Stella pernah
bilang ke gue:
"Ini tuh,
ibarat kereta kuda yang sedang ditarik sama kuda-kuda yang memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Ada kuda yang masih tertidur, ada kuda yang jalannya lambat,
ada juga kuda yang berlari. Karena hal itu, roda di kereta kuda itu jadi copot,
dan jalannya jadi terseok-seok deh! Makanya, kuda yang lari cepet harus
nungguin dan samain langkah sama yang lain, berusaha buat membangunkan kuda
yang tertidur dan berusaha menyeimbangkan langkah bersama kuda yang masih
lambat. Tapi kuda yang lambat apalagi yang tidur harus berusaha mengejar
ketinggalan juga, jadi langkahnya bisa seimbang. Dan kereta kudanya bisa jalan
dengan sempurna!"
Waktu itu gue masih
belum mengerti maksud dari ucapan Stella. Dan seakan membaca pemikiran gue,
Stella menambahkan:
"Intinya,
jangan pernah egois. Kalian Sonya dan teman-teman yang lain nggak berjalan sendiri dalam grup
tersebut. Kalian jalan bersama-sama, jadi harus sama juga langkahnya supaya
sampai di tujuannya nggak saling meninggalkan. Supaya semua bisa sampai dengan
selamat. Supaya semua merasa nyaman saat berjalan. Jadi "
Sonia pun mencela:
"Jadi,
berusahalah untuk saling mengerti, berusahalah untuk saling memahami. Iya kan
kak?"
Stella mengangguk,
kemudian merangkul Sonia. Mereka berdua tersenyum, seakan hanya dengan saling
tersenyum seperti itu mereka sudah merasakan kehidupan sempurna.
Terkadang, gue iri
sama Sonia. Seandainya saja gue memiliki kakak seperti Stella. Nggak usah
jauh-jauh menjadi kakak deh, misalnya saja teman satu partner dalam grup, gue
pasti nggak akan mengalami yang namanya depresi berat begini. Stella selalu
saja bisa membuat suasana hati menjadi lebih sejuk dan damai. Stella selalu
saja bisa membuat amarah seseorang mencair. Dan intinya, Stella selalu bisa
membuat orang di sekitarnya bahagia hanya karena ucapan bijaknya itu.
Setidaknya, apabila
memang Stella menjadi satu tim dalam grup gue, grup gue nggak akan pernah
mengalami adu mulut yang nggak penting dan yang akhirnya menimbulkan emosi dan
pertengkaran. Setidaknya Stella akan melerai. Setidaknya Stella akan bertindak.
Dan setidaknya ada yang membela gue disana.
"Sonya!"
Gue tersentak
ketika sebuah tangan mendarat di pundak gue. Gue menoleh dan mendapati Ghaida
di belakang gue.
"Nggak
latihan?" tanya Ghaida kemudian duduk di sebelah gue.
"Seperti apa
yang lo liat." jawab gue datar.
Ghaida memeluk
lututnya dan memiringkan kepalanya memandang gue. "Shania lagi?"
Gue memutar kedua
bolamata gue. "Nggak usah bahas dia. Eh, lo liat Jeje?" Gue
mengalihkan topik.
Ghaida menghela
napas pendek. "Jeje ada di depan ruang auditorium, bareng Shania."
Gue memiringkan
kepala. Shania lagi.
"Kayaknya
mereka lagi asik bahas koreo. Lo nggak ikutan?" tanya Ghaida, sambil
memainkan botol minum di tangannya.
"Ikutan?
Bareng Shania?" Gue mendengus. "Makasih, deh." Gue beranjak
meninggalkan Ghaida.
* * *
" dua puluh, dua puluh satu, dua
puluh dua "
Gue melakukan
loncat tali menggunakan teknik skipping. Sambil terus melompat dan menghitung,
gue menggerakkan tali skipping di kedua tangan gue. Sejauh ini, tali tersebut
belum tersangkut di kaki gue, membuat gue bertahan hingga hitungan ke
tigapuluh.
