DUA
Keegoisanku Merubah Segalanya (Ray P.O.V.)
Aku memutar lagi rubikku menjadi
bentuk yang berantakan. Lalu aku membenarkannya kembali ke bentuk semula. Sudah
berulang kali aku memutar-mutar rubikku, merasa bosan dengan keheningan yang
menyelimuti kami. Sesekali aku melirik kesal ke arah dua sahabatku yang duduk
agak jauh di hadapanku. Mereka juga sedang main rubik, sama sepertiku. Bukan,
kurasa mereka tak sepenuhnya bermain rubik. Sesekali Acha meminta bantuan Deva
untuk memberitahu cara menyelesaikan rubik itu. Aku tahu, Acha memang tak
mengerti cara bermain rubik. Dan aku pun tahu, Deva sangat jago memainkan rubik
ini. Tapi bisakah mereka tak menghiraukanku?
Aku bosan. Aku jenuh. Aku bangkit
dari dudukku dan berjalan mendekati mereka.
“Ada permainan lain?” tanyaku
memecah keheningan.
“Sebentar, Ray, lagi tanggung.
Terus ini gimana lagi, Dev?” Acha langsung berpaling ke Deva.
Jujur. Aku kesal dengan perlakuan
Acha tadi. Entah datang darimana rasa kesal itu, yang jelas aku benar-benar
kesal dan tak tahan oleh semua ini.
“Tinggal diputer gini aja, Cha,
terus samain warnanya.” Deva menunjukkan caranya dengan memakai rubik lain.
Kulihat Acha mencoba melakukan
apa yang tadi dipraktikkan oleh Deva, namun sepertinya ia merasa kesusahan.
“Ih, aku nggak ngerti, Dev.”
rengek Acha kembali berpaling ke Deva.
Aku yang merasa benar-benar kesal
akhirnya merebut rubik dari tangan Acha. Deva yang hendak membantu Acha tersentak
kaget dan segera menoleh ke arahku. Acha pun demikian.
“Ini tuh gampang, Cha. Lihat!
Cuma diputer, terus samain warnanya. Nah! Jadi kan? Gitu doang kok pake minta
diajarin Deva segala sih.” kataku mempraktikkan apa yang tadi diucapkan Deva.
“Aku kan nggak tahu, Ray.” ujar Acha
pelan.
“Masa gini aja nggak tahu! Ini
tuh gampang! Aku juga bisa, bukan hanya Deva.”
Entahlah, aku tak tahu kenapa
tiba-tiba aku berucap begitu kasar pada Acha. Hingga membuat Acha berdecak
kesal dengan perlakuanku. Lalu ia merebut rubik dari tanganku.
“Tapi aku mau nya diajarin Deva.”
kata Acha kemudian.
Dan lagi-lagi rasa kesal itu
hadir. Aku kembali merebut rubik dari tangan Acha.
“Aku juga bisa, Acha.” ucapku
sedikit membentak.
“Nggak mau!” Acha menarik rubik
dari tanganku. Aku menahannya. Dan cukup lama aku dan Acha saling tarik-menarik
rubik yang tak berdosa ini. Deva pun cukup kewalahan memisahkan kami.
PRANG!!
Tiba-tiba saja rubik di tangan
kami berdua terlepas, diiringi suara benda tersebut dan membentur lantai.
Kepingan-kepingan rubik terlepas dari tempatnya. Kini rubik itu pecah
berantakan.
“Ray!” bentak Acha kemudian.
“Kenapa? Kamu mau bilang ini
salah aku?” Aku balas membentak.
“Itu emang salah kamu, Ray. Ini rubik
aku. Hadiah ulangtahunku dari Deva, dan kamu menghancurkannya, Ray.” kata Acha
dengan nada gemetar.
Dan aku pun tak tahu, tiba-tiba
saja aku merasa tak peduli dengan ucapan yang baru saja kudengar dari mulut Acha.
Bahkan mendengar suara Acha yang bergemetar itu pun aku tak peduli.
“Ah! Ini masih bisa dipasang
lagi. Lagipula berapa mahalnya sih rubik ini? Aku bisa menggantikannya dengan
yang lebih bagus dari ini.” ucapku. Dan aku mendengar nada kesombongan dalam
suaraku sendiri.
