"Ingin mengenal dunia? Baca! Ingin dikenal dunia? Nulis!"

"Welcome to Dunia Zulfhania".

Friday, March 22, 2013

CERPEN: Seperti Ada yang Hilang (#2)





Aku memerhatikan gerakan tangan Hasan yang sedang menulis sesuatu pada secarik kertas. Setelah selesai, ia menyodorkannya padaku. Aku membacanya perlahan.


"Gimana? Ada yang perlu diubah?" tanya Hasan di saat aku sedang membaca.


Aku bergumam. "Hari jumat yakin pada bisa dateng nggak? Nanti kalo kepotong solat jumat, gimana? Mending Sabtu aja, San." komentarku.


"Kalo usul dari gue sih gini, Chan. Khusus hari jumat, kumpulnya setelah solat jumat. Jadi, kita ambil waktu sampai malam belajarnya. Gue sih maunya nginep aja. Semalem. Besoknya hari Sabtu tinggal review pelajaran yang kita pelajari dan pemantapan buat UN. Jadi biar nggak pulang-pergi lagi. Kalo masalah tempat, di rumah gue juga nggak masalah." kata Hasan.


Refleks, aku tersenyum mendengarnya. Tapi Hasan malah memandangku dengan heran.


"Kenapa, Chan? Nggak setuju?" tanya Hasan was-was.


Aku menggeleng. "Bukan itu, San. Gue salut aja atas pemikiran lo. Lo tuh bener-bener berpikir secara matang dan nggak asal-asalan. Lo memang berjiwa kritis ya, San."


Hasan memutar bolamatanya. "Duh, Chan. Please, back to topic!" Hasan geregetan.


"Eh, sorry. Hm, gue sih setuju aja, San. Tapi kalo masalah tempat, kayaknya ada baiknya di rumah gue aja deh. Nyokap pasti nggak bakal ngebolehin gue numpang tidur di rumah oranglain."


"Serius, nggak apa-apa nih di rumah lo?" tanya Hasan meyakinkan.


Aku mengangguk mantap. "Nanti gue bilang ke nyokap."


Hasan mengangguk-angguk. Dia mengambil secarik kertas yang masih berada di tanganku dan kembali menuliskan sesuatu disana, di Jadwal Belajar Bersama Lima Sekawan. Dan tepat saat itu suara bel tanda istirahat telah usai berbunyi.


"Sip. Pas banget." Hasan berhenti menulis. "Oke, gue ke kelas ya. Thanks, Achan." Hasan berdiri dari duduknya, mengacak rambutku sejenak, kemudian melangkah meninggalkan kelasku. Aku memberengut sambil menyisir rambutku dengan jemari tangan.


* * *


From: Adam

Chan, gajadi survey, ya. Gue brg Bagas aja.


From: Bagas

[JARKOM 5 SEKAWAN] Senin: Hafi. Selasa: Hasan. Rabu: Bagas. Kamis: Adam. Jumat-Sabtu: Achan. Mulai jam 9 pagi. Khusus jumat kumpul setelah solat jumat, langsung ke rumah Achan. Jgn telat. Semangat UN, 5 sekawan :))


* * *


Hari ini hari Jumat. H-10 menuju UN.


"Selamat belajar, anak-anakku!" Suara kepala sekolah masih membahana di aula. "Pergunakan waktu kalian sebaik mungkin dalam libur seminggu nanti. Fokus! Usaha! Dan jangan lupa, doa! Semoga kalian dilancarkan dalam mengerjakan ujian. Dan selamat menempuh UN!"


Tanganku berkeringat dingin. Entah kenapa aku menjadi gugup setelah penutupan pidato dari kepala sekolah tadi. Aku merasa was-was akan kemungkinan hal yang terburuk akan terjadi. Takut menghadapi ujian bukanlah kata yang tepat. Bukan juga mengerikan. Lalu apa?


"Chan?"


Tiba-tiba Hafi sudah berdiri di sebelahku. Aku memandangnya yang juga tengah memandangku.


"Lo kenapa?" Hafi meraih tanganku yang berkeringat dingin. "Gugup?"


Aku mengangguk ragu. "Banget."


Hafi meremas-remas tanganku. "Jangan gugup, Chan. Rileks. UN ini bukan hal yang pantas untuk ditakuti, kok." katanya menghiburku.


Aku membiarkan Hafi meremas tanganku. Menyalurkan energinya kepadaku. Memberikan kekuatan untukku. Menghiburku. Dan aku merasa lebih baik setelah itu. Seakan aku dapat menyerap energi semangatnya. Aku tersenyum dan Hafi juga tersenyum. Tangan kami masih berpautan.


* * *


Rasanya, seminggu berjalan terlalu cepat. Aku telah bertemu hari Jumat kembali. Dimana baru seminggu yang lalu aku merasa gugup karena UN sebentar lagi tiba.


Aku bukan takut dalam menghadapi UN. Aku hanya tak bisa memikirkan hal terburuk yang akan terjadi. Aku pun tak ingin memikirkan hal itu. Tapi berulangkali aku mengenyahkannya, berulangkali pula pikiran itu menghantuiku.