" tiga puluh empat, tiga puluh lima,
tiga puluh enam "
Gue biasa bermain
tali skipping sebelum memulai latihan. Oh, atau mungkin tepatnya, menunggu
teman-teman satu grup gue untuk datang ke ruang latihan. Gue tahu dan gue hapal
mereka selalu datang tidak tepat waktu. Selalu gue yang pertama. Mungkin,
kecuali hari itu.
" empat puluh delapan, empat puluh
sembilan, lima puluh "
Peluh mulai
membasahi tubuh gue. Tank top hitam yang melekat di tubuh gue sudah basah,
layaknya disiram air hujan. Tapi, mereka belum juga datang.
" enam puluh lima, enam puluh enam,
enam puluh tu AAAAA!!!"
Dan kaki gue
tersangkut tali skipping.
GUBRAAKK!!!
Gue jatuh terduduk
dengan bokong gue yang mendarat terlebih dahulu di lantai kayu tempat biasa
kami latihan ini. Gue memejamkan mata menahan rasa sakit, namun mata gue malah
berkunang-kunang tak kuasa dengan pusing yang mendadak menyerang kepala gue.
Dan semua berubah gelap sebelum tubuh gue limbung.
* * *
Shania sedang
memandu teman-teman satu grupnya untuk meluruskan kaki kanan ketika Sonya
datang ke ruang latihan dengan terburu-buru.
"Sorry girls,
gue telat." kata Sonya memecah keheningan di ruangan yang dilapisi dinding
cermin itu.
Keenam gadis yang
sedang melakukan pemanasan di tengah ruangan segera menoleh ke arah pintu masuk
di belakang melalui cermin.
Shania mendesah
keras, tetapi tidak menggubris perkataan Sonya. Ia melanjutkan memandu
teman-temannya untuk meluruskan kaki kiri.
Sonya yang merasa
diacuhkan merasa salah tingkah. Ia terdiam di tempat, memerhatikan keenam
temannya yang sedang pemanasan di tengah ruangan.
"Langsung
masuk barisan aja, Nya." teriak Jeje yang berdiri di belakang Shania. Ia
tersenyum ramah.
Sonya memaksakan
seulas senyum. Ia meletakkan tas punggungnya di sembarang tempat dan segera
masuk barisan, berdiri di belakang Kinal. Kinal sempat menoleh ke arahnya dan
tersenyum sekilas. Sonya membalas senyum Kinal, namun tanpa sengaja
pandangannya melewati bahu Kinal. Ia memandang Shania yang balas memandangnya
melalui cermin. Tatapan Shania yang sinis.
* * *
Gerak tubuh Shania
yang gemulai begitu menghipnotis teman-temannya yang duduk di sekeliling
ruangan. Sonya terutama. Cukup ia akui, gerakan Shania sangatlah bagus.
Tubuhnya yang ideal itu sangat mendukung gerakan demi gerakan yang dilakukan.
Dua menit berlalu,
Shania berhenti menari. Sonya dan kelima temannya langsung bertepuk tangan
sembari berdiri dan menghampiri Shania di tengah ruangan.
"Opening yang
cukup membuat tercengang!" puji Diasta.
Shania tersenyum
lebar. Tak menyangka akan mendapat pujian seperti itu. "Rencananya memang
gerakan itulah yang akan dimasukkan dalam opening dance grup kita. Gimana?
Semua setuju kan?" tanya Shania.
Jeje maju selangkah
dan merangkul Shania. "Gue setuju banget, Shan. Siapa sih yang nggak
setuju dengan gerakan dance yang diciptakan oleh seorang Shania." kata Jeje
kemudian tertawa lebar.
Kelima temannya
ikut tertawa, termasuk Sonya. Ia setuju dengan ucapan Jeje. Nggak akan ada yang
nggak setuju dengan gerakan dance milik Shania.
"Oke. Kalo
gitu, semua ambil posisi. Kita mulai latihan ya." Shania menepuk tangannya
sekali.