Akibatnya, setelah ucapanku
barusan, aku melihat Acha berlari melewatiku. Sebelumnya ia sempat menghantam
pundak kiriku. Aku memutar tubuhku, melihat Acha yang kini tengah membuka
pintu.
“Kau berubah, Ray.” ucapnya di
ambang pintu. Lalu kembali melangkahkan kakinya keluar rumah setelah membanting
pintu tersebut.
“Gara-gara kamu, Ray.”
“Hey! Apa salahku?” Aku mendelik
sambil membalikkan tubuhku kembali menghadap Deva.
“Sudah tahu apa yang kau perbuat,
kau masih saja tak tahu apa salahmu!” Deva memicingkan matanya tajam. “Kau
pikir rubik ini pecah gara-gara siapa? Itu semua gara-gara kamu, Ray!” kata Deva
setengah membentak.
“Jangan asal tuduh kamu, Dev!
Jelas-jelas Acha yang buat masalah. Dia tak mau memberikan rubik itu padaku! Dia
pikir aku tak bisa mengajarinya cara bermain rubik.” Balasku.
“Bukan karena itu.” Kata Deva
lirih. “Dia hanya tak ingin diajari olehmu. Dan kamu tak boleh memaksanya.”
“Peduli setan! Rumah ini adalah
rumahku! Jadi tak ada yang boleh mengelak dari perkataan sang tuan rumah!” Aku
masih membentak.
Deva mendengus kesal. “Ternyata
Acha benar. Kau memang berubah, Ray.” ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.
* * *
Aku memandang rubik milik Acha
yang tak berbentuk di atas ranjang kamarku. Aku sengaja menaruhnya disana agar
tidak dibuang oleh bunda bila tetap dibiarkan tergeletak di ruang tamu. Aku tak
tahu kenapa aku bersikap begitu kasar kepada Acha. Entahlah, hatiku terasa
gundah bila melihat kejadian tadi ketika Acha meminta bantuan pada Deva. Aku
merasa sedikit kesal bahkan sangat kesal melihatnya. Aku tak tahu kenapa hal
itu terjadi. Tapi memang itulah yang kurasakan saat itu. Aku merasa tak suka
melihat kedua sahabatku itu saling dekat. Sahabat? Iya, mereka adalah sahabatku.
Tapi, kenapa kini aku merasa pahit sekali setelah mengucap kata sahabat untuk
persahabatan kami.
Setelah kupandangi cukup lama,
aku mengambilnya dan mulai memasang satu persatu rubik yang berantakan itu.
Setelah selesai kuperbaiki, aku menyimpannya di dalam tas. Aku berniat akan
mengembalikannya pada Acha esok hari di sekolah, sekaligus aku ingin minta maaf
padanya atas kelakuanku tadi.
* * *
Aku melangkah menelusuri
sepanjang koridor kelas dengan langkah ringan. Namun, setibanya di ambang pintu
kelas, aku terkesiap. Tubuhku mendadak menegang.
Aku kembali melihatnya. Acha dan Deva.
Mereka sedang berdua di sudut tembok kelas sana. Mereka tengah bercanda mesra.
Mereka sedang tertawa. Entah, tiba-tiba aku merasakan bahwa mereka sedang
menertawakanku. Menertawakan tingkah bodohku pada kemarin hari. Mendadak aku
merasa kesal. Ingin rasanya aku kembali beranjak keluar kelas untuk berlari ke
rumah, namun kakiku terasa kaku untuk digerakkan keluar kelas. Aku sudah
berniat ingin meminta maaf pada Acha, dan itu janjiku. Aku tak bisa pergi.
Akhirnya dengan sedikit kekuatan,
aku mendekati meja Acha dan Deva di belakang sana. Tawa mereka terhenti ketika
menyadari bahwa aku mendekati mereka.
“Pagi, Ray.” sapa Acha dengan
senyum yang tersungging di bibirnya. Dan jujur saja, itu adalah senyuman
tercantik yang pernah kulihat.
“Pagi, Cha. Hei, Dev.” sahutku.