Lima hari telah kupakai untuk menekuni berbagai mata pelajaran yang di-UN-kan bersama keempat sahabatku. Tapi aku masih merasa gugup.


"Coba, soal yang tadi udah gue coret-coret dikemanain? Ada catatan penting disitu!"


"Ajarin lagi dong, San, yang materi ini. Gue masih kurang ngerti."


"Tadi, kan, lo bawa-bawa ke depan komputer, Dam!"


"Gas, ini udah diulang berapa kali. Masa nggak ngerti juga!"


"Kagak ada, Haf. Jangan-jangan lo yang ngambil ya? Lo tadi buka internet kan di komputer?"


"Lupa gue, San. Ajarin lagi, dong. Sekali lagi, deh."


"Sumpah, bukan gue! Ngapain juga gue ngambil soal fisika punya lo? Penting gitu buat gue!"


"Coba cari latihannya dulu di buku mandiri punya gue, tuh!"


"Tauk deh, yang anak IPS mah nggak belajar fisika!"


"Ya, iyalah. Apaan tuh fisika? Nggak level sama gue!"


"Etdah, nih bocah dua, berisik amat sih dari tadi! Belajar woy, belajar!"


"Nggak ada temen belajar, San. Hiks."


"Makanya masuk IPA biar bisa belajar bareng. Hahahaha."


"Songong lu, Gas."


Suara-suara di belakangku kemudian terdengar samar ketika aku melangkahkan kakiku meninggalkan ruangan. Aku menuruni anak tangga dan melangkah menuju dapur. Disana ada Ibu dan Rina berdiri di balik kompor. Aku berjalan mendekati dispenser di sudut dapur.


"Kakak, kok turun? Udah laper ya?" ledek Rina yang sedang membalik bakwan di penggorengan.


Aku meneguk segelas air yang telah meluncur dari dispenser.


"Udah ada makanan tuh di atas meja. Ajak makan aja dulu teman-temanmu itu, Chan. Istirahat sebentar." kata ibu.


"Sebentar lagi juga pasti turun kok, bu. Mereka kan nggak tau malu. Kalo Achan udah turun ke bawah, pasti mereka turun ke bawah juga. Kayak tadi sore aja, Achan turun ke bawah, mereka juga turun ke bawah. Padahal kan Achan pergi ke kamar kecil. Malu sendiri deh mereka."


Rina tertawa geli sambil memindahkan bakwan yang rada coklat akibat terlalu matang ke atas piring. "Persahabatan kakak lucu banget sih. Pasti asik banget deh jadi kak Achan."


Aku meletakkan gelasku di tempat cucian piring. "Makanya, nanti kalo udah SMA masuk ke Brawijaya aja." ucapku nggak nyambung.


Kemudian terdengar suara rusuh langkah kaki yang berebutan turun dari tangga. Dan beberapa detik kemudian, keempat kepala nongol dari balik pintu dapur. Keempatnya cengengesan dengan tampang mupeng alias muka kepengen. Aku, Rina, dan Ibu hanya bisa melongo melihat keempatnya.


"Malem, Tante. Malem, Rina." sapa mereka berempat, masih cengengesan. Kemudian, suara cacing-cacing di perut mereka ikut menyapa.


Ibu dan Rina tertawa setelahnya. Sementara aku melengos, pura-pura nggak kenal.


* * *


"Masakan nyokap lo enak banget, Chan!" puji Bagas begitu kami berlima tiba di lantai atas.


Kami baru saja menyelesaikan makan malam yang menggemparkan. Lima sekawan memang nggak tau malu. Semua makanan diembat sampai habis, tiada satupun yang tersisa. Aku, Rina, dan Ibu hanya bisa melongo tak percaya melihatnya. Sebenarnya, mereka itu laper atau doyan?


Tapi dalam hati aku senang melihatnya. Karena hal itu menandakan bahwa mereka juga senang menginap di rumahku. Makmur, kenyang terus.


"Iya. Udah gitu, ada pemandangan cantik, lagi!" Hafi tersenyum lebar.


Aku menuding ke arahnya. "Jangan sampe lo embat adek gue juga!" ancamku.


Senyum Hafi memudar, digantikan oleh cemberut. "Hiks. Teganya kau, Achan. Kukutuk kau menjadi batu!"


Hening. Terdengar suara jangkrik dari luar rumah.


"Chan, ngulang pelajaran biologi yuk!" ajak Adam yang langsung berjalan menghampiri buku-bukunya.


"San, lanjutin ajarin fisika yang tadi, dong!" Bagas mengikuti langkah Adam.


"Yok!" Hasan dan aku mengekor Bagas dan Adam.


Kami berempat kembali duduk melingkar menekuni pelajaran IPA. Sementara Hafi masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan madesu alias masa depan suram. Aku cekikikan sendiri melihat tampang Hafi yang menyedihkan itu. Selama beberapa detik dia berdiri mematung disana sampai akhirnya mendesah dan berkata, "Nasib, jadi anak IPS sendirian!"


* * *


Pukul 12 malam.


