya. "Bagaimana kalau Minggu?"


Suara di sebrang ponsel menyahut pelan. "Nggak bisa, sayang. Aku harus ke gereja."


Hening kemudian di antara mereka. Sebuah tulisan yang kemarin hari tertulis dalam lembaran kertas putihnya kembali terngiang dalam benaknya.


Aku. Kamu. Kita. Tuhanku. Tuhanmu. Tuhan kita.


Kita berbeda, lirihnya dalam hati kemudian mendesah. "Maaf, aku lupa."


"Nggak apa-apa. Lagipula di sekolah kita masih bisa ketemu kok." Kembali suara orang itu menyahut, berusaha untuk menguatkannya.


Mereka kembali berbincang dengan topik lain setelah tidak dapat menemukan waktu yang tepat untuk pergi berdua bersama. Beberapa menit kemudia, telepon ditutup.


Ia masih termenung dengan ponsel yang masih menempel di telinga kanannya. Pandangan matanya kosong. Ia tengah menerawang. Lebih tepatnya berpikir, apakah hubungan ia bersama orang itu akan berjalan seperti apa yang ia harapkan? Apakah ia salah berhubungan dengan orang yang jelas-jelas memiliki jalan yang berbeda?


Apakah beda tidak dapat menjadi satu? Tidak dapat menyatu? Sungguh?


No comments:

Post a Comment