Deva tak menyahut, mungkin ia
heran dengan tingkahku dan Acha yang nampaknya bertolakbelakang dengan kejadian
kemarin di rumahku.
Aku merogoh sesuatu dari dalam
tas ranselku dan menyerahkannya pada Acha. “Ini rubikmu! Sudah kuperbaiki.”
Kataku.
Acha meraih rubik dari tanganku. Acha
memperhatikan rubiknya dengan perasaan bangga yang menyelimuti dirinya. Ia
masih tersenyum.
“Makasih ya, Ray.” ucap Acha.
Aku hanya bergumam, kemudian
duduk di bangku kosong di hadapan Acha dan Deva.
“Bantu lagi dong, Dev!” Acha
menggeser duduknya mendekati Deva. Ia menyerahkan rubik di tangannya pada
lelaki itu.
Lagi-lagi tubuhku menegang. Rasa
ketidaksukaanku melihat mereka berdua akhirnya hadir kembali. Benar, aku merasa
kesal.
Kulihat Deva melirikku, namun aku
hanya melengos pelan.
“Deva, Bantu aku!” ulang Acha.
Aku kembali melihat kedua makhluk
di hadapanku. Deva mulai mengajari Acha bermain rubik kembali. Aku yang merasa
diabaikan segera bangkit dari dudukku, dan sukses membuat Acha dan Deva
menengadahkan kepalanya memandangku.
“Bukan berarti aku membetulkan
rubikmu itu karena aku merasa bersalah. Enggak, Cha, itu semua tetep
kesalahanmu!”
Dengan lancarnya aku mengucapkan
kata yang bodoh itu. Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Tanpa kuproses
dalam otak dan tanpa memikirkan apa respons dari Acha dan Deva bila kuucapkan
kata itu. Tapi aku merasa aku tak perduli akan hal itu.
Acha menghela napas. “Baiklah,
kalau memang itu semua kesalahanku. Aku minta maaf.” ujar Acha. Lebih terdengar
karena pasrah.
“Acha! Ini bukan salahmu!” cegah Deva.
“Sudahlah, Dev! Aku capek ribut
dengan Ray. Ray, aku minta maaf atas kesalahanku yang kemarin.” kata Acha.
“Maaf saja tak cukup bagiku, Cha.”
ucapku setengah membentak.
Deva segera bangkit dari
duduknya. Ia menyambar kerah seragamku. “Sudah bagus Acha mau minta maaf denganmu,
padahal kamu yang salah! Tapi tadi kamu bilang apa? Minta maaf saja tak cukup?
Bodoh sekali kamu, Ray! Acha tuh sahabatmu! Dan kamu tak mau memaafkannya!
Kenapa? Karena apa?” bentak Deva masih memegang kerah seragamku.
Aku mengenyahkan tangan Deva dari
kerah seragamku. Ia terlempar ke belakang sehingga cengkramannya terlepas dari
kerah seragamku.
“Karena aku cemburu melihatmu
dengan Acha!”
Sial! Aku merutuk dalam hati.
Bodoh! Kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku? Ucapanku tadi benar-benar
bodoh. Aku melihat Acha tersentak kaget dan langsung pergi keluar kelas setelah
menyambar tas ranselnya di atas meja. Aku tak tahu ia kenapa. Tapi kulihat ia
menangis. Ya! Aku melihat Acha menangis.
“Kenapa harus cemburu Ray?”
Tubuhku kembali menegang. Aku
membalas tatapan Deva yang kini tengah memandangku tajam.
“Aku dan Acha adalah sahabat! Kau
pun juga begitu! Kau adalah sahabatku dan Acha. Lalu untuk apa kau cemburu Ray?”
ucap Deva tertahan.
Aku diam, tak merespons apa-apa
pertanyaan Deva tadi. Karena kurasa itu semua tak perlu dijawab. Dan karena aku
tahu, Deva mengerti apa maksud dari kata ‘cemburu’ dariku terhadapnya dan Acha.