Tepat ketika itu,
terdengar dering ponsel. Semuanya menoleh pada tas-tas yang berjejer di
sekeliling ruangan. Frieska berlari menghampiri tas birunya dan mengeluarkan
ponsel.
"Halo?"
Sementara Frieska
menjawab telepon, Shania mengarahkan teman-temannya untuk mengambil posisi dan
formasi yang tepat. Setelah mengatur dan mendapatkan formasi yang sempurna,
Frieska kembali ke tengah ruangan.
"Frieska,
tempat lo di depan Achan. Iya, di sampingnya Sonya situ." kata Shania.
Setiba di sebelah
Sonya, ponsel Frieska kembali berdering. Ia kembali berlari menghampiri tasnya.
Shania mendesah
keras. Dilihatnya Frieska yang sedang berbicara dengan ponsel yang ditempelkan
di telinga. Beberapa menit kemudian, Frieska menutup telepon dan meletakkan
kembali ke dalam tasnya. Saat itulah Shania mendekati Frieska.
"Frieska, lo
serius latihan nggak sih?" tanya Shania.
Kelima temannya
yang berada di tengah ruangan menoleh ke arah Shania dan Frieska.
Frieska tersenyum
meminta maaf. "Sori, Shan. Sonia lagi buat proposal buat tugas sekolah.
Dia nggak tau langkah-langkahnya, makanya dia butuh gue dan nanya ke gue terus
deh."
Shania mendesah
lagi. Ia melipat tangannya di depan dada. "Tapi ini saatnya latihan,
Frieska. Please, jangan hiraukan dulu si Sonia."
"Iya, maaf,
deh." kata Frieska. Ia meletakkan tasnya di lantai dan kembali masuk
barisan.
"Shania lagi
sensi ya." komentar Sonya pada Kinal sambil merenggangkan tangannya.
Sementara Kinal hanya tertawa mendengarnya.
Beberapa jam
berlalu. Sonya meminta Shania untuk break sebentar. Shania pun setuju. Mereka
bertujuh akhirnya beristirahat. Namun
belum beberapa menit mereka beristirahat, Frieska sudah bangkit dari duduknya
sambil menenteng tas tangannya.
“Teman-teman, Frieska
nggak bisa lama-lama nih, mau ketemu sama Sonia. Frieska cabut duluan, ya.”
kata Frieska yang langsung melangkah menuju pintu.
Shania yang sedang
berbaring segera menegakkan tubuh dan mencegah langkah Frieska dengan
berteriak. “Nggak bisa ditunda dulu ya, Fris?” tanya Shania.
Frieska berhenti
dan memutar tubuhnya kembali menghadap keenam temannya. Ia tersenyum meminta
maaf. “Nggak bisa. Maaf banget ya, Shan. Kalo ada latihan lagi, hubungi Frieska
aja ya. Dadah!” Dan Frieska benar-benar melangkah meninggalkan ruangan.
Shania mengangkat
bahu. “Dan kita kehilangan satu personel. Mau tetep latihan atau tunda besok?”
tanyanya.
“Tunda aja deh,
Shan. Lagipula udah sore banget, nih.” Diasta melirik jam tangannya.
Jeje mengangguk. “Iya,
Shan. Oh, gini aja deh. Kita minta rekaman dance lo tadi aja. Biar nanti malem
bisa latihan di kamar. Dan besok tinggal dikompakin. Gimana?” usul Jeje.
“Ide yang bagus!”
jawab Sonya, Achan, Kinal, dan Diasta serempak.
Shania berpikir
sejenak. Kemudian ia mengangguk dan bangkit dari duduknya. “Tapi besok jangan
pada telat ya. Gue mau semuanya tepat waktu.” katanya sambil melirik Sonya yang
tengah meneguk botol minuman.
Sonya yang merasa
sedang disindir memalingkan wajahnya dari Shania. Sementara Shania mengambil
posisi menari di ruang tengah untuk direkam oleh Jeje.
* * *
“Hai, Sonya!”