Aku baru saja keluar dari kamar lantaran tidak bisa tidur ketika sebuah suara memanggil namaku dengan lirih. Aku menoleh dan mendapati Hasan berdiri di anak tangga. Memandang ke arahku.


* * *


Aku mendongakkan kepala memandang langit di atas sana. Biru kelam tapi bercahaya. Gelap tapi berbintang. Indah. Tiba-tiba, di langit tersebut aku melihat impianku disana. Sebuah bayangan yang menghadirkan aku tersenyum memakai jas laboratorium.


"Jadi, lo udah mantap ingin lanjut ke IPB?" tanya Hasan yang berdiri di sebelahku, yang juga tengah memandang langit di atas sana.


Aku mengangguk mantap. "Mipa kimia. Menjadi seorang laboran yang bisa menulis karya sastra." kataku mengambang.


Sejak dulu, aku memang telah bermimpi menjadi seorang laboran. Walau aku pernah lupa tentang bagaimana memadamkan api pada spiritus, tapi itu tak membuatku mundur. Justru karena hal itulah yang semakin memotivasiku untuk terus berjuang dan semangat. Aku yakin, suatu saat nanti aku bisa berdiri di dalam laboratorium kimia dengan memegang gelas kimia dan bahan kimia menjadi seorang laboran. Menjadi seorang laboran yang juga memiliki keterampilan menulis karya sastra. Itulah impianku.


"Lo juga tetep ke IPB?" Aku balik bertanya.


Hasan mengangguk mantap, seperti yang kulakukan. "Ilmu komputer."


Aku tahu. Sejak pertama kali aku mengenalnya, Hasan sudah tertarik dengan hal yang berbau komputer. Ia sangat pintar mengaplikasikan imajinasinya ke dalam komputer. Entah itu aplikasi yang bergambar, bergambar dan bergerak, dan lain sebagainya. Aku tidak begitu mengerti tentang hal yang seperti itu. Hasan yang lebih tahu. Dan aku mendoakan yang terbaik untuknya.


"Gue tetep bakal ambil Ilmu Hukum di UI."


Aku dan Hasan saling berpandangan, kemudian menoleh ke belakang. Aku kaget ketika Bagas tiba-tiba sudah berdiri disana. Dan dia juga memandang langit.


"Hukum. Satu-satunya harapan gue."


Aku kembali memandang langit. Aku pun tahu itu. Walau Bagas adalah anak jurusan IPA, tapi dia sudah lama menginginkan hukum yang merupakan jurusan IPS. Aku tak tahu kenapa dia begitu tertarik dengan yang namanya hukum. Padahal menurutku, Hasan yang lebih cocok dengan hukum, mengingat bagaimana Hasan memiliki pikiran yang kritis. Tapi, aku tetap mendoakan yang terbaik untuk Bagas. Bila memang hukum satu-satunya harapannya, doa dariku-lah satu-satunya yang kulakukan untuk menyemangatinya.


"Arsitektur ITB."


"Komunikasi UI."


Aku kembali menoleh ke belakang. Di sebelah kanan dan kiri Hasan sudah ada Adam dan Hafi disana. Mereka juga tengah memandang langit.


"Ragu sih ngambil UI. Tapi, itu udah impian gue dari dulu. Komunikasi UI." ujar Hafi.


"Gue juga ragu ngambil arsitek di ITB. Tapi, itu impian gue. Arsitek." ujar Adam.


Walaupun Hafi terlihat konyol dan humoris, aku tahu banget kalau lelaki itu sangat menginginkan UI. Komunikasi. Mungkin karena dia senang berceloteh dan berbicara, makanya dia tertarik untuk masuk komunikasi. Mungkin. Dan Adam. Dia pintar melukis dan pintar berimajinasi. Adam pernah bilang ke aku, kalau dia sangat ingin membangun rumah dengan tangannya sendiri. Sebuah hadiah untuk istrinya kelak. Aku hanya tertawa mendengarnya ketika itu. Tapi aku selalu berdoa untuk mengabulkan permintaannya. Permintaan Adam. Dan juga permintaan Hafi. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk mereka.


Bagas, Hafi, dan Adam maju selangkah. Menyejajarkan barisannya di sebelahku dan Hasan. Kami saling berangkulan. Mendongakkan kepala. Memandang langit. Memandang harapan dan impian kami masing-masing di atas langit sana.


"Ini merupakan awal perjuangan kita, teman-teman." kataku masih memandang langit.


Keempat kepala yang berada di sebelah kanan dan kiriku mengangguk-angguk.


"Kita pernah bermimpi bersama. Maka, kita akan meraihnya bersama pula." kata Bagas.


Tiba-tiba langit malam memancarkan cahaya terang yang bergerak ke bumi. Hafi yang berdiri di sebelah kananku menunjuk ke cahaya yang bergerak tersebut.


"Bintang jatuh!" sahut Hafi.


Kemudian kami memejamkan mata. Mengucap sebuah doa di dalam hati. Semoga Tuhan mengabulkan impian dan doa kami.




Bersambung

No comments:

Post a Comment