Deva menarik tas ranselnya. Ia
berjalan melewatiku. Tepat ketika ia melewatiku, ia berhenti, menepuk pundak
kiriku, dan berbisik, “Aku tahu kau cemburu, tapi tak semestinya kau membentak Acha
tadi. Bila kau memang suka, katakan saja. Tapi ingat! Kita sahabat Ray. Jangan
ingkari janji persahabatan kita. Demi aku, kamu, dan Acha!”
Bisikan itu terus terngiang di
telingaku. Bahkan hingga Deva beranjak dari sisiku pun bisikan itu masih tetap
terngiang. Membuatku merasa bahwa aku adalah orang paling bodoh sedunia.
* * *
Aku tak mengerti dengan perasaan
ini. Apa yang kurasakan saat ini pun aku tak tahu! Aku merasa tak punya lagi
akal pikiran sehingga membuatku tak berpikir dahulu sebelum bertindak. Sehingga
membuatku egois akan perasaanku terhadap oranglain. Pula egois yang tak bisa
melihat orang yang kusukai bersama oranglain. Kurasa memang benar, aku menyukai
Acha. Bukan rasa suka sekedar sahabat, tapi kurasa itu lebih. Ah, kenapa aku
harus melakukan tindakan bodoh seperti tadi?
“Ray!”
Aku menengok ke ambang pintu
kamar ketika kusadari suara kak Rio memanggilku dari balik pintu. Aku berjalan
mendekati pintu dan membukanya.
“Ada apa kak?” tanyaku setelah
kudapati sesosok kak Rio berdiri di balik pintu.
“Ada telepon tuh dari Deva!”
Aku melangkah menuju ruang
keluarga dan mengangkat gagang telepon.
“Halo?”
“Ray! Cepat ke rumah sakit! Acha
kecelakaan!”
Kurasakan sebuah petir di atas
sana menghantam tepat di dadaku. Acha kecelakaan?
“Kecelakaan dimana? Kondisinya gimana
sekarang?” tanyaku panik. Aku merasakan jantungku berdegup cepat.
“Tadi sepulang sekolah. Acha
nyebrang nggak hati-hati, makanya dia ketabrak motor yang lagi lewat. Aku juga
baru tahu sekarang. Lebih baik cepat kamu kesini!”
“A-Acha baik-baik aja kan?”
* * *
Langkahku terhenti di ambang
pintu kamar rumah sakit yang ditempati Acha. Aku merasa ragu untuk memasukinya.
Jelas saja, baru tadi pagi di kelas aku ribut dengannya. Lalu kini aku datang
untuk menjenguk Acha. Rasa gengsiku hadir kembali. Ah, perasaan apa sih ini
yang mengusikku? Aku tak ingin seperti ini terus. Pokoknya aku harus minta maaf
sekarang juga. Ya, hanya mengucapkan kata maaf setelah itu pulang, mungkin itu
pun sudah cukup.
Dan akhirnya setelah berpikir cukup
lama, aku memutar kenop pintu kamar Acha, dan membukanya. Kulihat Acha terbaring
di atas ranjang dengan Deva yang terduduk di sebelahnya. Mereka memandangku.
“Malam, Ray.” sapa Acha lembut.
Acha tak seperti biasanya. Ia
nampak pucat dengan baju hijau khas pasien rumah sakit itu. Apalagi setelah
kulihat alat infus yang terpasang di lengan kanannya, tubuhnya terlihat semakin
kurus.
“Makasih ya udah mau jenguk aku.”
lanjutnya kemudian tersenyum. Senyuman tipis yang terhias pada bibirnya yang
pucat.
“Aku cuma kebetulan lewat kok, Cha.”
Kataku ketus.
Aku tak tahu kenapa aku
mengeluarkan nada suara seperti itu. Tapi tak ada penolakan sama sekali dariku
ketika aku mengeluarkan ucapan dan nada yang terdengar ketus itu. Seakan
kata-kata itu keluar dengan sendirinya.
“Kok kebetulan? Bukannya kamu
kesini emang mau jenguk Acha?”
Deva sedang mengintogerasi! dengusku
dalam hati.
“Siapa bilang? Aku sedang menemani
kak Rio. Dia sedang beli obat di apotek rumah sakit ini untuk penyakitnya itu.