Sonya yang sedang
memainkan tali skipping menoleh pada Jeje yang baru saja memasuki ruang
latihan. Ia tersenyum lebar.
“Hai, Je.” sapa
Sonya tanpa menghentikan permainannya.
Jeje mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan sambil meletakkan tas punggunya ke atas
lantai. Ia mengeluarkan sebotol minuman.
“Cuma sendiri, Nya?
Yang lain mana?” tanya Jeje lalu meneguk botol minumnya.
“Karena kemaren gue
dateng telat, jadi hari ini gue dateng pagi. Dan seperti yang lo liat,
anak-anak yang lain belum pada dateng.” kata Sonya. Senyumnya masih terbentuk
di bibirnya. Dan ia masih meloncat.
“Ck, rajin!” sahut
Jeje. Ia melempar botol minumnya ke sembarang tempat. Ia berjalan ke tengah
ruangan dan mulai melakukan pemanasan.
Tiga puluh menit
kemudian, seluruh personil sudah berkumpul, kecuali Shania. Jeje sudah
berulangkali menghubungi Shania tapi tidak dijawab.
“Kemana sih,
Shania?” gerutu Frieska menatap layar ponselnya. Seakan layar ponselnya adalah
Shania.
“Coba hubungi lagi,
Je.” pinta Diasta.
“Kalo emang nggak
bisa dihubungi, kita latihan aja dari video yang kemarin direkam. Nanti kalo
Shania dateng, tinggal dikompakin. Begitu kan fungsi video yang Jeje rekam
kemarin?” usul Sonya.
Seluruh personil
mengangguk tanda setuju. Akhirnya mereka pun latihan dari video yang kemarin
Jeje rekam. Hampir selama sejam mereka latihan dan nyaris mencapai kekompakan. Tepat
ketika itulah Shania datang dengan peluh yang membanjiri seluruh tubuhnya. Ia tak
membawa tas atau barang lainnya. Ia hanya membawa diri.
“Girls, kabar baik
nih!” sapanya setelah masuk ke dalam ruangan. Tanpa ada kata maaf karena telah
datang telat.
“Shania, lo telat
sejam lewat sembilan menit!” seru Kinal sambil melirik jam tangannya.
Shania berjalan ke
tengah ruangan sambil tersenyum meminta maaf. “Maaf banget, deh. Tapi gue bawa
kabar baik nih!”
“Kabar apa
emangnya?” tanya Jeje.
“Tadi gue dapat
inspirasi tentang dance kita. Dan gue mencoba untuk cari gerakan yang lebih
menghipnotis. Akhirnya selama sejam, gue dapat gerakan yang bagus. Kalian harus
liat gerakan ini!” kata Shania yang segera mengambil posisi.
“Tunggu, Shan! Jadi,
maksud lo gerakan dance yang kemarin itu nggak jadi kita pake?” sergah Frieska.
Shania mengangkat
bahu. “Dengan kata lain sih begitu.”
“Jangan ngaco,
Shan! Sejam lebih ditambah semalam di kamar, kita semua latihan dance dari
rekaman yang Jeje rekam kemarin. Dan kita semua udah hapal gerakan, formasi,
dan segala tetek bengeknya. Dan hari ini, lo dengan ringannya berkata bahwa
gerakan itu nggak jadi dipakai?” tanya Sonya. Suaranya meninggi.
“Kalo ada gerakan
yang lebih bagus, kenapa enggak, Nya!” balas Shania dengan suara yang tak kalah
tinggi.
“Tunjukkan! Mana gerakan
yang ‘kata lo’ adalah gerakan yang lebih bagus?” tantang Sonya.
Ruangan menjadi
hening. Shania menatap Sonya tajam, dan begitu pun sebaliknya. Sementara kelima
temannya hanya memandang keduanya dengan heran.
“Suara lo nyari
ribut, Nya!” gertak Shania menuding ke arah Sonya.