Kebetulan saja aku melewati kamar ini, ya, aku mampir deh!”
Bohong! Aku merutuk dalam hati. Aku bohong!
Seharusnya bukan kata itu yang keluar dari mulutku. Tapi kenapa harus kata-kata
bodoh itu lagi yang keluar dari mulutku?
“Lalu kak Rio mana?” tanya Deva.
“Sudah kubilang dia di apotek.
Dia mungkin sudah menunggu di luar. Aku duluan ya.” ucapku pamit kemudian
membalikkan tubuh.
Belum kulangkahkan kakiku, suara
serak Acha mencegahnya. “Jadi kamu kesini bukan untuk menjengukku?”
Aku kembali membalikkan tubuh. “Aku
kesini hanya untuk menemani kak Rio. Lagipula bila memang aku ingin
menjengukmu, aku pasti membawa parsel untukmu. Tapi kali ini tidak, bukan? Aku
hanya kebetulan lewat saja. Eh, tapi gimana keadaanmu, Cha? Sudah baik kan?”
Great! Kata-kata itu lagi yang keluar
dari mulutku. Ah, ada apa dengan mulutku ini? Kenapa tak bisa berkompromi
dengan hatiku yang sebenarnya tak ingin mengucapkan kata-kata bodoh itu?
“Alhamdulillah Ray, udah agak
baikan.” sahut Acha lirih.
Aku lihat segurat kekecewaan
nampak jelas di wajah Acha. Aku tahu dia kecewa karena aku. Karena sikapku yang
begitu bodoh yang kulakukan terhadap Acha.
“Oh, syukurlah kalo gitu. Aku pulang
duluan ya!”
“Ray kamu apa-apaan sih!” Suara
Deva sukses membuat langkahku terhenti kembali ketika hendak keluar kamar. “Bukannya
tadi kamu khawatirin Acha di telepon? Terus sekarang kenapa kamu jadi
mojok-mojokin Acha? Kamu kenapa sih, Ray?” tanya Deva setengah membentak. Aku
tahu ia tak suka dengan perlakuanku terhadap Acha.
“Memang seberapa kekhawatiranku
pada Acha saat tadi di telepon? Nggak usah sok tahu kamu, Dev! Dan buat kamu Cha,
nggak usah kegeeran dulu kalo aku ke rumah sakit untuk menjenguk kamu! Aku
kesini hanya menemani kak Rio. Kebetulan saja aku melewati kamar ini, makanya
aku mampir dulu kesini. Dan hanya untuk menanyakan kabarmu. Bukan untuk
menjengukmu. Jadi jangan kegeeran kamu, Cha!”
Aku merutuki diri sendiri, merasa
bersalah dengan ucapanku barusan. Karena setelah ucapanku itu, kulihat Acha
semakin kecewa bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Deva mendekati Acha dan
menenanginya. Tapi bukannya tenang, Acha malah menangis. Dan aku? Aku hanya
diam di ambang pintu. Tak ada niat sama sekali untuk menggerakkan kakiku
mendekati Acha. Aku tak tahu kenapa itu terjadi. Bahkan aku makin kesal setelah
melihat kedua makhluk itu kembali bersama.
“Udahlah Ray, kalo kamu kesini cuma
buat nyakitin Acha, lebih baik kamu pulang aja. Acha juga nggak mengharapkan tamu
semacam kamu datang kesini.” ujar Deva dengan nada datar. Ia masih menenangkan
Acha.
Dan kalian tahu? Deva memeluk Acha!
Acha menangis tersedu-sedu di pundak Deva! Dan hal itu sukses membuatku semakin
kesal padanya.
“Baik, aku pulang! Percuma aku
kesini, hanya membuang waktuku saja! Lebih baik tadi aku menemani kak Rio ke
apotek, dan tak usah mampir kesini!”
Aku cukup kaget dengan ucapanku
sendiri. Bukan hanya aku, bahkan Acha dan Deva juga kaget dengan ucapanku itu.
Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari kamar Acha, sebelum kata-kata
kasarku keluar lagi dari mulutku.
* * *
Sungguh, aku tak tahu dengan
diriku sendiri. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku begitu kasar pada Acha
tadi? Kenapa mulutku tak bisa berkompromi dengan hatiku saat itu? Sungguh, aku
tak ingin menyakiti hati Acha. Sudah seringkali aku menyakitinya, dan aku tak
ingin mengulanginya kembali. Tapi kenapa dan kenapa? Kenapa aku tak bisa
mengucap maaf pada Acha? Dan kenapa harus kata-kata kasar yang keluar dari
mulutku? Apa yang terjadi denganku?
Langkahku terhenti di ambang pagar
rumah. Aku melihat ayah dan bunda tengah sibuk memasukkan beberapa koper ke
dalam mobil. Oma dan kak Rio hanya memandangnya dari ambang pintu rumah. Apa yang
mereka lakukan?
“Ayah! Bunda! Kalian mau kemana?”
tanyaku.
Bunda hanya tersenyum. Ayah juga
tersenyum. Dan aku tak tahu maksud dari senyuman itu apa? Bunda mendekatiku,
lalu mengajakku ke dalam rumah. “Ayo bicarakan di dalam!” Begitulah ucapan
bunda ketika kami melangkah memasuki rumah.
Ayah, kak Rio, dan Oma mengikuti
kami berdua masuk ke dalam rumah. Kami pun berkumpul di ruang tamu.
“Ayah dapat tawaran kerja lagi di
Makassar. Karena kebetulan bunda juga masih punya tugas disana, makanya bunda
ikut ayah ke Makassar.”
“Berapa lama bunda disana?”
tanyaku.
“Belum tahu, sayang. Bisa dipastikan
dalam waktu yang cukup lama.”
Aku terdiam. Berpikir lebih
tepatnya! Makassar? Kota itu sangat jauh dari Jakarta. Mungkin bila aku ikut
ayah dan bunda ke Makassar, aku bisa menjauh dari Acha dan Deva. Dan aku takkan
lagi menyakiti Acha dengan kata-kata kasarku.
“Ayah! Bunda! Aku boleh ikut ke
Makassar?” tanyaku.
“Kamu serius, Ray? Lalu bagaimana
dengan sekolahmu? Acha dan Deva?” tanya kak Rio yang sepertinya menginginkanku
agar tetap di Jakarta.
“Tenang saja kak, mereka pasti
baik-baik saja.” Justru mereka akan senang bila aku pergi jauh kak,
lanjutku dalam hati.
“Kalo kamu memang ingin ikut kami,
cepat bereskan pakaianmu! Bunda tunggu di luar.” pinta bunda.
“Kak, sampaikan salamku pada Acha
ya!” ucapku pada kak Arry ketika hendak memasuki mobil. Barang-barang sudah
dimasukkan ke dalam bagasi, termasuk pakaianku.
“Kalau dia tanya macam-macam
tentangmu bagaimana?”
“Bilang saja, ini jalan yang
terbaik buat persahabatan kita.”
Sekali lagi kurasakan pahit
sekali ketika mengucapkan kata persahabatan. Entah, aku tak tahu itu mengapa.
“Mungkin dengan begini, ia takkan
lagi tersakiti olehku.” Lanjutku kemudian.
Kak Rio tersentak. Baru saja ia membuka
mulut hendak bertanya, aku sudah melangkah memasuki mobil. Dan kak Rio pun
membiarkanku memasuki mobil.
“Bu, titip Rio ya. Rio, titip oma
juga ya!” pesan ayah dari balik kemudinya pada oma dan kak Rio.
Dua menit kemudian, mobil yang
kunaiki ini membawaku meninggalkan sebuah rumah kecil yang sederhana di bawah
kaki bukit itu, meninggalkan oma dan kak Rio yang tengah berdiri melambaikan
tangan di ambang pintu rumah. Dan inilah jalan yang memang harus kupilih.
Dengan begitu, aku takkan lagi menyakiti perasaan Acha dengan sikap egoisku
serta ucapan-ucapan kasarku.
Selamat tinggal Acha! Selamat
tinggal Deva! Selamat tinggal sahabat! Selamat tinggal Jakarta!
* * *
Bersambung
No comments:
Post a Comment