Kinal bergerak
cepat. Ia menangkis tangan Shania yang menuding ke arah Sonya. “Shan, Sonya
lebih tua dari lo. Jangan menuding sembarangan ke orang yang lebih tua!” kata
Kinal, kemudian mendorong Shania menjauh dari Sonya.
Shania berdecak
kesal, sementara Sonya hanya memandang Shania datar.
“Dia nggak
ngehargain gue, kak! Dia nggak mikir apa, gue mati-matian cari ide buat gerakan
baru untuk grup dance kita! Tapi apa katanya tadi? Dia nggak setuju dengan
gerakan baru gue!” teriak Shania.
“Shan, hal ini kan
bisa diselesaikan secara baik-baik. Nggak usah pake teriak-teriak segala!” kata
Diasta.
“Siapa yang bilang
nggak setuju sih, Shan? Lo juga seharusnya mikir dong! Kita semaleman dan
selama sejam tadi latihan dan berusaha untuk kompak dengan dance yang lo buat
kemaren. Dan ketika kita udah mulai kompak, lo dateng dan seenak jidat bilang
mau ngeganti gerakannya. Mikir dong, Shan! Jangan cuma jadiin kita ini boneka
lo yang harus nurutin semua perkataan lo!” kata Sonya nggak kalah sewot.
Shania melotot
kaget. Benar-benar tak menyangka kalau Sonya akan berkata seperti itu. Sebenarnya
bukan hanya Shania yang kaget, Kinal pun demikian. Bahkan Jeje, Achan, Frieska,
dan Diasta pun kaget dengan ucapan Sonya yang tak biasa seperti itu. Seluruh personil
kaget dan tak menyangka.
Sonya merasakan
aura aneh di sekitarnya setelah ia berkata demikian. Semua mata seakan
memandangnya dengan sorot tak percaya. Apakah ada yang salah dengan ucapannya?
Shania berdecak
sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruangan dengan langkah lebar. Kinal sempat
mencegah, namun Shania tetap berlari tak perduli. Achan dan Diasta memandang
kepergian Shania dengan tak rela. Frieska dan Jeje hanya memandang kosong ke
arah pintu.
Sementara Sonya
hanya diam membisu.
Kinal mendesah
keras. Ia menoleh ke arah Sonya. “Shania pergi, Nya. Sekarang lo mau apa?”
tanya Kinal. Sinis.
Sonya tidak
menjawab. Ia memalingkan muka memandang pemandangan di balik jendela.
Diasta melangkah
mendekati tasnya. Mengambil botol minuman dan meneguknya. “Balik aja deh. Percuma
nggak ada Shania.” kata Diasta menyelempangkan tas di pundaknya.
“Nggak ada kata
percuma. Kita bisa tetep latihan walau tanpa Shania.” ucap Sonya datar.
“Dengan suasana
yang seperti ini?” tanya Kinal.
Sonya menoleh. Ia menatap
Kinal tak mengerti.
“Nggak akan bisa
latihan kalo keadaannya begini. Diasta bener, mending balik aja.” kata Kinal
kemudian membalikkan tubuh.
Sonya mendengus. Ia
hanya menatap kepergian Diasta dan Kinal dengan muka memberengut. Kemudian ia
merasakan pundaknya dirangkul.
“Ya udah, balik aja
yuk.” Jeje menepuk pundaknya.
“Lain kali, kalo
kakak nggak setuju dengan Shania, diomongin baik-baik aja. Nggak usah pake
emosi.” kata Achan, menyerahkan tas Sonya kepadanya.
Sonya tersenyum
kecil. Ia mengambil tasnya dari tangan Achan. “Makasih ya, Chan.”
Frieska merangkul
pundak Sonya dan menepuknya pelan. Sonya tersenyum lebar. Kemudian mereka
berempat melangkah meninggalkan ruangan.
Setidaknya masih
ada yang ingin memberi senyum kepadanya.
Bersambung
ceritanya menarik :D *waiting for the next episode ;))
ReplyDeleteGood aku nunggu episode berikutnya
ReplyDelete